my destiny

My photo
.>seterusnya akan tertegak kembali khilafah atas minhaj kenabian"

Friday 23 April 2010

Sistem Pemerintahan yang Diwajibkan Allah adalah Sistem Khilafah



Syabab.Com - Sistem pemerintahan Islam yang diwajibkan oleh Tuhan alam semesta adalah sistem Khilafah. Di dalam sistem Khilafah ini Khalifah diangkat melalui baiat berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya untuk memerintah sesuai dengan wahyu yang Allah turunkan.  Dalil-dalil yang menunjukkan kenyataan ini sangat  banyak, diambil dari al-Kitab, as-Sunnah, dan Ijmak Sahabat. Dalil dari al-Kitab di antaranya bahwa Allah SWT telah berfirman menyeru Rasul saw.:

Karena itu, putuskanlah perkara mereka menurut apa yang telah Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. (QS al-Maidah [5]: 48).

Hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang telah Allah turunkan, janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka, dan berhati-hatilah terhadap mereka supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian wahyu yang telah Allah turunkan kepadamu. (QS al-Maidah [5]: 49).

Seruan Allah SWT kepada Rasul saw. untuk memutuskan perkara di tengah-tengah mereka sesuai dengan wahyu yang telah Allah turunkan juga merupakan seruan bagi umat Beliau. Mafhûm-nya adalah hendaknya kaum Muslim mewujudkan seorang hakim (penguasa) setelah Rasulullah saw. untuk memutuskan perkara di tengah-tengah mereka sesuai dengan wahyu yang telah Allah turunkan. Perintah dalam seruan ini bersifat tegas karena yang menjadi obyek seruan adalah wajib.  Sebagaimana dalam ketentuan ushul, ini merupakan indikasi yang menunjukkan makna yang tegas. Hakim (penguasa) yang memutuskan perkara di tengah-tengah kaum Muslim setelah wafatnya Rasulullah saw. adalah Khalifah, sedangkan sistem pemerintahannya adalah sistem Khilafah.  Apalagi penegakan hukum-hukum hudûd dan seluruh ketentuan hukum syariah adalah wajib. Kewajiban ini tidak akan terlaksana tanpa adanya penguasa/hakim, sedangkan kewajiban yang tidak sempurna kecuali dengan adanya sesuatu maka keberadaan sesuatu itu hukumnya menjadi wajib.  Artinya, mewujudkan penguasa yang menegakkan syariah hukumnya adalah wajib.  Dalam hal ini, penguasa yang dimaksud adalah Khalifah dan sistem pemerintahannya adalah sistem Khilafah.

Adapun dalil dari as-Sunnah, di antaranya adalah apa yang pernah  diriwayatkan dari Nafi’. Ia berkata: Abdullah bin Umar telah berkata kepadaku: Aku mendengar Rasulullah saw. pernah bersabda:


«مَنْ خَلَعَ يَدًا مِنْ طَاعَةٍ لَقِيَ اللهَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لاَ حُجَّةً لَهُ وَ مَنْ مَاتَ وَ لَيْسَ فِيْ عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً»

Siapa saja yang melepaskan tangan dari ketaatan, ia akan menjumpai Allah pada Hari Kiamat kelak tanpa memiliki hujjah, dan siapa saja yang mati, sedangkan di pundaknya tidak terdapat baiat (kepada Khalifah), maka ia mati seperti kematian Jahiliah.
(HR Muslim).

Nabi saw. telah mewajibkan kepada setiap Muslim agar dipundaknya terdapat baiat.  Beliau juga menyifati orang yang mati, yang di pundaknya tidak terdapat baiat, sebagai orang yang mati seperti kematian Jahiliah. Baiat tidak akan terjadi setelah Rasulullah saw. kecuali kepada Khalifah, bukan kepada yang lain. Hadis tersebut mewajibkan adanya baiat di atas pundak setiap Muslim, yakni adanya Khalifah yang dengan eksistensinya itu terealisasi adanya baiat di atas pundak setiap Muslim. Imam Muslim menuturkan riwayat dari al-A’raj, dari Abu Hurairah, dari Nabi saw., bahwa Nabi saw. pernah bersabda:

«إِنَّمَا اْلإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَ يُتَّقَى بِهِ»

Sesesungguhnya Imam/Khalifah itu laksana perisai, tempat orang-orang berperang di belakangnya dan berlindung  kepadanya. (HR Muslim).

Imam Muslim telah menuturkan riwayat dari Abi Hazim yang berkata: Aku mengikuti majelis Abu Hurairah selama lima tahun. Aku pernah mendengar ia menyampaikan hadis dari Nabi saw. yang bersabda:

«كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ اْلأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لاَ نَبِيَّ بَعْدِي وَسَتَكُونُ خُلَفَاءُ فَتَكْثُرُ، قَالُوا: فَمَا تَأْمُرُنَا؟ قَالَ: فُوْا بِبَيْعَةِ اْلأَوَّلِ فَاْلأَوَّلِ أَعْطُوهُمْ حَقَّهُمْ فَإِنَّ اللهَ سَائِلُهُمْ عَمَّا اسْتَرْعَاهُمْ»

“Dulu Bani Israel diurusi dan dipelihara oleh para nabi. Setiap kali seorang nabi meninggal, nabi yang lain menggantikannya. Sesungguhnya tidak ada nabi sesudahku dan akan ada para Khalifah, yang berjumlah banyak.” Para Sahabat bertanya, “Lalu apa yang engkau perintahkan kepada kami?” Nabi saw. bersabda, “Penuhilah baiat yang pertama, yang pertama saja, dan berikanlah kepada mereka hak mereka. Sesungguhnya Allah akan meminta pertanggungjawaban mereka atas apa saja yang mereka urus.”
(HR al-Bukhari dan Muslim).

Di dalam hadis-hadis ini terdapat sifat bagi Khalifah sebagai junnah (perisai) atau wiqâyah (pelindung).  Sifat yang diberikan oleh Rasul saw. bahwa Imam adalah perisai merupakan ikhbâr (pemberitahuan) yang mengandung pujian terhadap eksistensi seorang imam/khalifah. Ikhbâr ini merupakan tuntutan karena ikhbâr dari Allah dan Rasul saw., jika mengandung celaan, merupakan tuntutan untuk meninggalkan, yakni larangan; jika mengandung pujian, merupakan tuntutan untuk melakukan. Jika aktivitas yang dituntut itu pelaksanaannya memiliki konsekuensi terhadap tegaknya hukum syariah atau pengabaiannya memiliki konsekuensi terabaikannya hukum syariah, maka tuntutan itu bersifat tegas. Dalam hadis ini juga terdapat ikhbâr, bahwa orang yang mengurus kaum Muslim adalah para khalifah, yang berarti, hadis ini merupakan tuntutan untuk mengangkat khalifah.  Apalagi Rasul saw. telah  memerintahkan kaum Muslim untuk menaati para khalifah dan memerangi siapa saja yang hendak merebut jabatan dalam kekhalifahannya. Perintah Rasul saw. ini berarti perintah untuk mengangkat khalifah sekaligus menjaga eksistensi kekhalifahannya dengan cara memerangi semua orang yang hendak merebut kekuasaannya. Imam Muslim telah menuturkan riwayat bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda:

«وَ مَنْ بَايَعَ إِمَامًا فَأَعْطَاهُ صَفْقَةَ يَدِهِ وَ ثَمْرَةَ قَلْبِهِ فَلْيُطِعْهُ إِنْ اِسْتَطَاعَ فَإِنْ جَاءَ آخَرٌ يُنَازِعُهُ فَاضْرِبُوْا عُنُقَ اْلآخَرِ»

Siapa saja yang telah membaiat seorang imam/khalifah serta telah memberikan genggaman tangannya dan buah hatinya, maka hendaklah ia menaatinya sesuai dengan kemampuannya. Lalu jika datang orang lain yang hendak merebut kekuasaannya, maka penggallah leher (bunuhlah) orang itu.
(HR Muslim).

Dengan demikian, perintah untuk menaati Imam/Khalifah merupakan perintah untuk mengangkatnya, dan perintah untuk memerangi siapa saja yang hendak merebut kekuasaan Khalifah menjadi qarînah (indikasi) yang tegas di seputar keharusan untuk mewujudkan hanya seorang khalifah saja.

Adapun dalil berupa Ijmak Sahabat maka para Sahabat—semoga Allah meridhai mereka—telah bersepakat atas keharusan mengangkat seorang khalifah (pengganti) bagi Rasulullah saw. setelah Beliau wafat. Mereka telah bersepakat untuk mengangkat Abu Bakar sebagai khalifah, lalu Umar bin al-Khaththab, sepeninggal Abu Bakar, dan kemudian Utsman bin Affan. Sesungguhnya tampak jelas penegasan Ijmak Sahabat terhadap kewajiban pengangkatan khalifah dari sikap mereka yang menunda penguburan jenazah Rasulullah saw. saat Beliau wafat; mereka lebih menyibukkan diri untuk mengangkat khalifah (pengganti) Beliau, padahal menguburkan jenazah setelah kematiannya adalah wajib. Para Sahabat, yang berkewajiban mengurus jenazah Rasul saw. dan menguburnya, ternyata sebagian dari mereka lebih menyibukkan diri untuk mengangkat khalifah dan menunda penguburan jenazah Beliau; sebagian yang lain membiarkan penundaan itu; mereka sama-sama ikut serta dalam penundaan pengebumian jenazah Rasul saw. sampai dua malam. Padahal mereka mampu mengingkarinya dan mampu menguburkan jenazah Rasulullah saw. Rasul saw. wafat pada waktu dhuha hari Senin dan belum dikuburkan selama malam Selasa hingga Selasa siang saat Abu Bakar dibaiat. Kemudian jenazah Rasul dikuburkan pada tengah malam, malam Rabu.  Jadi, penguburan jenazah Rasul saw. itu ditunda selama dua malam, dan Abu Bakar dibaiat terlebih dulu sebelum penguburan jenazah Rasul saw.  Dengan demikian, realitas tersebut merupakan Ijmak Sahabat yang menunjukkan keharusan untuk lebih menyibukkan diri untuk mengangkat khalifah daripada menguburkan jenazah. Hal itu tidak akan terjadi kecuali bahwa mengangkat khalifah lebih wajib daripada mengebumikan jenazah. Para Sahabat seluruhnya juga telah berijmak sepanjang kehidupan mereka mengenai kewajiban mengangkat khalifah.  Meski mereka berbeda pendapat mengenai seseorang yang dipilih sebagai khalifah, mereka tidak berbeda pendapat sama sekali atas kewajiban mengangkat khalifah, baik ketika Rasul saw. wafat maupun saat Khulafaur Rasyidin wafat. Walhasil, Ijmak Sahabat ini merupakan dalil yang jelas dan kuat atas kewajiban mengangkat khalifah.  [Sumber: Struktur Negara Khilafah ]

Para Analisis Barat: Prospek Masa Depan Hizbut Tahrir di Asia Tengah




Syabab.Com - Salah satu organisasi politik Islam Sunni yang berkembang sangat pesat dan mendunia adalah Hizbut Tahrir (HT), demikian menurut Emmanuel Karagiannis, seorang pakar dari Universitas Macedonia, Yunani. Partai politik yang menolak kekerasan ini memiliki prospek masa depan. Lebih khusus di Asia Tengah, HT memiliki peran yang sangat aktif dan terus tumbuh. HT sering lolos dari analisis mendalam karena kelompok itu menyatakan sendiri sebagai organisi yang tidak menggunakan kekerasan untuk mengupayakan perubahan politik. Karena itu, menurutnya, pemerintah AS tidak memasukkan kelompok itu ke dalam organisasi teroris.

Karagiannis mengakui, HT mengejar agenda yang bertentangan dengan Barat, dan akhirnya kelompok tersebut dapat menimbulkan ancaman aktif bagi Amerika Serikat dan sekutunya.

Peran HT di Asia Tengah

Menurut Karagiannis, sekalipun HT memiliki pengaruh mendunia, termasuk di Amerika Serikat dan di Barat, namun yang paling aktif di Asia Tengah karena telah menghadapi sedikit kompetisi dari kelompok-kelompok Islam lain di wilayah ini.

Ada beberapa faktor yang menyebabkan meningkatnya HT di Asia Tengah, paling tidak adalah kenyataan bahwa Asia Tengah di dominasi oleh kaum Muslim. Kondisi perekonomian yang miskin di Asia Tengah pasca Soviet telah menyediakan lahan subur bagi kelompok-kelompok Islam untuk mencapai dukungan dalam mengubah tatanan sosial saat ini.

Menurut Karagiannis, pemerintah di Tajikistan, Kazakhstan dan Kyrgizstan terkecuali minoritas Uzbek, telah membiarkan HT merekrut para pengikutnya di antara kelas di negara-negara tersebut. Selain itu banyak penduduk tertarik dengan prospek pemerintahan Islam, terutama untuk menghadapi pemerintahan otoriter di kawasan itu.

Selain itu, runtuhnya komunisme telah menyebabkan kevakuman ideologis di Asia Tengah, di mana HT telah mencoba mengisi dengan retorika agama. Kelompok ini menarik bagi individu yang ingin percaya pada suatu ideologi yang koheren yang menyediakan solusi tidak hanya pertanyaan-pertanyaan rohani, tetapi juga isu-isu praktis.

Lebih lanjut, Karagiannis menyebutkan bahwa sejak 1990-an, HT berhasil menyebarkan pesan-pesannya ke seluruh Asia Tengah. Akibatnya, HT menjadi kelompok Islam terkemuka di Tajikistan, Uzbekistan, Kazakhstan dan Kyrgizstan dengan ribuan anggota di setiap negaranya.

Pemerintah merespon munculnya HT dengan tindakan represif terhadap para anggota dan pendukungnya. Cara-cara hukuman, bagaimanapun mempunyai efek sebalikanya: HT semakin meningkat popularitasnya, termasuk bagi kalangan mahasiswa, pengusaha, intelektual, dan perempuan, katanya.

Karagiannis juga mencatatat bahwa HT juga telah aktif merekrut para anggotanya di dalam tahanan di Asia Tengah. Di penjara para anggota HT menyebarkan ideologi mereka kepada sesama narapidana, karena kondisi penjara yang keras yang rentan terhadap pesan Islam. Hal ini telah menjadi masalah mislanya di Uzbekistan.

Prospek Masa Depan

Karagiannis melihat prospek masa depan bagi HT. Bahkan ia mengatakan HT menolak terhadap kekerasan politik dan bergantung pada keadaan politik yang terjadi. Ketika nusrah bukan sebuah pilihan, menurutnya, kelompok itu akan mengarah pada islamisasi masyarakat dan akhirnya dapat menggulingkan rezim dengan damai.

Di akhir tulisannya, Dr. Emmanuel Karagiannis menyatakan, jika HT berkolaborasi dengan kekuatan bersenjata untuk mendirikan negara Islam di suatu negara, tujuan berikutnya akan kembali mendirikan Khilafah Islamiyyah, yang jelas akan mengatur negara baru itu untuk konflik dengan negara tetangga regionalnya.

Dr. Emmanuel Karagiannis adalah asisten Profesor Politik Rusia dan Pasca Soviet di Universitas Macedonia di Thessaloniki, Yunani dan pemeriksa START Center di Universitas Maryland. Tulisan analisisnya itu dipublikasikan ulang di Eurasia Review, Rabu (21/04/10). 

Demikianlah, semakin nyata janji-Nya segera terwujud, bahwa Islam akan berkuasa kembali akan segara nyata. Hal itu pun telah dirasakan oleh para pemikir barat yang mulai resah akan munculnya kembali kebangkitan Islam dengan tegaknya Khilafah Islamiyyah. Memang benar, kebangkitan Islam ibarat cahaya fajar, tinggal masalah waktu saja. Insya Allah! [m/f/z/eurasiareview/syabab.com]

Hubungan khilafah dan Alam Melayu

Suntingan buku: Islamic Identity And Development: Studies of the Islamic Periphery oleh Mehmet Ozay

PENDAHULUAN

Menulis kembali sejarah dengan disiplin ilmu yang lebih berjiwa Islam adalah tuntutan semasa yang perlu dipenuhi. Seluruh individu manusia akur bahawa pengolahan sejarah itu sebenarnya memainkan peranan yang penting di dalam usaha menentukan hala tuju sebuah tamadun. Sejarah Malaysia adalah di antara lembaran Tarikh yang berhajatkan kepada usaha seperti ini. Setakat ini kita masih belum mampu mengolah sejarah negara kita sehingga ia berpotensi menjadi wadah kebangkitan ummah.
Membahas persoalan bagaimana hubungan Alam Melayu dan Turki itu terbentuk adalah salah satu daripada marhalah penting ke arah yang telah disebutkan sebentar tadi. Kedua-dua alam ini sebenarnya membentuk satu pertiga dari komuniti umat Islam dan sebarang catatan yang membabitkan isu ini mesti diolah dengan disiplin akademik yang sihat.
Penulis semasa di Perpustakaan Yildiz, Istanbul
Di sana terdapat beberapa tulisan yang telah menyentuh tajuk ini sama ada secara langsung atau pun sebaliknya. Mungkin kita boleh meluangkan sedikit masa meneliti tulisan Snouck Hurgronje, Anthony Reid, Za’ba, Mehmet Ozay dan beberapa tulisan lain yang diusahakan oleh pengkaji sejarah Malaysia dan Indonesia. Namun begitu, setakat yang dilihat tulisan-tulisan berkenaan kurang memberikan penekanan terhadap Islam dan peranan yang dimainkannya di dalam isu berkenaan. Ia lebih menjurus ke arah mencatat perjalanan politik tempatan (berdasarkan ideologi penulis itu sendiri) dan ada kalanya bercampur aduk dengan fakta-fakta melampau yang diragui kesahihannya.
Walau bagaimanapun, penulis tidak dapat menjanjikan sesuatu yang baru dan luar biasa menerusi artikel ini kerana beberapa masalah. Antaranya seperti yang biasa dihadapi oleh mereka yang cuba mengkaji sejarah Daulah Othmaniah, kita terpaksa berhadapan dengan sumber-sumber asli berbentu manuskrip, akhbar-akhbar dan karangan yang belum disaring antara yang sahih dan sebaliknya. Keduanya, artikel ini ditulis jauh dari pusat di mana sumber-sumber asli itu boleh dperolehi. Kebanyakan masdar yang berkaitan terdapat di beberapa buah perpustakaan di London, Perpustakaan Kongres di Washington dan pusat terdekat yang sempat dilawati hanyalah Perpustakaan IRCICA di Istana Yildiz, Istanbul. Banyak cacatan adalah berpandukan kepada buku Islamic Identity And Development: Studies of the Islamic Periphery oleh Mehmet Ozay (1992, ISBN 0-415-04386-7). Akan tetapi, dengan berpandukan rujukan oleh beliau, penulis cuba mendapatkan sendiri bahan-bahan berkenaan bagi memperkembangkan lagi tajuk untuk memberikan penekanan kepada aspek-aspek yang kurang disentuh oleh Mehmet Ozay. Oleh yang demikian, penulis berharap agar artikel ini dipandang sebagai pengenalan dan kemudiannya menggalakkan pembaca mengkaji sendiri secara lebih ilmi dan berakademik.

TURKI – MENGENAL PASTI IDENTITINYA

Menentukan siapakah yang dimaksudkan dengan bangsa Turki itu bukanlah satu perkara yang mudah. Namun begitu secara ringkasnya bolehlah kita catatkan seperti berikut:
Bangsa Turki merujuk kepada sekumpulan kaum Nomad yang menghuni Gunung Altai di Utara Mongolia dan dataran Asia Tengah. Mereka bertutur di dalam Bahasa Turki yang berasal dari rumpun Bahasa Ural-Altaic yang menjangkau bilangan lebih daripada 200 juta orang penutur pada hari ini. Bangsa Turki kini boleh dibahagikan kepada dua kumpulan utama iaitu Turki Timur dan Turki Barat[1]. Turki Timur meliputi kaum Turki dan pecahan-pecahannya di China, Asia Tengah, Iran dan bangsa Caucas Rusia. Manakala Turki Barat pula terdiri daripada penduduk Republik Turki hari ini, di Balkan dan sekumpulan kecil penduduk Cyprus.

MENYUSUN AGENDA PERBINCANGAN

Hubungan antara kedua-dua alam ini telah pun bermula semenjak kurun ke 13M. Ia terus berlangsung sehinggalah ke era Perang Dunia Pertama dan seterusnya memainkan peranan yang tersendiri di dalam design politik Malaysia yang akan dibincangkan kemudian[2]. Oleh yang demikian, kita akan membahagikan peringkat kelangsungan hubungan ini kepada tiga marhalah utama iaitu hubungan klasik awal, era Perang Dunia Pertama dan seterusnya zaman berakhirnya Khilafah Othmaniah dan pembentukan Republik Turki oleh Ataturk.

PERINGKAT PERTAMA – HUBUNGAN KLASIK AWAL

Ramai pengkaji sejarah cuba mengemukakan beberapa teori ke arah membuktikan bagaimana Islam itu sampai ke Kepulauan Melayu. Di antara teori yang masyhur adalah Teori Pedagang Arab yang dikemukakan oleh Snouck Hurgronje. Beliau menceritakan bagaimana askar Belanda telah memasuki wilayah Pasai dan menjumpai batu nesan bertulis Arab yang terdiri daripada ayat-ayat Al-Quran dan nama tokoh cendiakawan dari Sumatera Pasai. Antaranya ialah[3]:
i. Nesan Pangeran Abbasiah Abdullah bin Muhammad bin Abd al-Kadir bin Abdul Aziz bin al-Mansur Abu Ja’far al-Abbasi al-Muntasir Billah - Amir al-Mu’minin Khalifah Rabbal ‘Alamin – mangkat Disember 1407.
ii. Mangkat 1408, Ibn as-Sultan Zain al-Abidin bin as-Sultan Ahmad bin as-Sultan Muhammad bin Salih. Beliau merujuk kepada asal usul kewujudan beberapa perkampungan Arab di Indonesia yang membuktikan perkara yang sama.
Namun demikian, teori tersebut tidak mampu memberikan keyakinan yang penuh kepada kita apabila persoalan bagaimana Islam itu tiba, siapakah pendakwah itu, dan seterusnya bagaimana Islam itu mampu kekal, tersebar dan menjadi darah daging masyarakat Kepulauan Melayu khususnya penduduk kawasan persisiran pantai – dibangkitkan. Selepas penguasaan Portugis di Melaka pada tahun 1511, Kristian menemui kegagalan untuk bersaing dengan Islam sedangkan jika kita berpegang kepada teori Snouck Hurgronje tadi, sepatutnya Kristian mampu mengambil tempat Islam bahkan usaha mereka lebih tersusun dan bertanzim. Apatah lagi, kita meyakini bahawa kedatangan Portugis dan Belanda ke Kepulauan Melayu bukanlah semata-mata didorong oleh keinginan mereka menguasai pasaran rempah bahkan lebih daripada itu melangsungkan misi Kristianisasi dan membawa panji Perang Salib ke rantau tersebut[4].
Kajian semasa yang dibuat oleh pengkaji barat menyimpulkan bahawa gerakan Kristianisasi menemui kegagalan kerana mubaligh mereka menggunakan kekerasan dan paksaan sedangkan pendakwah Islam terus beriltizam dengan uslub yang berhemah melalui dakwah dan hubungan sosial yang sihat[5].
Gerakan Dakwah Islamiah di Asia Tenggara mencapai kemuncaknya pada kurun ke-13M. Pengaruh Islam terus menuju ke Kepulauan Melayu dari Benua Kecil India yang pada masa itu berada di bawah pemerintahan Kerajaan Mogul-Turki. Para Masyaikh dan ahli sufi menjadi tenaga penggerak utama membentuk tarikat, bergaul dengan masyarakat tempatan dan berkahwin campur semata-mata untuk menyebarkan Islam sebagai rahmat kepada seluruh alam. Ajaran mereka ini berjaya tampil sebagai suatu misi yang menyokong kemajuan, bertoleransi dan seterusnya ‘mempunyai masa depan yang cerah dan boleh diharapkan’ di kalangan rakyat tempatan. Islam juga berjaya membebaskan masyarakat tempatan daripada perhambaan dan pengexploitasian tenaga manusia yang mana menjadi igauan buruk penduduk Kepulauan Melayu pada masa itu.
Berbalik kepada persoalan utama kita tadi, siapakah sebenarnya yang dimaksudkan dengan Masyaikh dan ahli sufi itu tadi? Di sana terdapat beberapa bukti yang memahamkan kepada kita tentang penglibatan orang Turki dan seterusnya menjawab persoalan itu tadi. Seorang pengkaji sejarah Perancis pada kurun ke-18 telah menyebut:
Thus this religion (i.e. Islam) which has nothing very disgustful in it, establishing itself by degrees in sundry places, and because yet more powerful when some Moors or Arabians, who were raised to the first employments in the court of Cambaya and Guzerat, drew thither a great number of the Asian Turks, called Rumis, some of whom made themselves masters of some ports, as Melique Az, who made a considerable settlement at Din, where he was long time troublesome to the Portuguese. From the continent they passed to the Molucca Island, where they converted their kinds of Tidor and Ternate to their religion.[6]
Orang Rumi yang disebutkan di dalam petikan di atas adalah orang Turki Othmani. Begitu juga, secara tradisinya, Sultan Othmani dikenali di kalangan penduduk Kepulauan Melayu sebagai Raja Rum[7]. Manakala pada tahun 1511, Melaka telah jatuh ke tangan Portugis. Sepanjang kurun ke-16 dan 17, pemerintah Daulah Othmaniah telah beberapa kali cuba menghantar bantuan ketenteraan tetapi gagal.
Kedudukan Acheh sebagai Serambi Mekah dan tumpuan laluan Selat Melaka menggantikan Melaka telah membawanya kepada penglibatan yang lebih besar dengan kuasa pemerintah di Asia Barat. Sultan Ala’ ad-Din Riwayat Shah al-Kahar (1537-71) telah memulakan langkah secara rasmi memohon bantuan ketenteraan daripada Daulah Othmaniah yang pada masa itu berada di bawah pemerintahan Sultan Sulaiman al-Kanuni. Hal seumpama ini dapat dibuktikan berdasarkan kepada lambang merah Kerajaan Othmaniah yang digunakan oleh Sultan. Begitu juga dengan meriam Lada Setjupak yang berfungsi sebagai pertahanan kepada kubu dalaman kerajaan Acheh yang diberikan oleh pemerintah Othmaniah melalui Dutanya. Acheh juga menawarkan penghormatan tahunan berupa ufti yang biasa diamalkan di dalam politik serantau Kepulauan Melayu tetapi ditolak oleh pemerintah Othmaniah memandakan kedudukan geografi Acheh yang begitu jauh[8].
Hubungan akrab di antara Acheh dan Daulah Othmaniah telah berperanan mempertahankan kemerdekaannya selama lebih 300 tahun. Setiap kali Eropah cuba mengancam Acheh, maka hubungan antara kedua belah pihak itu tadi kembali hangat dan diperbaharui ‘roh dan semangatnya’. Pada tahun 1850, perlindungan Othmani kepada Acheh ini telah disahkan semula di dalam dua Ferman yang dikeluarkan oleh Sultan Abdul Majid. Akan tetapi ia tidak didedahkan kepada umum sebagaimana yang biasa dibuat mengikut disiplin diplomatik kuasa-kuasa Eropah. Perlindungan Othmani kepada Acheh ketika berhadapan dengan serangan Belanda terakam di dalam 65 catatan di Acheh yang kemudiannya sampai kepada catatan wakil Belanda di Istanbul pada tahun 1869. Berita ini mendesak pemerintah Belanda supaya memberikan tumpuan yang lebih serius terhadap segala permasalahan yang timbul khususnya yang membabitkan hubungan Acheh – Othmani[9].
…Pada tahun 1850, perlindungan Othmani kepada Acheh ini telah disahkan semula di dalam dua Ferman yang dikeluarkan oleh Sultan Abdul Majid. Akan tetapi ia tidak didedahkan kepada umum sebagaimana yang biasa dibuat mengikut disiplin diplomatik kuasa-kuasa Eropah…
Ekoran daripada itu, pemerintah Acheh telah menghantar wakilnya Abdul Rahman az-Zahir ke Istanbul bagi mendapatkan bantuan Khalifah. Peribadi Abdul Rahman tercatat di dalam media massa Istanbul pada masa itu yang menyifatkan beliau sebagai seorang yang dianugerahkan dengan kecerdikan yang luar biasa dan penampilan minda yang mengagumkan[10]. Beliau telah belayar dari Pulau Pinang ke Istanbul bersama Nyak Abas, seorang pengusaha tanaman lada hitam. Bersama mereka adalah surat Sultan Mahmud sebagai bukti terhadap keakraban hubungan Acheh – Istanbul dan mereka tiba di ibu kota Daulah Othmaniah itu pada 27 April 1873.
Sepanjang tahun 1869 – 1873, masalah Acheh menjadi isu utama di dalam polisi luar Daulah Othmaniah. Midhat Paşa telah menjadikan isu Acheh sebagai modal beliau ke arah memperbaiki imejnya yang terjejas ekoran kegagalan beliau melaksanakan tugas sebagai Menteri Utama di dalam kabinet Istanbul. Pada tahun 1568, Acheh telah melancarkan serangan besar-besaran ke Melaka bersama 20 ribu askar yang mana 400 daripadanya adalah orang Turki tetapi terpaksa akur kepada kekuatan pertahanan Portugis lantas sekali lagi menemui kegagalan[11].
Dalam pada itu, media massa di Istanbul terus memainkan peranan menarik perhatian masyarakat tempatan kepada isu Acheh. Basiret, akhbar harian utama di Istanbul pada ketika itu menyeru supaya armada Othmani dihantar ke Sumatera[12]. Walaupun pada masa tersebut pelbagai ikhtiar secara diplomatik diusahakan oleh pemerintah Othmani, kerajaannya sendiri sudah terlalu lemah untuk menyelamatkan Acheh sebagaimana yang dilakukan pada masa-masa sebelumnya.
Akan tetapi, umat Islam di Indonesia dan di Malaysia terus menaruh harapan agar pemerintah Othmani berusaha membebaskan mereka daripada cengkaman pemerintah Belanda dan Inggeris. Sultan Pahang juga pernah cuba membuat hubungan dengan kerajaan Othmaniah dan tidak setakat itu, terdapat juga beberapa usaha menegakkan pemerintahan Islam di Kelantan dan Patani supaya dapat kemudiannya bernaung di bawah pemerintahan Daulah Othmaniah. Mungkin kita boleh menilai catatan yang dibuat oleh ahli kapal Ertuğul yang diutus oleh kerajaan Othmaniah ke Jepun pada sekitar tahun 1888-89. Melalui Suez mereka telah singgah di beberapa buah pelabuhan seperti Aden, Bombay, Ceylon, Singapura, Saigon dan Hong Kong. Ahli kapal tersebut telah naik ke darat untuk bersolat Jumaat dan apa yang mengejutkan ialah apabila mereka mendapati nama Sultan Abdul Hamid II disebut di dalam doa Khutbah Jumaat[13]. Raja Selangor pada masa itu juga telah menulis surat untuk diserahkan kepada rombongan berkenaan sebagai usaha baginda mendapatkan bantuan daripada Khalifah Othmani tetapi tidak berjaya apabila rombingan tersebut berlepas lebih awal daripada yang dijadualkan.
PERINGKAT KEDUA – DI AMBANG PERANG DUNIA PERTAMA: PAN-ISLAM DI ALAM MELAYU
Sultan Abdul Hamid II
Pan-Islam adalah rencana Sultan Abdul Hamid II yang membingungkan kuasa barat. Snouck Hurgronje menyifatkan kegiatan Pan-Islam ini sebagai tindakan yang berbahaya tetapi sia-sia[14]. Walau bagaimanapun, impian Sultan Abdul Hamid II menyatukan umat Islam di bawah panji-panji Khilafah Othmaniah ini perlu diulas secara terpeinci kerana ia telah membuka lembaran baru kepada hubungan alam Melayu-Turki bagi marhalah kedua.
Pan-Islam terus menjadi sebab yang mendorong kepada kebimbangan kuasa kolonial Inggeris dan Belanda di Kepulauan Melayu. Sebagaimana yang telah disebutkan tadi, Sultan Othmani dihormati secara tradisi di kalangan umat Islam di Kepulauan Melayu. Sultan Abdul Hamid II yang menjadi harapan terakhir umat Islam dianggap sebagai ‘God’s Shadow On Earth’. Baginda memandang bahawa umat Islam tidak akan mampu berhadapan dengan Barat kecuali mereka bersatu di bawah bendera Khilafah. Lantas baginda telah menghantar ribuan duat ke seluruh dunia di mana adanya umat Islam bagi menyampaikan mesej risalah Pan-Islamnya.
Walau bagaimanapun, gerakan Pan-Islam di Timur Tengah sudah banyak ditulis. Akan tetapi kesan dan pengaruh rencana besar ini terhadap umat Islam di Kepulauan Melayu masih kurang mendapat tempat di gelanggang penulisan sejarah masyarakat kita, atau kurang didedahkan kepada pembacaan umum. Di sana terdapat beberapa peristiwa penting yang berlaku di Malaysia dan Indonesia hasil seruan Sultan Abdul Hamid II tetapi kebanyakannya tersimpan tanpa perhatian… atau disembunyikan atas sebab-sebab yang maklum.
Sebagaimana yang tercatat, Konsul Othmani di Jawa, Sadik Bey cuba mempertahankan hak umat Islam yang dizalimi oleh pemerintah Belanda[15]. Begitu juga Duta pemerintah Othmani di Batavia, Muhammad Kamil Bey (1897-99). Beliau telah banyak melancarkan gerakan Pan-Islam Sultan Abdul Hamid II di Kepulauan Melayu dan sebagai natijah yang sesuai dengan gerakan tersebut, beliau telah diusir oleh Belanda kerana mencetuskan kebangkitan umat Islam di rantau berkenaan[16]. Akan tetapi, kegiatannya itu telah berjaya menarik perhatian umum di Istanbul supaya menyedari tentang ketidak adilan penjajahan kuasa Kolonial di Asia Tenggara. Manakala dari sudut yang lain pula, kegiatannya telah menimbulkan sensitiviti orang Melayu terhadap aliran baru pembaharuan dan nasionalisma yang wujud di Timur Tengah. Semenjak tahun 1897, akhbar-akhbar Istanbul seperti Idkam dan Al-Malumat, Thamarat al-Funun di Beirut dan beberapa akhbar di Mesir mengadakan hubungan kewartawanan dengan Batavia dan Singapura. Pelbagai berita disiarkan di akhbar-akhbar berkenaan menceritakan tentang kekejaman Inggeris dan Belanda di rantau tersebut[17].
Senario ini telah menimbulkan kesan yang nyata kepada pemikiran orang Melayu dan kemudiannya mencetuskan marhalah baru di dalam perkembangan ideologi orang Melayu dengan terbentuknya dua haluan yang dikenali sebagai Kaum Tua dan Kaum Muda[18]. Sebuah lagi catatan penting ekoran daripada gerakan Pan-Islam Sultan Abdul Hamid II adalah tercetusnya Dahagi Singapura pada tahun 1915. Sehingga pada hari ini, sebab sebenar yang mencetuskan Dahagi tersebut masih belum didedahkan kepada umum kecuali dengan beberapa andaian yang berhasil semenjak beberapa tahun yang lalu. Ini berikutan daripada polisi Britain sendiri yang merahsiakan perkara tersebut. Dahagi ini sebenarnya bermula ekoran daripada bantahan askar India dan Melayu Muslim daripada dihantar ke Timur Tengah bagi menyertai tentera Arab menentang pemerintahan Khilafah Othmaniah semasa Revolusi Arab 1916.
Cubalah kita renungkan bagaimana kedudukan kita di mata Inggeris. Di manakah munasabahnya untuk kita ini dihantar menyertai Revolusi Arab yang sudah mabuk Asabiah itu (walaupun kita akur dengan kecacatan yang tidak sedikit di dalam pemerintahan Khilafah Othmaniah pada akhir zaman penguasaannya)?[19] Kassim Ali Mansoor adalah individu penting yang memainkan peranan di sebalik Dahagi tersebut.
Beliau mengetuai gerakan menentang tindakan cabul Inggeris itu dan kemudiannya dihukum gantung atas tuduhan memiliki satu salinan surat yang telah dihantar kepada anaknya sebagai utusan peribadi kepada Konsul Kehormat Othmani di Rangoon. Inggeris sememangnya bimbang terhadap potensi natijah yang bakal dicetuskan oleh Dahagi ini sehingga mereka tidak pernah menjelaskan sebab sebenar kepada insiden tersebut[20].
PERINGKAT KETIGA – KEJATUHAN KHILAFAH DAN KEMALISMA
Daulah Othmaniah adalah benteng terakhir umat Islam. Sultan Abdul Hamid II pada era pemerintahannya bersendirian di dalam kabinet berhadapn dengan menteri-menteri yang telah kekenyangan dengan teori-teori Barat. Usaha Pan-Islamnya seakan-akan dipersendakan oleh kaca mata Eropah dan menganggapnya sebagai tindak balas The Sick Man of Europe.
Daya tarikan yang mendorong kepada timbulnya perhatian alam Melayu kepada Turki adalah soal Khilafah. Sultan Othmani umumnya diertikan sebagai simbol kepada penyatuan ummah. Pada bacaan politik ketika itu, kuasa dan pengaruh Kerajaan Othmaniah terus bertambah. Walaupun keadaan Daulah Othmaniah pada ketika itu tidak memungkinkannya untuk berhadapan dengan kuasa penjajahan yang mencengkam masyarakat Muslim di Kepulauan Melayu.
Selepas lebih 600 tahun memakmurkan tiga benua dengan Islam, Daulah Othmaniah akhirnya runtuh oleh pertemuan 1001 sebab yang membawa kepada kemusnahannya. Mustafa Kemal Pasha (yang kemudiannya dikenali sebagai Ataturk – Bapa Turki) telah membubarkan Khilafah secara rasmi di Ankara pada bulan April 1924. Pada masa itu, seluruh dunia melahirkan tindak balas yang berbeza antara satu sama lain. Di Kepulauan Melayu sendiri, kesan Revolusi Ataturk lahir di dalam pelbagai bentuk mengikut bacaan masing-masing.
Secara umumnya umat Islam di Malaysia melahirkan rasa simpati mereka terhadap pembubaran Daulah Othmaniah. Bahkan setiap peristiwa yang berturutan ketika itu mendapat perhatian dan simpati umum masyarakat seperti Perang Turki – Rusia pada tahun 1877, Turki – Greece pada tahun 1897, Perang Balkan, Kempen Itali di Libya, Perang Dunia Pertama dan sebagainya. Akhbar-akhbar tempatan, buku-buku dan makalah tentang Perang Kemerdekaan Turki telah diterbitkan dan dibaca secara meluas[21]. Di antara koleksi manuskrip perpustakaan Dewan Bahasa dan Pustaka (DBP), terdapat manuskrip sebanyak 7 keping bertajuk “Hikayat Cerita Sultan Istanbul Tatkala Berperang Dengan Radja Moskou”
…Di Kepulauan Melayu sendiri, kesan Revolusi Ataturk lahir di dalam pelbagai bentuk mengikut bacaan masing-masing…
Mustafa Kemal Ataturk
Kaum Tua di Tanah Melayu menganggap Ataturk sebagai pengkhianat agama. Tetapi dari sudut yang lain, pemikiran dan ideologinya telah dimanfaatkan oleh segolongan yang lain di Alam Melayu. Ramai pemimpin Malaya dan Indonesia seperti Sukarno telah mengkaji gerakan Kemalisma dan dasar reformasi sekularnya lantas mencorakkan kegiatan politik mereka berdasarkan corak Mustafa Kemal Ataturk[22]. Sepanjang tahun 1920an dan 30an, beberapa buah buku di Malaya telah diterbitkan khusus membicarakan tentang Revolusi Ataturk. ‘Turki dan Mustafa Kemal Ataturk’ menceritakan tentang sejarah gerakan reformasi ini. ‘Turki dan Tamaddunnya’ pula mengkaji gerakan ini secara terpeinci. Terdapat juga buku yang menceritakan dalam bentuk biografi khusus tentang Ataturk seperti ‘Kitab Mustafa Kemal’. Begitu juga dengan akhbar-akhbar dan majalah berkala seperti ‘Idaran Zaman’ dan ‘Saudara’ yang memberikan laporan secara meluas tentang Revolusi Kemalisma tersebut[23].
Walau bagaimanapun kita membaca kesan ini dengan kaca mata yang berbeza. Agak menyedihkan apabila fahaman sekular menutup pertimbangan kebanyakan umat Islam ketika itu. Gerakan menentang penjajahan kuasa luar tidak digerakkan secara sihat dan apa yang berlaku hanyalah kemusnahan roh Islam di kalangan umat Islam yang lupa kepada agamanya.
Sebagaimana yang telah disebutkan sebentar tadi, Revolusi Ataturk telah membungakan semangat nasionalisma di kalangan orang Melayu – Turki. Turutan daripada itu, pada tahun 1946, pengaruh ini telah mendorong kepada pembentukan sebuah ‘parti sekular dan progresif’ yang bersifat ala-Turki iaitu UMNO di bawah kepimpinan Dato’ Onn yang juga berketurunan Turki[24].
Peranan yang dimainkan oleh kepimpinan Dato’ Onn di dalam gerakan nasionalisma Malaya telah membuka satu lagi lembaran baru kepada hubungan Melayu – Turki. Seperti yang kita sedia maklum, Sultan-sultan di Tanah Melayu mempunyai hubungan yang tersendiri dengan Daulah Othmaniah. Akan tetapi, pertalian yang ditunjukkan oleh House of Johore lebih menonjol dan meninggalkan kesan hingga ke hari ini.
Pada pertengahan 1860an, Sultan Abu Bakar dalam rangka lawatannya ke Eropah telah berkesempatan melawat Khalifah di Istanbul. Sebagai tanda ke atas hubungan baik kedua belah pihak, baginda telah dikurniakan dengan seorang Lady in Waiting bernama Rugayyah Hanum, berketurunan Circassian. Sebaik sahaja tiba di Johor, Rugayyah Hanum telah berkahwin dengan Ungku Abdul Majid dan mendapat tiga orang cahaya mata. Salah seorang daripadanya adalah Ungku Abdul Hamid, ayah kepada Ungku Abdul Aziz, bekas Naib Canselor Universiti Malaya.
Selepas kematian Ungku Abdul Majid, Rugayyah Hanum telah berkahwin dengan Dato’ Jaafar, seorang orang kebanyakan dan mendapat anak seramai tujuh orang. Salah seorang daripadanya ialah Dato’ Onn yang mengasaskan UMNO dan anaknya Tun Hussein merupakan Perdana Menteri Malaysia yang ketiga. Selepas daripada itu, Rugayyah Hanum berkahwin pula dengan seorang ahli perniagaan berketurunan Arab Yaman bernama Abdullah al-Attas dan mendapat seorang cahaya mata bernama Ali al-Attas. Beliau pula mempunyai tiga orang anak lelaki dan salah seorang daripada mereka ialah seorang ahli sosiologi yang terkenal bernama Huseein al-Attas dan adiknya Naquib al-Attas pula adalah juga seorang tokoh yang terkenal di negara kita[25].
KESIMPULAN
Hubungan Alam Melayu – Turki adalah hubungan klasik yang penuh dengan catatan penting jika kita membalikkan bacaan kepada kedudukan Malaysia di dalam persoalan Khilafah dan pengalaman hidup di dalam pemerintahan Islam. Persepsi bahawa seruan ke arah mengembalikan pemerintahan Islam di Alam Melayu sebagai sesuatu yang janggal dan asing, mesti diperbetulkan. Kita telah mempunyai siri pengalaman yang panjang dan pembinaan masa hadapan tidak boleh mengenepikan aspek penting sejarah ini.
Di sana masih terdapat banyak riwayat yang penting lagi menarik tetapi tidak dicatatkan di sini memandangkan kesahihannya masih belum dapat ditentukan. Sebahagiannya berkisar kepada kebangkitan Islam di penjuru-penjuru Tanah Melayu semasa pemerintahan Inggeris dan sebahagian yang lain pula menyentuh tindak balas masyarakat Timur Tengah khususnya di ibu kota Ummah, Istanbul. Penulis mencadangkan agar pembaca dapat bersama mencari sebanyak mungkin cacatan berharga tersebut. Semoga pendedahan ini memberikan manfaat kepada kita semua.
Gambar luar biasa Sultan Abdul Hamid II semasa dimaklumkan tentang perlucutan jawatan baginda sebagai Sultan
“I am sure that the historians will vindicate me, and even if the Turkish historians do not do so, I am certain that some foreign historians will do me justice” – Sultan Abdul Hamid II at Salonika.
Hasrizal Abdul Jamil
Universiti Mu’tah, Jordan 1996.

Monday 19 April 2010

Pemikiran Cemerlang....


WANITA DIHINA PADA ZAMAN SEBELUM KEDATANGAN ISLAM.. Pada masa jahiliyah, jauh sebelum kedatangan Islam, kaum pempuan pada berbagai peradaban di dunia tidak lebih dianggap sebagai komoditi, alat pemuas nafsu lelaki yang buas, wanita boleh diperjualbelikan seperti binatang ternakan. WANITA PADA ZAMAN PERADABAN YUNANI DAN ROM Menurut Prof. Will Durant, "Di Peradaban Rom, hanya kaum lelaki saja yang memiliki hak-hak di depan undang-undang pada masa-masa awal negara Republik. Kaum lelaki saja yang berhak membeli, atau menjual sesuatu, atau membuat perjanjian perniagaan. Bahkan mas kawin isterinya -pada masa-masa tersebut- menjadi miliknya peribadi si suami. Apabila isterinya dituduh melakukan suatu perbuatan kejahatan, si suami sendiri yang berhak menghakiminya. Si Suami berhak menjatuhkan hukuman bagi isterinya, mulai dari mencaci maki, mengutuk isteri sampai menghukum mati bagi tindakan perlakuan curang atau tindakan mencuri yang dilakukan isterinya. Terhadap penjagaan anak-anaknya, kaum lelaki memiliki kekuasaan mutlak untuk menjaga anaknya, atau membunuh anaknya, atau menjual anak-anaknya sebagai hamba. Proses kelahiran menjadi suatu perkara yang mendebarkan dalam masyarakat pada zaman di Rom. Jika bayi yang dilahirkan dalam keadaan cacat atau perempuan, sang ayah diperbolehkan oleh adat bangsa Rom untuk membunuhnya." Bahkan para ahli falsafah Yunani tidak memberikan perhatian yang besar terhadap kaum perempuan. Aristotles mengatakan, ".... dengan demikian kita dapat menyimpulkan menurut hukum alam, harus ada unsur yang secara alamiah memerintah dan harus ada unsur yang secara alamiah diperintah.. Kekuasaan orang-orang yang merdeka terhadap para hamba adalah salah satu bentuk hukum alam; demikian pula kekuasaan kaum lelaki ke atas kaum perempuan... Para hamba sama sekali tidak mampu memberikan pertimbangan, sedangkan kaum perempuan memang mampu, tetapi dalam bentuk yang tidak pasti." Orang-orang bangsa Yunani meletakkan kaum perempuan pada kasta ketiga (kasta yang paling bawah) dalam masyarakat. Apabila seorang perempuan melahirkan anak yang cacat, perempuan tersebut biasanya akan dihukum mati. Masyarakat Sparta, yang dikenal sebagai kelompok masyarakat elit bangsa Yunani, melakukan hukuman mati bagi seorang perempuan yang tidak lagi mampu mengasuh anak. Orang-orang Sparta juga biasa mengambil kaum perempuan dari suaminya yang sah untuk dihamili oleh lelaki-lelaki asing yang "Pemberani dan Perkasa" dari masyarakat lain. Orang-orang Yunani pada umumnya menganggap kaum perempuan sebagai makhluk yang tidak ada nilai, yang tidak akan dikasihi oleh para dewa. Ungkapan kasar Hippolytus terhadap kaum perempuan, pada tragedi Euripides menggambarkan bagaimana pandangan masyarakat Yunani pada waktu itu, "Wahai Zeus, apakah engkau kemasukan syaitan ketika menimpakan kemalangan kepada kami dengan mendatangkan kaum perempuan di tengah-tengah kaum lelaki? Apabila engkau benar-benar hendak menyebarluaskan ras manusia, mengapa pula engkau menciptakan kaum perempuan? Alangkah baiknya jika kaum lelaki dapat membeli sendiri benih anak laki-laki mereka, mempersembahkan wang emas, besi, atau gangsa di kuil-kuilmu, dan kaum lelaki dapat hidup bebas tanpa harus meninggalkan para isteri di rumah-rumah." WANITA PADA ZAMAN PERADABAN YAHUDI Kaum Yahudi ortodoks yang mempelajari ajaran klasik Yahudi akan mendapati, bahwa ada di antara ajaran dan aturan Yahudi yang dinilai menindas kaum perempuan. Talmud, sebuah kitab yang berisi aturan-aturan dalam kehidupan peribadi dan peribadatan menyatakan, "Mustahil ada sebuah dunia yang tanpa keberadaan kaum lelaki dan perempuan. Namun demikian, berbahagialah orang-orang yang mempunyai anak laki-laki, dan celakalah orang-orang yang mempunyai anak perempuan." Keunggulan anak-anak lelaki lebih jauh ditunjukkan dalam berbagai adat kebiasaan mereka. Pada saat kelahiran anak lelaki, si orang tua mengundang para tetamu untuk menghadiri upacara “Kiddush”, sebuah acara makan bersama setelah upacara Sabbath, ini merupakan upacara kegembiraan menyambut ahli baru dalam keluarga. Upacara ini langsung tidak ada pada saat kelahiran anak perempuan!! Dalam bidang pendidikan bangsa Yahudi, anak-anak perempuan dianggap tidak layak mendapatkan ilmu pengetahuan yang lebih tinggi daripada pengetahuan berkisar tentang kewajiban-kewajiban yang ditetapkan kitab suci Yahudi bagi kaum perempuan. Ketika seorang anak laki-laki Yahudi mencapai “akil baligh”, sebuah ritual bertajuk “her mitzvah” (anak laki-laki wahyu Tuhan) diadakan untuk merayakan datangnya alam dewasa anak-anak lelaki Yahudi tersebut. Selanjutnya anak laki-laki itu dianggap sebagai seorang laki-laki dewasa yang diperhitungkan dalam mewujudkan suatu “kuorum” (minyan), iaitu jumlah minimal yang dipersyaratkan agar dapat melakukan peribadatan tertentu atau persembahan umum di “sinagog”, dimana harus ada sepuluh lelaki dewasa yang merdeka. Sementara itu, anak-anak perempuan tidak diperhitungkan dalam pembentukan suatu “minyan”. Tidak ada perayaan-perayaan semacam itu bagi anak perempuan. Berbagai kezaliman dan penindasan terhadap perempuan Yahudi juga ditemukan pada aturan-aturan yang berkaitan dengan perceraian. Seorang perempuan bangsa Yahudi sama sekali tidak mempunyai hak untuk meminta cerai. Sekalipun suaminya menghilangkan diri tanpa dapat dikesan, tanpa bukti kematiann suaminya, si isteri tidak dapat kawin lagi sampai bila-bila. Hanya kaum lelaki saja yang mempunyai hak menceraikan isterinya. Banyak di antara kaum lelaki yang menyalahgunakan hak ini dengan jalan meninggalkan isterinya tetapi tidak mahu menceraikannya. Dengan demikian, suami telah berlaku zalim dengan menghukum sang isteri supaya mereka tidak dapat kahwin kembali. Le Bonn, seorang tokoh terkemuka Yahudi ortodoks, secara bersungguh-sungguh pernah berkata, "Atas berkatmu, wahai raja di raja Tuhan kami, Penguasa Alam Semesta, aku tidak terlahir sebagai seorang perempuan." Kezaliman yang nampak jelas terkandung dalam kitab suci dan adat kebiasaan agama Yahudi ini telah menimbulkan berbagai tekanan yang menghendaki terjadinya perubahan. Ideologi Yahudi yang liberal pada zaman akhir-akhir ini telah banyak menghasilkan perubahan dalam ajaran-ajaran Yahudi. Misalnya, kini diperkenalkan sebuah ritual “bam” untuk merayakan datangnya masa “akil baligh” seorang anak perempuan, yang disebut “bar mitzvah”. Dalam pendidikan bangsa Yahudi, meskipun ada aturan “zohar”, yang menetapkan bahwa Taurat hanya diajarkan khusus bagi anak laki-laki, namun pendidikan bagi anak-anak perempuan telah dijadikan sebagai perkara yang penting. Dalam hal perceraian, kini telah terjadi penambahan peraturan baru: sehingga pasangan suami isteri yang hendak bercerai harus menghadap ke Mahkamah terlebih dahulu untuk mendapatkan pengesahan perceraian, baru kemudian mendapatkan status perceraian secara agama Yahudi. WANITA PADA ZAMAN PERADABAN AGAMA HINDU Dalam agama Hindu, perempuan yang sempurna disebut “pativrata”, iaitu seorang isteri yang menyerahkan seluruh hidupnya hanya kepada suaminya. Seorang pativrata secara singkat dapat didefinisikan sebagai "perempuan yang sumpahnya (vista) hanya diberikan kepada suaminya (pati) sahaja." Selama masa hidupnya, seorang perempuan Hindu yang baik adalah perempuan yang menjadikan suaminya sebagai dewa bagi peribadi dirinya; karena, laki-laki yang ditakdirkan menjadi suami seorang perempuan dianggap jauh lebih mulia daripada laki-laki lain. Laki-laki tersebut merupakan inkarnasi (penjelmaan) dalam hukum tertinggi dalam kehidupan seseorang perempuan, sekaligus sebagai ketetapan dan sekumpulan hukum agama Hindu yang bagi isteri wajib patuhi. Setelah menjalani kehidupannya bersama suamiya tanpa ada cacat cela, seorang perempuan Hindu yang baik semestinya meninggal dunia terlebih dahulu dari suaminya. Apabila ajal isteri belum sampai lagi, iaitu seorang isteri tidak meninggal lebih dahulu daripada suami, maka si isteri mengakhiri hidupnya pada masa upacara pembakaran jenazah suaminya dengan cara membunuh diri. Ritual yang mengerikan ini disebut “satee”, yang sampai sekarang masih lagi dilakukan oleh orang-orang Hindu di India. Meskipun ada campurtangan pemerintah untuk menghapuskan amalan ritual agama Hindu ini, namun bagi penganut Hindu yang fanatik, para isteri yang melakukan ritual “satee” ini, akan dipuja dan disanjung tinggi, disembah selayaknya dewi-dewi yang telah memberikan contoh dan teladan yang sempurna sebagai isteri yang rela berkorban bersama-sama si suami (hidup mati bersama). Sebuah buku yang berisi aturan-aturan keagamaan Sanskrit kuno, berjudul “Draramasastra”, memuatkan satu bab tentang "kedudukan dan kewajiban agama kaum perempuan" atau “stridharmapaddhati”. Pengarang (atau lebih tepatnya penyusun) buku ini, Tryambaka, adalah seorang pandit (pendeta) ortodoks yang tinggal di Thanjavur, yang sekarang terletak di bahagian Selatan wilayah Tamil Nadu, India. Aturan tentang kaum perempuan dalam buku tersebut secara umum menempatkan kaum perempuan pada golongan warganegara kelas dua. Sebagai rontoh, seorang isteri tidak mempunyai hak ke atas harta kekayaan suaminya. Harta kekayaan yang dimiliki bersama oleh suami dan isteri hanya boleh dikeluarkan oleh sang suami; boleh dikeluarkan oleh tetapi mesti mendapat izin suaminya. Bahkan, berbagai macam harta benda yang menjadi hak milik perempuan, seperti hadiah dari suaminya atau dari keluarganya, pun hanya boleh dimanfaatkan oleh seorang perempuan bila telah mendapatkan izin dari suaminya (padahal harta benda tersebut milik si isteri). Ada tiga pesan yang dapat diambil daripada buku “Pandit Tryambaka” ini. Pertama,,seorang istri tidak perlu memperhatikan kehidupan peribadinya; kedua, seorang isteri bahkan wajib dengan kerelaannya untuk dijual kepada orang lain apabila suaminya menghendaki; Ketiga, kepatuhan kepada suaminya wajib diutamakan seperti berbanding dengan kewajiban-kewajiban lainnya, termasuk kewajiban-kewajiban agama hindu sekalipun. Pendek kata, aturan-aturan dalam buku itu hanya memuat satu perkara asas, iaitu “kewajiban tertinggi seorang perempuan Hindu adalah kewajiban-kewajiban kepada suaminya”. WANITA PADA ZAMAN ARAB JAHILIYYAH. Sebelum kedatangan Islam, di Jazirah Arab, orang-orang Arab biasa memperlakukan kaum perempuan secara hina. Mengubur bayi-bayi perempuan hidup-hidup setelah mereka dilahirkan merupakan suatu kebiasaan bagi masyarakat arab jahiliyyah. Kaum lelaki terutama para pembesar boleh memiliki sebanyak mungkin isteri sesuka hatinya, dan “isteri-isteri” mereka juga boleh diperlakukan sebagai hamba abdi. Isteri-isterinya yang ramai itu juga dapat diwariskan kepada anak lelakinya sebagaimana mewariskan harta kekayaan apabila sang ayahnya meninggal dunia. Di antara kebiasaan orang-orang Arab adalah ketika seorang lelaki meninggal, maka anak laki-lakinya yang tertua (anak lelaki sulung) atau keluarga dekatnya mempunyai hak untuk "mewarisi" jandanya (atau janda-jandanya) dan mengawini mereka bila dikehendaki (berkahwin ibu atau ibu-ibu tiri). Sebelum dan pada masa hidup Rasulullah Muhammad saw, wilayah Persi dikuasai orang-orang Sassan yang menerapkan aturan-aturan Zoroasterisme. Keyakinan tersebut menuntut kaum perempuan untuk tunduk dan patuh sepenuhnya kepada suaminya. Seorang isteri wajib bersumpah, "Saya tidak akan pernah berhenti -sepanjang hidup saya- untuk mematuhi suami saya." Apabila isteri tidak menepati sumpah tersebut maka dia akan diceraikan. Seseorang isteri sama sekali tidak memiliki hak berpendapat; dan suaminya dapat "meminjamkan" isterinya kepada orang lain untuk mendapatkan bayaran tertentu (dengan kata lain, si suami boleh melacurkan si isteri untuk mendapatkan wang, dan adat ini menjadi kebiasaan bagi masyarakat Parsi). Jika seorang isteri tidak dapat menghasilkan zuriat, maka isteri akan diceraikan, itu pun kalau si isteri tersebut bernasib baik; tetapi kebiasaannya sering terjadi perempuan yang mandul akan dihukum mati!! WANITA PADA ZAMAN PERTENGAHAN EROPAH Britain dan kebanyakan Negara-negara Eropa Tengah berusaha memulihkan diri dari pengaruh penjajahan bangsa Rom yang amat panjang, ketika kemudian datangnya agama Nasrani. Pada saat itu, orang-orang Eropah berada dalam keadaan terpecah belah, sehingga seriang berlaku peperangan di antara suatu bangsa dan di antara kerajaan untuk memperebutkan kekuasaan atas wilayah dan umat manusia. Dalam keadaan seperti itu, kaum perempuan mempunyai peranan yang kecil dan amat terbatas. Ketika cahaya Islam mulai bersinar di tengah zaman kegelapan dan penindasan terhadap kaum perempuan, orang-orang Perancis pada saat yang sama (tahun 586 M) tengah menunjukkan "kemurahan" dan "keberadabannya" dengan mengeluarkan sebuah resolusi. Resolusi yang dikeluarkan setelah melalui pertimbangan dan perdebatan yang sengait di antara pemikir-pemikir mereka itu menyatakan bahwa "perempuan dapat diklasifikasikan sebagai manusia, namun demikian ia diciptakan semata-rnata untuk melayani kaum laki-laki." (macam laa kaum perempuan sebelum Resolusi ini dikatakan sebagai bukan manusia- atau lebih tepat- haiwan!! – dan semata-mata melayan kaum lelaki) WANITA PADA PANDANGAN AGAMA KRISTIAN Perbincangan “wanita pada pandangan petengahan Eropah” dan “wanita pada pandangan agama Kristian” nampak seperti perbincangan yang serupa, karena istilah "agama Kristian" itu mencakup berbagai macam keyakinan dan rangkaian ritual ibadat yang berbeda-beda. Seseorang pengkaji pernah berkata, "Agama Kristian selalu beradaptasi kepada sesuatu yang boleh dipercayai." Fleksibiliti agama Kristian seperti ini menyukarkan perbahasan, karena setiap orang -khususnya penganut Kristian- mudah menyampaikan bantahan terhadap segala yang dikatakan tentang agama Kristian berdasarkan ketetapan atau aturan terbaru yang dikeluarkan Pope di Vertikan, Sinode Gereja Anglikan, atau Mazhab-mazhab Kristian yang lainnya. Ini sama sukarnya seperti seorang pelukis yang berusaha melukis sebuah bukit padang pasir yang terbentuknya berubah-rubah apabila ditiup angin. Begitulah karakteristik alamiah agama Kristian yang banyak mazhab-mazhab baru. Dan perlu diingatkan disini, kerana apa yang dianggap benar dalam salah satu mazhab kristian, misalnya Gereja Anglikan, belum tentu dibenarkan oleh mazhab yang lainnya, seperti Gereja Katolik Rom. Namun demikian, apabila kita meneliti kitab-kitab yang menjadi rujukan agama Kristian/Nasrani, iaitu Bible Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, ataupun karya-karya pendeta-pendeta agamawan kristian yang tersebar di mana-mana, kita akan mendapatkan bukti yang cukup banyak, bahwa kaum perempuan- selama berabad-abad-telah menerima perlakuan yang buruk dari pihak gereja. Menurut Encyclopedia Britannica, "Agama Nasrani tidak menghasilkan sebuah perubahan sosial yang revolusioner dalam hal kedudukan kaum perempuan." Kerana, "sejak awal, pihak gereja telah menempatkan kaum perempuan dalam posisi yang amat rendah. Posisi inilah yang menjadi landasan bagi praktik perceraian; posisi yang secara praktik menempatkan kaum perempuan sebagai hak milik kaum lelaki sepenuhnya." Hal ini sesuai dengan pemyataan dalam Kitab Perjanjian Lama, "yang memandang perkawinan sebagai suatu institusi yang bertujuan utama untuk membentuk sebuah bangunan keluarga, bukan untuk menciptakan kebahagiaan peribadi bagi pasangan masing-masing." Pandangan inilah yang "kuat berpengaruh dalam Agama Nasrani." Ketika "Kerajaan Tuhan" ditegakkan, perkawinan -yang dipahami sebagai sebuah bahagian dari tantanan yang kuno dan telah berlalu- tidak akan ada lagi. Ini berdasarkan kenyataan Bible sendiri yang ada saat ini, "... orang yang beruntung adalah mereka yang tidak kawin atau tidak bersedia dikawini; mereka laksana malaikat-malaikat yang ada di surga." (Markus 12:25). Demikian pula, pernyataan Paul tentang perkawinan dan kaitannya dengan kedatangan Kerajaan Tuhan, "... waktunya amat dekat. Sejak saat ini, mereka yang mempunyai isteri harus menjalani kehidupan sebagaimana jika mereka tidak memilikinya... karena dunia dalam bentuk seperti sekarang ini akan segera berlalu..." (1 Korintian 7:29-30). Orang-orang Kristian terdahulu berkeyakinan bahawa akhir masa akan segera datang. Oleh karena itu, perkawinan dianggap sebagai suatu perkara yang tidak selayaknya dilakukan, karena ia dianggap hanya mendatangkan berbagai persoalan yang tidak ada gunanya. Dinyatakan bahwa, "Aku ingin engkau terbebas dari berbagai persoalan." (1 Korintian 7:32). Mereka menganggap bahwa orang-orang bujang, para duda, atau para janda dinilai lebih baik jika tidak menikah. Membujang merupakan sebuah tuntutan agama Kristian, bukan sahaja bagi para pederi dan biarawan, tetapi juga menjadi kewajiban bagi para pendeta yang semakin ramai jumlahnya. Bible, sebuah kitab yang terbukti secara pasti merupakan hasil karya manusia dan hanya memuatkan sedikit potongan wahyu yang diturunkan Tuhan kepada para Rasul selama kurun waktu berabad-abad (termasuk ayat daripada Taurat, Zabur, dan Injil), berisi berbagai aturan tentang kedudukan kaum perempuan di masyarakat. Sebagai contoh: "Sebagaimana datum jemaah para santo, kaum perempuan harus tetap diam di dalam gereja. Mereka tidak boleh berbicara, melainkan harus bersikap patuh, sebagaimana yang ditetapkan oleh hukum." (1 Korintian 14:33-34). Keyakinan bahwa kaum perempuan adalah makhluk yang kurang berharga telah ditanamkan sejak lahir bagi peradaban kristian. "... Seorang perempuan yang hamil dan melahirkan seorang anak laki-laki, maka ia berada dalam keadaan tidak suci selama tujuh hari. Bila perempuan itu melahirkan seorang anak perempuan, maka ia berada dalam keadaan tidak suci selama dua minggu.." (Leviticus 12:1, 5) "Kemudian Tuhan Raja berkata kepada kaum perempuan, Apa yang telah engkau kerjakan?' Kaum perempuan menjawab, Iblis telah menyesatkan aku, dan aku pun makan." Maka kemudian kepada kaum perempuan, Ia berkata. "Aku akan menambahkan rasa sakit bagimu ketika melahirkan; dengan rasa sakit yang engkau rasakan ketika melahirkan anak. Keinginanmu adalah bagi suamimu, dan dia (suami) akan berkuasa atas dirimu." (Kejadian 3: 13, 16). Paulus berkata, "Pemimpin para perempuan adalah laki-laki . karena laki-laki . . . adalah bayangan dan keagungan Tuhan. Aku tidak membiarkan perempuan mengajar atau merampas kekuasaan dari kaum lelaki, melainkan mereka harus tetap diam." Berdasarkan gambaran Bible tentang Hawa –yaitu sebagai penggoda nafsu kaum lelaki–, maka para pakar teologi Kristian sepanjang sejarah selalu mengaitkan kaum perempuan dengan seksual, dan memandang mereka dengan penuh kecurigaan, rasa segan, dan bahkan rasa takut. Sepanjang sejarah agama Kristian dan Mazhab Gereja Katolik Roma, para pakar teologi, para moralis, dan penganjur kesopanan, selalu melancarkan kritikan yang keras kepada kaum perempuan, dan menilai mereka sebagai orang-orang yang rusak, lemah, penuh nafsu, dan "anak keturunan Hawa" yang jahat, yang harus dijauhi dan dihindari oleh kaum lelaki dengan cara apa pun. Penganjur feminisme pasca-Nasrani, Mary Daly, bersikap keras bahawa karana cerita-cerita yang terdapat dalam Kitab Kejadian ditulis oleh kaum lelaki, sedangkan konsep ketuhanan mereka bersifat androsentrik, maka ia tidak dapat diterapkan oleh kaum perempuan!! Yang “menariknya” adalah, bahwa pada surat keputusan tahun 1988, Paus Paulus ke-II menyatakan keyakinannya jika kaum ibu memiliki peranan yang lebih penting daripada kaum bapa dalam urusan pemeliharaan anak-anak. Tidak ada hubungan antara peranan prokreatif kaum dengan peran sosial sebagai bapa; sedangkan peranan sosial kaum perempuan (ibu) ditentukan oleh peran prokreatif mereka (padahal beratus-ratus tahun lamanya, puak-puak gereja dan masyarakat Kristian sendiri yang merendah-rendahkan dan menghina kaum wanita). WANITA PADA PANDANGAN MASYARAKAT BRITAIN Mari kita lihat apa pandangan Masyarakat Britain yang digembar-gemburkan sebagai “pembawa tamadun kepada dunia” ini terhadap wanita. Undang-undang Britain menetapkan bahwa dalam ikatan perkawinan, seorang perempuan akan kehilangan hak-hak yang dia miliki pada saat dia masih bujang. Seluruh harta kekayaannya berpindah kepada suaminya, sehingga dirinya sendiri dan hartanya berada dalam kekuasaan penuh suaminya. Seorang suami bahkan tidak perlu bertanggung jawab kepada isterinya. Sang isteri tidak dapat mengeluarkan harta miliknya, atau membuat perjanjian perniagaan atas nama dirinya, dan juga tidak dapat menuntut maupun dituntut hartanya. Secara praktiknya, wanita masyarakat Britain yang berkahwin bermaksud “saat kematian hak-hak seorang perempuan”. Sidang Perundangan atas sebuah kes yang terjadi pada tahun 1840 -yang dikutip oleh O'Faolain dan Marlines- memperlihatkan betapa tidak ada harganya seorang perempuan di kalangan masyarakat Britain. "Kesimpulan yang muncul dari kes ini adalah bahwa seorang suami -menurut hukum adat- dalam rangka mencegah isterinya melarikan diri dari dirinya, mempunyai hak untuk mengurung isterinya di rumahnya dan menghalangi kebebasannya, selama kurun waktu yang tidak terbatas… Tidak ada keraguan bahawa suami mempunyai kekuatan hukum dan kekuasaan ke atas isterinya, dan boleh menahan isterinya dengan kekerasan serta boleh memukul isterinya, tetapi tidak secara kejam dan berlebihan." Sampai dengan akhir tahun 1856 M, kaum perempuan di Britain tidak dibolehkan menyimpan pendapatannya, dan juga tidak mempunyai hak waris. Pada tahun itu, kaum perempuan menyampaikan bantahan kepada Parlemen -yang sebahagian besarnya terdiri dari kaum laki-laki- yang berisi tuntutan agar kaum perempuan diperbolehkan menyimpan pendapatannya dan mempunyai hak untuk mewarisi harta. Pada tahun 1857, kaum perempuan yang bercerai mendapatkan hak sebagaimana kaum perempuan yang bujang; sedangkan perempuan yang berkahwin harus menunggu sehingga tahun 1893 untuk mendapatkan hak yang sama!! Sepanjang abad kesembilan belas, kaum perempuan mulai menyadari terbatasnya hak-hak yang mereka miliki di tengah-tengah masyarakat. Menjelang akhir abad tersebut, gerakan-gerakan yang menghendaki perubahan semakin banyak berkembang, dan semakin marak pula gerakan kaum perempuan yang menuntut hak pilihanraya. Selama berabad-abad, hak suara dimonopoli oleh orang-orang yang memiliki kekayaan semata-mata, dan hanya pada pertengahan abad ke-19 keanggotaan parlimen Britain diperluas bagi kaum laki-laki yang berusia lebih dari 21 tahun. Kaum perempuan harus menunggu sehingga tahun 1928 untuk mendapatkan hak bersuara atau hak pilihanraya tersebut. Untuk mendapatkan upah yang setara dengan upah kerja kaum lelaki untuk pekerjaan yang sama perlu waktu yang lebih lama lagi, dan baru diperoleh pada tahun 1975!! Dengan demikian, jelas bahawa Eropah Barat umumnya, Britain khususnya, sangat terlambat dalam menjaga hak-hak bagi kaum perempuan (Kononnya mereka adalah bangsa yang membawa tamadun kepada dunia). Wanita baru mendapatkan hak-haknya setelah beratus-ratus tahun wanita ditindas, diperlakukan seperti haiwan peliharaan oleh masyarakat barat. Keadaan tersebut sangat jauh berbeza dengan landasan moral yang sangat adil terhadap kaum wanita sebagaimana telah disampaikan oleh Islam. WANITA PADA PANDANGAN ISLAM (Bersambunggggg)…..Segala Isu Semasa dijelaskan pada pandangan Islam berdasarkan sumber yang paling rajih...

Konsisten Dalam Kebenaran - Bhg. 3


PDF Print E-mail
Pemboikotan

Ibnu Sa’ad telah meriwayatkan dalam ath-Thabaqat dari al-Waqidi dari Ibnu Abbas, dan Abu Bakar bin Abdurrahman bin al-Haris bin Hisyam, dan Utsman bin Abi Sulaiman bin Jubair bin Muth’im (hadis sebahagian mereka masuk kepada sebahagian yang lain):  Orang Quraisy telah menulis surat kepada Bani Hasyim agar mereka tidak menikah, berjual-beli dan bergaul dengan kaum Quraisy. Mereka telah memutuskan bantuan barang dagangan dengan Bani Hasyim. Bani Hasyim tidak keluar kecuali dari satu musim ke musim yang lain sehingga ditimpa kesusahan dan terdengar suara tangisan anak-anak mereka di balik lembah-lembah. Di antara orang-orang Quraisy ada yang gembira melihat keadaan itu dan ada pula yang sebaliknya. Mereka tinggal di lembah itu selama tiga tahun. Adz- Dzahabi di dalam at-Tarikh telah menceritakan khabar pemboikotan ini dari Musa bin Uqbah dari Az-Zuhri.

Mengolok-olok dan Mengejek

Ibnu Hisyam berkata di dalam Sirahnya, Ibnu Ishaq berkata; Aku telah diberitahu Yazid bin Ziad dari Muhammad bin Ka’ab al-Karzi, setibanya di Thaif, Rasulullah SAW pergi menemui beberapa penduduk Tsaqif. Mereka adalah para pemimpin dan tokoh-tokoh Bani Tsaqif. Mereka ada tiga orang bersaudara. Kemudian Rasulullah SAW duduk bersama mereka dan mengajak kepada agama Allah. Rasulullah SAW menyampaikan kepada mereka tentang tujuan kedatangannya, iaitu mencari orang yang bersedia menolong dan berjuang bersama baginda menghadapi siapa sahaja di kalangan kaumnya yang menentang baginda.

Salah seorang daripada mereka berkata, “Aku bersedia mencabut kain Ka’bah dan membuangnya jika Allah memang mengutusmu sebagai Nabi.” Yang lain berkata, “Adakah Allah tidak memilih orang lain untuk diutus selain engkau?” Kemudian mereka memprovokasi orang-orang yang jahil dan hamba sahaya untuk mencaci maki Rasulullah SAW dan meneriakkan kata-kata yang kotor. Ibnu Hibban di dalam Shahihnya dari Abdullah bin Amr, ia berkata; Aku telah hadir bersama mereka dan para pembesarnya berkumpul di al-Hijr, kemudian mereka bercerita tentang Rasulullah SAW dan berkata; Kami tidak melihat kelakuan daripada lelaki itu yang menjadikan kami tetap sabar terhadapnya. Dia menganggap bodoh mimpi-mimpi (hayalan) kami, mencaci maki nenek moyang kami, dan memperlekehkan agama kami, memisahkan kumpulan kami dan memaki-maki Tuhan kami. Kami telah bersabar darinya atas perkara yang agung (serius). Ketika mereka masih bergelimang dalam keadaan seperti itu, tiba-tiba datanglah Rasulullah SAW. Baginda berjalan sehingga menghampiri tiang (Ka’bah). Baginda melalui mereka sambil thawaf di Baitullah.

Ketika baginda melewati mereka, mereka mengejek dengan beberapa perkataan. Abdullah bin Amr berkata; Aku mengenali pengaruh ejekan itu di wajah baginda, kemudian baginda berlalu. Ketika baginda melewati mereka kedua kalinya, mereka kembali mengejek lagi seperti yang pertama kali, dan aku mengenali pengaruh ejekan itu di wajah baginda, dan baginda berlalu. Kemudian melewati mereka ketiga kalinya, mereka pun kembali mengejeknya seperti tadi. Kemudian baginda bersabda: Apakah kalian mendengar wahai kaum Quraisy! Ingat, demi Allah yang menggenggam jiwa Muhammad, sungguh aku datang kepada kalian untuk memenggal (kalian)….”

Memutuskan Hubungan antara Pimpinan dan Pengikut

Imam Muslim telah meriwayatkan dari Sa’ad, ia berkata; kami pernah bersama Nabi SAW, jumlah kami ada enam orang. Kemudian kaum Musyrik berkata kepada Nabi, “Usirlah mereka itu agar tidak lancang kepada kami.” Sa’ad berkata; Sahabat Rasul SAW pada saat itu adalah aku, Ibnu Mas’ud, seorang lelaki dari Hudzail, Bilal, dan dua orang lelaki yang tidak aku kenali namanya.

Kemudian ucapan kaum Musyrik itu mempengaruhi diri Nabi SAW, dengan izin Allah. Sehingga Nabi SAW berbicara di dalam hatinya, kemudian turunlah Firman Allah: "Dan janganlah kamu mengusir orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi hari dan di petang hari, sedang mereka menghendaki keridhaanNya." (TMQ. al-An’am[6]: 52)

Tawar-menawar antara Mabda (Ideologi) dengan Tahta, Harta, dan Wanita

Abu Ya’la dalam al-Musnad dan Ibnu Muin dalam Tarikhnya telah meriwayatkan dengan isnad yang terpercaya perawinya selain al-Ajlah, tetapi kemudian ia menjadi orang yang terpercaya. Dari Jabir bin Abdullah ia berkata; Abu Jahal dan segolongan pembesar Quraisy berkata, “Sungguh telah menyebar kepada kita urusan Muhammad. Oleh kerana itu, carilah seorang lelaki yang sangat mengetahui sihir, perdukunan, dan syair. Kemudian ajaklah ia berbicara dan suruh ia mendatangkan penjelasan kepada kami tentang urusan Muhammad.” Maka Utbah berkata, “Aku telah mendengar perkataan tukang sihir, dukun, dan para penyair. Aku mempunyai pengetahuan tentang semua itu, dan tidak akan samar bagi kami jika urusan Muhammad adalah termasuk sihir, perdukunan, dan syair.” Kemudian Utbah mendatangi Nabi SAW, dan berkata, “Wahai Muhammad!, siapa yang lebih baik, adakah engkau atau Hasyim? Siapakah yang lebih baik, adakah engkau atau Abdul Muthalib? Siapakah yang lebih baik, adakah engkau atau Abdullah?”

Maka Nabi tidak menjawabnya. Utbah berkata, “Lalu kenapa engkau mencaci tuhan-tuhan kami dan menyesatkan nenek moyang kami? Jika engkau melakukan hal itu kerana ingin tahta, maka kami akan mengikat panji-panji kami kepada engkau sehingga engkau menjadi pemimpin kami; jika engkau menginginkan wanita, maka kami akan menikahkan engkau dengan sepuluh wanita yang boleh engkau pilih dari kalangan wanita Quraisy sekehendakmu; dan jika engkau menginginkan harta, maka kami akan mengumpulkan harta-harta kami untukmu yang bdapat menampungmu dan keturunanmu.” Rasulullah SAW diam tidak berbicara. Ketika Utbah selesai bicara, Rasulullah SAW membaca: Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Hâ Mîm. Diturunkan dari Tuhan Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam bahasa Arab, untuk kaum yang mengetahui. (TMQ. Fushilat [41]: 1-3); sehingga ayat ketiga belas:
 

Konsisten Dalam Kebenaran - Bhg. 2


PDF Print E-mail
Melarang Tampil dan Menyerukan (Dakwah) secara Terbuka

Imam Bukhari telah meriwayatkan sebuah hadis yang panjang, dari ‘Aisyah ra. Ia berkata: “…Kaum Quraisy tidak menghiraukan jaminan Ibnu Daghanah. Mereka berkata kepada Ibnu Daghanah, ‘Perintahkanlah Abu Bakar untuk menyembah Tuhannya di rumahnya, dia boleh solat di rumahnya, dan membaca apa sahaja sesuka hatinya. Dengan seperti itu, dia tidak akan menyakiti kita sedikit pun. Katakanlah kepadanya, agar jangan tidak memperlihatkan ibadahnya itu, kerana kami khuatir tentang kaum wanita dan anak-anak kami akan terpesona. Kemudian Ibnu Daghanah pun menyampaikan permintaan kaum Quraisy itu kepada Abu Bakar. Abu Bakar tidak dapat berbuat apa-apa. Lantas ia beribadah kepada Allah hanya di rumahnya dan tidak menzahirkan solat dan membacakan al- Quran di luar rumahnya. Tetapi setelah itu, Abu Bakar mempunyai keinginan untuk membina masjid di halaman rumahnya. Akhirnya dia pun solat dan membaca al-Quran di masjidnya itu. Apa yang dilakukan oleh Abu Bakar ini berjaya memikat kuam wanita dan anak-anak Quraisy. Mereka kagum ketika melihat Abu Bakar sedang beribadah di masjidnya. Abu Bakar adalah seorang lelaki yang kerap menangis, ia tidak mampu manahan air matanya ketika membaca al-Quran. Maka para pembesar Quraisy pun terkejut kerananya. Kemudian mereka memanggil Ibnu Daghanah, dan dia (Ibnu Daghanah) pun datang memenuhi panggilan tersebut. Mereka berkata, ‘Sesungguhnya kami membiarkan Abu Bakar kerana jaminanmu bahawa dia akan beribadah kepada Tuhannya di rumahnya saja, tapi dia telah melanggarnya. Dia membina masjid di halaman rumahnya, kemudian secara terang-terangan solat dan membaca al-Quran di masjidnya itu. Kami sangat khuatir isteri-isteri dan anak-anak kami tergoda olehnya. Cegahlah dia! Jika dia memilih untuk menyembah Tuhannya di rumahnya, maka biarkan dia melakukannya. Tapi jika dia menolak dan tetap akan menyembah Tuhannya secara terang-terangan, maka tariklah semula jaminanmu terhadapnya. Kerana kami tidak ingin mempermalukanmu, dan kami tidak mengizinkan Abu Bakar beribadah secara terang-terangan….’”

Melempar dengan Batu

Ibnu Hibban dan Ibnu Huzaimah telah meriwayatkan hadis di dalam kitab sahihnya, dari Thariq al-Muharibi, ia berkata; Aku melihat Rasulullah SAW melalui pasar Dzil Majaz. Ia memakai jubah berwarna merah. Beliau bersabda: Wahai manusia, katakanlah La Illaha Illallah, nescaya kalian akan bahagia. Pada saat itu, ada seorang lelaki yang mengekori Rasulullah SAW sambil melemparkan batu kepada baginda. Akibatnya tumit dan betis baginda berdarah. Orang itu berkata, “Wahai manusia, jangan kalian mengikutinya kerana dia adalah seorang pendusta.” Aku berkata, “Siapa orang itu?” Mereka berkata, “Ia adalah anak muda dari bani Abdil Muthalib.” Aku berkata lagi, “Lalu siapa orang yang mengikutinya sambil melemparinya dengan batu?” Mereka berkata, “Abdul Uzza”, Abu Lahab.

Melempar Kotoran, seperti Najis (Tahi) Unta dan Lainnya

Imam Al-Bukhari telah meriwayatkan dari Abdullah ra., ia berkata; Ketika Nabi SAW sedang sujud dan di sekitarnya terdapat sekelompok orang Quraisy, datanglah Uqbah bin Abi Mu’ith dengan membawa najis unta yang telah disembelih, lalu melemparkannya ke punggung Nabi SAW; maka Nabi tidak mengangkat kepalanya. Kemudian Fatimah datang dan mengambil kotoran (najis) itu dari punggung Nabi SAW. Baginda membiarkan apa yang dilakukan orang-orang Quraisy itu kemudian bersabda: Ya Allah, binasakanlah segolongan orang Quraisy, iaitu Abu Jahal bin Hisyam, Uthbah bin Rabi’ah, Syaibah Ibnu Rabi’ah, Umayah

Ibnu Khalaf atau Ubay bin Khalaf, (dua nama yang terakhir dari hadis di atas merupakan keraguan dari perawi hadis ini). Abdullah berkata, “Di kemudian hari aku melihat mereka telah terbunuh dalam perang Badar. Mereka semua dilemparkan ke dalam sumur Badar kecuali Umayah atau Ubay. Tubuhnya telah terpotong-potong sehingga tidak dilemparkan ke sumur.” Ibnu Sa’ad telah meriwayatkan dalam ath-Thabaqat daripada ‘Aisyah ra., ia berkata; Rasulullah SAW bersabda: Aku berada di antara kejahatan dua tetangga, iaitu Abu Lahab dan ‘Uqbah bin Abi Mu’ith. Keduanya suka membawa kotoran unta kemudian dilemparkannya ke pintu rumahku. Bahkan mereka (orang Quraisy) juga suka membawa sebahagian kotoran kemudian dilemparkannya ke rumahku.

Kemudian Rasul SAW keluar membawa kotoran itu seraya berkata, “Wahai bani Abdu Manaf, kejiranan seperti apakah ini?” Kemudian Nabi SAW melemparkannya ke jalan.

Berusaha Memijak Leher dan Menaburkan Tanah ke Wajah

Imam Muslim telah meriwayatkan dari Abu Hurairah, ia berkata; Abu Jahal pernah berkata, “Adakah wajah Muhammad telah ditabur dengan tanah di hadapan kalian?” Kemudian ada yang menjawab, “Benar.” Abu Jahal berkata, “Demi Latta dan Uzza, jika aku melihat hal itu, maka aku akan memijak lehernya atau aku akan menaburkan tanah ke wajahnya.” Abu Hurairah berkata, “Kemudian Abu Jahal mendatangi Nabi SAW, ketika baginda sedang solat. Ia berhajat untuk memijak leher Nabi SAW. Kejadian itu, tidak ada yang menghairankan mereka, kecuali pada saat mereka berjalan di belakangnya dan menahan tangannya, dan bertanya, ‘Apa yang terjadi padamu?’ Abu Jahal berkata, ‘Antara aku dan Muhammad benar-benar ada parit api dan makhluk yang menakutkan, yang dipenuhi dengan sayap-sayap”. Rasulullah SAW bersabda: Andai kata (Abu Jahal) mendekatiku, maka sudah pasti anggota tubuhnya akan disambar oleh Malaikat satu persatu.

Penyiksaan Tanpa Diceritakan Caranya

Adz-Dzahabi meriwayatkan dalam at-Tarikh, al-Baihaqi dalam asy-Sya’bi, Ibnu Hisyam dalam as-Sirah, dan Ahmad dalam Fadhail Shahabah dari Urwah, ia berkata; Ketika Bilal sedang diseksa dan mengatakan Ahad, Ahad, Waraqah Bin Naufal berjalan melewatinya, sambil berkata: Ahad, Ahad, Allah! wahai Bilal. Kemudian Waraqah menemui Umayah bin Khalaf dan orang-orang dari Bani Jamuh yang telah menyiksa Bilal. Ia berkata; Umayah berkata, “Aku bersumpah dengan nama Allah, jika kalian membunuhnya dalam keadaan seperti itu, maka aku akan menjadikannya sebagai orang yang sentiasa dikenal.” Itulah yang terjadi, hingga suatu hari datanglah Abu Bakar ash-Shiddiq bin Abi Kuhafah tatkala mereka sedang menyiksa Bilal. Rumah Abu Bakar berada di perkampungan Bani Jamuh. Abu Bakar berkata kepada Umayah, “Kenapa engkau tidak takut kepada Allah ketika menyiksa orang miskin ini? Sampai bila engkau akan menyiksanya?”

Umayah berkata, “Engkaulah yang telah merosakkan orang ini, kerana itu selamatkanlah dia dari apa yang engkau lihat ini.” Abu Bakar berkata, “Baik, aku akan melakukannya. Aku mempunyai seorang hamba sahaya berkulit gelap yang lebih tegap dan lebih kuat memegang agamamu berbandingnya. Aku serahkan hamba tersebut kepadamu sebagai pengganti Bilal.” Umayah berkata, “Aku terima.” Abu bakar berkata, “Ya, hamba itu untukmu.” Maka Abu Bakar memberikan hambanya kepada Umayah, lalu mengambil Bilal dan memerdekakannya. Sebelum berlaku hijrah, Abu Bakar telah memerdekakan enam orang hamba bersama Bilal kerana (masuk) Islam.

Bilal adalah yang ketujuh, manakala yang lain adalah Amir bin Fuhirah, yang ikut serta di dalam perang Badar dan Uhud. Dia syahid di Bir Ma’unah. Umu ‘Ubays dan Zinirah, Al-Hakim telah mengeluarkan sebuah hadis di dalam kitab al-Mustadrak, ia berkata, “Hadis ini sahih, dan memenuhi syarat Muslim”, adz- Dzahabi menyetujuinya di dalam kitab at-Talkhish dari Jabir, sesungguhnya Nabi SAW menghampiri Amar dan keluarganya yang sedang diseksa. Kemudian Rasul SAW bersabda: Bergembiralah wahai keluarga Amar dan keluarga Yasir, sesungguhnya tempat yang dijanjikan kepada kalian adalah syurga. Imam Ahmad telah meriwayatkan dengan isnad yang perawinya terpercaya dari Utsman ra., ia berkata, aku datang bersama Rasul SAW, saat itu Beliau memegang tanganku. Kami berjalan-jalan di Batha hingga beliau mendatangi keluarga Amar yang sedang diseksa. Abu Amar berkata, “Wahai Rasulullah!,

Adakah seperti ini?” Kemudian Rasulullah SAW bersabda: Bersabarlah! Kemudian beliau bersabda, “Ya Allah, ampunilah keluarga Yasir! (Yasir berkata,) “Aku akan tetap bersabar”

Penyekatan Makanan

Ibnu Hibban telah mengeluarkan satu hadis dalam kitab Sahihnya; dari Anas, ia bekata; Rasulullah SAW bersabda: Aku telah diseksa kerana Allah, dan tidak ada seorang pun yang dianiaya. Aku telah diugut kerana Allah, dan tidak ada seorang pun yang diugut. Aku telah diboikot selama tiga hari tiga malam, dan aku tidak melihat makanan sedikit pun kecuali yang tersembunyi di bawah ketiak Bilal. Ibnu Hibban juga telah mengeluarkan dalam kitab Sahihnya, al- Hakim dalam al-Mustadrak, ia berkata, “Hadis ini sahih memenuhi syarat Muslim”, adz-Dzahabi menyetujui dalam kitab at-Talkhish dari Khalid bin Umair al-Adawiy, ia berkata; Atabah bin Gazwan telah berkhutbah di hadapan kami, ia memuji Allah kemudian berkata, “…Aku telah melihat diriku, dan aku termasuk yang ketujuh dari tujuh orang yang bersama Rasulullah SAW Kami tidak mempunyai makanan sedikit pun kecuali dedaunan pohon, hingga permukaan bibir kami terluka. Aku memungut satu kain kemudian memotongnya menjadi dua antara aku dan Sa’ad bin Abi Waqas, yang dikenal dengan julukan penunggang kuda Islam. Kemudian aku memakai setengah kain itu dan Sa’ad pula memakai setengahnya lagi. Pada hari ini, tidak ada seorang pun di antara kami yang hidup kecuali menjadi amir (pemimpin) di sebuah wilayah. Aku berlindung kepada Allah agar tidak menjadi besar di dalam diriku tapi kecil di hadapan Allah…”