my destiny

My photo
.>seterusnya akan tertegak kembali khilafah atas minhaj kenabian"

Sunday 9 May 2010

MASALAH-MASALAH BESAR DUNIA

Sesungguhnya banyak sekali aktivitas-aktivitas politik yang terjadi di dunia yang berkaitan dengan berbagai-bagai masalah. Akan tetapi masalah yang
terpenting dapat dibatasi pada enam masalah besar, yaitu : masalah
Eropa, masalah Timur Tengah, masalah masalah Asia Tengah, masalah anak
Benua India, masalah Timur Jauh, dan masalah Afrika.
Pembatasan masalah hanya pada enam masalah tersebut didasarkan pada alasan-alasan berikut :
Pertama, Sesunguhnya konflik dan persaingan yang terjadi antar negara adidaya tiada lain terjadi pada kawasan-kawasan tersebut. Maka dari itu wajar
kiranya jika masalah-masalah di kawasan tersebut merupakan
masalah-masalah internasional.
Kedua, bangsa-bangsa di kawasan tersebut hidup dalam suasana bergolak dan
sangat tidak terkendali. Karena itu harus ada upaya untuk menstabilkan
kondisi bangsa-bangsa tersebut, khususnya karena sebagian besar adalah
bangsa-bangsa muslim yang sedang bergerak dengan penuh semangat untuk
melepaskan diri dari penguasanya untuk menegakkan Daulah Islamiyah.

Ketiga, sebagian besar peristiwa-peristiwa politik yang terjadi di dunia dari segi fakta kejadiannya berkisar di kawasan-kawsan ini yang selanjutnya
akan menjadi contoh yang baik untuk memahami masalah-masalah politik
lainnya.
Keempat, kawasan-kawasan ini sangat melimpah dengan sumber daya alam dan kekayaan. Maka dari itu negara-negara penjajah dan
perusahaan-perusahaan monopoli senantiasa memperebutkannya dan berusaha
dengan segala kekuatan untuk mendominasi dan menguasai sumber daya alam
dan kekayaannya.
Kelima, sesungguhnya kawasan-kawasan benua AS telah berhasil disterilkan dari konflik sejak Doktrin Monroe tahun 1823. Dengan doktrin ini AS mencegah negara-negara
adidaya Eropa untuk mengintervensi Benua AS dan mengancam kepentingan vital AS di benua itu.

Maka dari itu, konflik internasional dalam pengertiannya yang sudah dikenal tidaklah terdapat di benua tersebut. Sebab kepentingan AS dalam benua itu jauh
dari ancaman nyata. Adapun yang terjadi berupa hubungan Uni Soviet
dengan Kuba pada akhir tahun 50-an dan awal tahun 60-an di abad lalu
kemudian AS mendiamkannya, maka itu dikarenakan AS memang bermaksud
melakukan pembiaran sebagai perangkap kepada Uni Soviet untuk
memperluas komitmennya di luar wilayah Uni Soviet dan Eropa Timur. Hal
ini selanjutnya akan memberatkan Uni Soviet secara politik dan ekonomi
dalam arti akan memaksa Uni Soviet untuk melindungi Kuba dari bahaya
AS. Memberatkan beban Uni Soviet dalam melindungi Kuba inilah yang
menjadikan AS diam mengenai hubungi Soviet dengan Kuba. Oleh karena itu
ketika masalahnya semakin kompleks dan sampai pada batas pembangunan
pangkalan nuklir di Kuba, AS berusaha keras mengeluarkan pangkalan itu
dari Kuba.
Ringkasnya benua AS berada di luar konflik internasional dalam pengertiannya yang telah dikenal. Bahkan apa pun yang mungkin terjadi hanyalah
krisis-krisis internal yang memang AS sendiri tak terlepas dari masalah
internal tersebut.
Atas dasar itu, enam masalah tersebut merupakan masalah-masalah besar dunia. Sebelum kita berbicara tentang hal itu, patut kiranya kita ketahui
negara-negara adidaya yang berpengaruh terhadap politik internasional.
Hal ini karena penggolongan sebuah masalah termasuk masalah
internasional yang besar mengharuskan terlebih dahulu bahwa masalah
tersebut merupakan medan bagi aktivitas politik yang berpengaruh.
Karena aktivitas-aktivitas politik yang dapat dipertimbangkan hanyalah
aktivitas yang dilakukan oleh negara-negara adidaya. Jadi harus
diketahui negara-negara adidaya di setiap masa.
Negara adidaya adalah negara yang berpengaruh terhadap politik internasional dan yang melakukan aktivitas politik yang mempengaruhi negara-negara lain.
Negara adidaya bukanlah negara yang banyak jumlah penduduknya atau
negara yang kaya atau yang semisal itu. Negara adidaya tiada lain
adalah negara yang mempunyai eksistensi yang berpengaruh terhadap
politik internasional dan terhadap negara-negara lain.
Berdasarkan hal itu, negara adidaya pertama pada saat ini, yakni di abad ke-15 H (ke-21 M) adalah AS. Sebab AS mempunyai pengaruh paling kuat terhadap
politik internasional, bahkan hampir-hampir hanya AS sendiri yang
mendominasi posisi internasional. Negara-negara lain
tidak ada yang sampai pada taraf menyaingi AS dalam kedudukannya itu,
atau dalam dominasinya terhadap posisi internasional. Akan tetapi
karena Rusia adalah pewaris Uni Soviet yang dianggap sebagai negara
adidaya sebelum keruntuhannya, dan Rusia bersama Inggris dan Perancis
merupakan negara-negara adidaya sebelum Perang Dunia II, maka
masing-masing negara tersebut masing mempunyai sisa-sisa eksistensinya
dalam politik internasional. Masing-masing negara tersebut, secara
sendiri maupun bersama Eropa, melakukan berbagai aktivitas politik yang
mempengaruhi politik internasional dan AS, meskipun pengaruh ini lemah
dan tidak sampai pada derajat “persaingan’ --dalam pengertiannya yang
telah dikenal-- untuk merebut kedudukan AS dalam politik internasional.
Ketiga negara tersebut (Rusia, Inggris, Perancis) dapat diidentifikasi
sebagai negara adidaya. Hal itu adalah penyebutan yang longgar, karena
mempertimbangkan adanya beberapa aktivitas politik Inggris yang
memperoleh eksistensi atau sebagian eksistensi dalam politik
internasional. Juga karena Perancis dan Rusia telah melakukan
upaya-upaya untuk mengokohkan eksistensinya dalam politik internasional
sebagaimana yang terjadi dalam Perang Teluk.
Akan halnya Jerman, dari segi bangsa Jerman dan negara Jerman dalam sejarah, dia dapat dianggap negara adidaya. Tetapi setelah kekalahannya pada Perang
Dunia II, Jerman tidak dapat dianggap lagi sebagai negara adidaya,
persis seperti kondisi Jerman setelah kekalahannya pada Perang Dunia
II. Maka dari itu, sebagaimana Jerman kembali dari Perang Dunia I
sebagai negara adidaya yang mengecil, maka Jerman dimungkinkan akan
kembali menjadi negara adidaya meski perlu waktu lama. Gerakan Jerman
bersama Perancis pada beberapa masalah internasional menunjukkan hal
itu.
Mengenai Cina, sesungguhnya sulit menganggap Cina sebagai negara adidaya yang berpengaruh terhadap politik interasional dalam arti yang telah
dikenal. Baik berpengaruh di dunia maupun di berbagai belahan wilayah
dunia. Meskipun jumlah penduduknya 1,2 miliar jiwa, sangat
diperhitungkan oleh Rusia, dan dianggap AS sebagai negara yang patut
diperhitungkan secara internasional, tapi Cina tidak dapat dianggap
sebagai negara adidaya. Ini karena dua alasan. Pertama, Cina
tidak pernah menjadi negara adidaya dalam sejarahnya sekejap pun. Cina
tidak berpengaruh terhadap politik internasional pada masa lalu kapan
pun juga. Di atas semuanya, Cina semenjak menjadi negara komunis sampai
sekarang, tidak berminat untuk menyebarkan komunisme secara
internasional dan mempengaruhi berbagai kawasan di dunia. Cina hanya
membatasi perhatiannya pada wilayahnya saja, khususnya setelah Cina
gagal dalam upaya-upaya politik yang dilakukannnya di Afrika dan
beberapa negara Asia. Aktivitas ini tidak membuahkan hasil apa pun,
kemudian Cina pun tidak mampu melanjutkannya lagi sehingga Cina pulang
kampung kembali ke wilayah asalnya.
Adapun India, meski penduduknya lebih dari 930 juta jiwa dan mempunyai senjata nuklir, tapi pengaruhnya dalam politik internasional hampir-hampir
tidak ada. Karena itu tidak perlu terlintas dalam benak kita bahwa
India adalah sebuah negara adidaya. Itu karena tidak ada kemungkinan
bahwa India mempunyai terhadap politik internasional.
Sedangkan Jepang, sebelum Perang Dunia II pada masa poros dia memang
mempunyai pengaruh terhadap politik internasional. Namun pengaruhnya
itu bersifat temporal (sementara) sepertu halnya Italia. Maka dari itu
Jepang dan juga Italia tidak lagi termasuk negara adidaya.
Sedangkan umat Islam, dulu dia adalah negara adidaya hingga masa Perang Salib. Kemudian kembali menjadi negara adidaya semenjak umat Islam memenangkan
Perang Salib. Umat Islam tetap berpengaruh terhadap politik
internasional hingga abad ke-19, kemudian setelah itu pengaruhnya
melemah sampai negara umat Islam ini dihancurkan pada awal abad ke-20
setelah Perang Dunia I.
Namun demikian, faktor-faktor pengokoh sebuah negara adidaya tetap ada dalam
umat Islam. Telah nampak tanda-tanda vitalitasnya yang menggeliat sejak
akhir abad yang lalu. Umat Islam ini hampir muncul kembali dan akan
kembali sekali lagi sebagai negara adidaya bahkan negara pertama, insya Allah.
Maka dari itu, haruslah diketahui bangsa-bangsa dan negara-negara ini, sebab semuanya berpengaruh terhadap masalah-masalah besar dunia, yaitu :
Pertama, negara-negara adidaya yang empat, yaitu AS, Inggris, Perancis, dan Rusia.
Kedua, bangsa-bangsa dari negara-negara yang dulunya merupakan negara adidaya dan bersiap-siap untuk kembali menjadi negara adidaya, yaitu umat Islam dan
Jerman.
Ketiga, selain bangsa-bangsa tersebut dapat ditambah dengan bangsa Jepang, sebagai satu kekuatan ekonomi yang mempunyai pengaruh ekonomi
internasional dalam masalah-masalah besar dunia, meski Jepang bukan
negara adidaya dalam pengertian yang telah dimafhumi bersama.
Adapun Cina, walaupun ia merupakan negara adidaya tetapi hanya di dalam wilayah regionalnya. Dengan kata lain, Cina dapat disifati sebagai negara
adidaya regional. Oleh karena itu pengaruh Cina terhadap
masalah-masalah internasional dalam berbagai kawasan dunia yang
bermacam-macam adalah pengaruh yang lemah, kecuali di wilayah
regionalnya. Maka kita akan tinggalkan pembicaraan tetang Cina di sini
dalam pembahasan mengenai negara dan bangsa yang berpengaruh
internasional. Kita akan membahas Cina ketika kita menyinggung
masalah-masalah Samudera Cina regional.
Kita akan mulai membahas tentang negara dan bangsa tersebut sebagai berikut :
1. Umat Islam
Umat ini muncul sejak Allah SWT mengutus rasul-Nya yaitu Muhammad SAW dengan membawa Islam untuk menyelamatkan manusia dari kegelapan jahiliyah
menuju cahaya Islam. Kemudian muncul Daulah Islamiyah, negara umat ini,
setelah Rasulullah SAW berhijrah ke Madinah al-Munawarah.
Daulah Islamiyah ini terus eksis setelah wafatnya Rasulullah SAW, yakni pada masa Khulafa` Rasyidin dan khalifah-khalifah sesudahnya. Daulah
Islamiyah melakukan penaklukan-penaklukan (futuhat) dan
menyebarkan kebaikan ke seluruh penjuru dunia hingga ia dihancurkan
pada awal abad yang lalu. Diprediksi Daulah Islamiyah itu akan muncul
kembali beberapa saat lagi, dengan seizin Allah.
Pada awalnya Islam diemban oleh orang Arab. Kemudian Islam tersebar luas ke seluruh dunia. Manusia dalam berbagai macam kebangsaannya lalu masuk ke dalam
agama Islam, baik Arab maupun bukan Arab. Mereka dilebur seluruhnya
dengan wadah peleburan Islam, tidak ada bedanya antara orang ‘ajam
(non-Arab) dengan orang Arab kecuali karena taqwanya.
Dan karena orang Arab adalah orang pertama yang mengemban Islam maka haruslah dipahami karakter bangsa Arab secara khusus, kemudian harus diketahui
pula karakter umat Islam.
Bangsa Arab dahulu dikenal sebagai bangsa yang senantiasa hidup dalam peperangan, terbiasa dengan perang. Maka pada diri mereka terdapat apa yang
dinamakan “tabiat kemiliteran” dan apa yang dinamakan “tanggung jawab
terhadap orang lain”. Karena itu, mereka layak untuk mengemban risalah
Islam dengan jalan yang telah diturunkan Allah, yaitu dakwah dan jihad,
yaitu perang secara fisik untuk menyebarkan kebaikan bukan untuk
memperbudak. Maka orang Arab terjun ke dalam peperangan dengan manusia
setelah disampaikan Islam kepada mereka dengan penyampaian yang
membangkitkan perhatian, dalam rangka untuk menyebarkan ide Islam yang
mereka emban. Bukan untuk menjajah dan memperbudak bangsa-bangsa. Pada
kalangan mereka terdapat ide bahwa lilin yang terbakar akan dapat
menerangi, dan bahwa salah satu karakter mereka yang menonjol adalah
bertanggung jawab kepada pihak lain, dan menyamakan kedudukan manusia
seperti dirinya sendiri.
Umat Islam setelah mereka memeluk Islam seluruhnya akan menjadi bagaikan bangsa yang satu dan terdapat pada mereka apa yang dinamakan “tabiat
kemiliteran untuk berjihad” sebab jihad adalah puncak ajaran Islam.
Akan terdapat pula pada mereka apa yang dinamakan ide menyebarkan
hidayah kepada seluruh manusia yang dari sana lahir sikap menolong
sesama umat manusia. Maka dari itu, meskipun umat Islam mengalami
kemerosotan, meskipun telah jauh jarak waktu antara mereka dengan
pendahulu mereka yang pertama kali memeluk Islam dan mengemban risalah
islam dengan jalan dakwah dan jihad, mereka seluruhnya tetap saja
memiliki “tabiat kemiliteran untuk berjihad”, apa yang
dinamakan bertanggung jawab kepada orang lain, dan penyebaran hidayah
kepada manusia. Keadaan mereka seperti keadaan orang Arab yang pertama
kali mengemban risalah Islam tatkala terjadi peleburan bangsa-bangsa
yang telah masuk Islam dalam wadah peleburan Islam, meskipun mereka
berasal dari berbagai bangsa..
2. Bangsa Jerman
Bangsa Jerman adalah bangsa yang sudah lama dari segi eksistensinya dan dari segi asal usulnya. Mereka sangat kuat, mempunyai kesadaran akan harga diri
yang tinggi, teguh, berani, keras kepala, tetapi mempunyai kepercayaan
diri yang berlebihan. Mereka sangat keterlaluan dalam klaimnya berhak
memimpin bangsa lain. Aspek kemiliteran dan perang merupakan salah satu
karakternya, yaitu seakan-akan itu adalah fitrah mereka, atau seolah
merupakan salah satu sifat alamiah yang mereka bawa sejak lahir.
Kemiliteran Jerman inilah yang membangkitkan rasa takut kepada
tetangga-tetangganya, khususnya negara-negara adidaya, seperti Inggris,
Perancis dan Rusia. Bangsa Jerman telah menghabiskan waktu yang panjang
dalam berbagai perang pertempuran internal, telah berlalu banyak
generasi yang terjun dalam perang-perang melawan negara-negara
tetangganya seperti Perancis.
Kehidupan bangsa Jerman adalah dalam dunia industri, khususnya industri alat-alat perang yang terus berkembang. Karena itu meskipun Jerman dilarang
mempunyai senjata nuklir, Jerman tetap menakutkan negara-negara
tetangganya serta membangkitkan rasa ngeri di kalangan pesaing dan
musuhnya. Maka dari itu kekuatan-kekuatan anti Jerman selalu melakukan
konspirasi untuk menghalangi kebangkitan Jerman agar Jerman tidak masuk
dalam kategori negara-negara adidaya. Meski demikian bangsa Jerman
adalah bangsa yang hidup (dinamis) yang mempunyai peluang untuk kembali
menjadi sebuah negara adidaya. Sebab pertumbuhan makhluk hidup pada
umumnya akan dapat mengatasi hambatan-hambatan yang ada.
Jerman adalah sama dengan bangsa-bangsa Barat lainnya. Tatakala Jerman memeluk kapitalisme, nilai kemanfaatan menjadi bagian gaya hidupnya. Jadi
Jerman yang menjadi tempat tinggal bangsa Jerman, haruslah dianggap
negara penjajah. Dahulu bangsa Jerman mempunyai negara-negara jajahan
sebelum Perang Dunia I. Ketika Jerman terjun dalam Perang Dunia II, di
antara niatnya adalah mengembalikan negara-negara jajahannya yang
hilang dan merebut jajahan-jajahan dari negara-negara lain serta
mencari jajahan-jajahan baru baginya. Jadi, penjajahan itu adalah
politik Jerman, bukan seperti yang diduga bahwa penjajahan hanya
politik Hitler saja. Sekarang Jerman pun tidak jauh dari
aktivitas penjajahan, sebab kendatipun Jerman tidak melakukan
penjajahan langsung, tetapi sekarang termasuk negara garis depan dalam
penjajahan ekonomi. Jerman terus melakukan perluasan ekonomi, khususnya
pada kawasan-kawasan negara Eropa Timur dalam suatu hegemoni ekonomi
yang luar biasa.
Adapun sistem pemerintahan Jerman, tetap menampakkan sifat totaliter secara jelas, walaupun Jerman mengklaimnya sebagai pemerintahan demokratis. Sistem
totaliter itu nampak dalam perilaku setiap penguasa Jerman baik dulu
maupun sekarang.
Setelah Perang Dunia I Jerman dipaksa tunduk dalam kondisi-kondisi yang keras. Meski demikian Jerman tetap mampu untuk menghadapi koindisi-kondisi ini dan
kembali menjadi negara adidaya. Hal itu didukung oleh dua faktor. Pertama, adanya al-ihsas al-fikri (proses
berpikir yang bertolak dari penginderaan) yang nampak pada rakyat
mereka. Sehingga hal ini mempercepat gerak mereka untuk mengembalikan
Jerman sebagai negara adidaya. Kedua, bahwa Inggris berkehendak
merusak keseimbangan internasional antara Inggris dan Perancis. Maka
Inggris lalu memprovokasi Jerman secara diam-diam untuk kembali
menyaingi Perancis dan menjadi sekutu bagi Inggris. Hal ini
memungkinkan Jerman untuk kembali menjadi negara adidaya.
Adapun setelah Perang Dunia II, Jerman tidak mempunyai faktor apa pun yang mendukungnya kembali menjadi negara adidaya. Sebab negara-negara Sekutu
seluruhnya tanpa kecuali telah meletakkan batas-batas yang menghalangi
kembalinya Jerman sebagai negara adidaya. Faktor terpenting yang
menghalangi kembalinya Jerman menjadi negara adidaya hingga sekarang adalah sebagai berikut.
Faktor pertama, kesibukan rakyat Jerman di bidang ekonomi seraya berpaling dari industri perang, yang selanjutnya akan memalingkan mereka dari pengaruh
terhadap politik internasional. Orientasi ambisi mereka dalam aspek
ekonomi itulah yang telah memalingkan perasaan mereka dan mengalihkan
kegiatan-kegiatan mereka dari industri perang yang akan menjadikan
sebuah negara menjadi negara adidaya yang berpengaruh yang berpotensi
melakukan aktivitas politik secara efektif.
Faktor kedua, adalah kewaspadaan Uni Soviet yang terus-menerus terhadap bahaya Jerman atas Uni Soviet. Uni Soviet tak pernah lengah dari bahaya Jerman
sedetik pun. Terhadap Jerman, Uni Soviet mengambil sikap yang tegas
tanpa belas kasihan sedikit pun serta tanpa memperhatikan nilai apa pun
juga. Tidak ada yang mendominasi politik Uni Soviet terhadap Jerman
kecuali satu saja, yaitu menghancurkan Jerman untuk selama-lamanya.
Maka dari itu gagallah segala upaya yang dilakukan Jerman untuk bangkit
bergerak. Karena itu pula AS tidak berhasil ketika AS mengadopsi
rencana menghidupkan militerisme Jerman setelah tahun 1955. Tidak
berhasil pula upaya Inggris menyatukan kembali Jerman. Perancis pun
tidak berhasil, tatkala De Gaulle berusaha menyatukan Eropa dan
menjadikan penyatuan ini untuk membantu Jerman kembali mempersenjatai
diri dan mengembalikan kesatuannya. Tidak berhasil pula upaya apa pun
untuk menghalangi Uni Soviet secara teguh.
Adapun penyatuan Jerman yang telah terjadi, bukanlah hasil dari aktivitas politik atau upaya dan garis politik para politisi Jerman. Unifikasi
itu tiada lain terjadi sebagai akibat dari kekalahan demi kelalahan
yang diderita Uni Soviet di hadapan AS pada saat runtuhnya Uni Soviet.
Hal itu disebabkan bahwa AS memandang ia harus memukul Uni Eropa dengan
penyatuan Jerman, dalam rangka untuk menghambat Uni Eropa atau menunda
perwujudannya. Cara AS adalah dengan merekayasa problem-problem ekonomi
dalam federasi Jerman, yang merupakan pemberi dana terbesar bagi
kesatuan Eropa, dengan menyatukan Jerman Timur yang lemah secara
ekonomi dengan federasi Jerman. Akan tetapi Jerman berhasil melampaui
kesulitan ini dan mulai berusaha untuk melepaskan diri dari tekanan AS
untuk menuju ke Eropa khususnya Perancis, untuk memberikan kesan bahwa
Jerman berusaha untuk mempengaruhi Perancis.
Jerman mempunyai peran berpengaruh dalam pasar bersama Eropa yang kemudian telah menyusul Uni Soviet. Tapi Jerman selalu berusaha melakukan itu
dengan cara-cara ekonomi yang berarti Jerman akan mempunyai pengaruh
atas negara-negara Eropa, khususnya Eropa Timur, dengan jalan
memberikan bantuan ekonomi. Tapi ini tak berarti bahwa Jerman akan
mempunyai peran dalam politik internasional, sebab memberi pengaruh
terhadap politik internasional haruslah bertolak dari kekuatan militer
dan aktivitas politik yang akan mengakibatkan dilaksanakannnya dan
diwujudkannya suatu garis politik. Inilah hal yang tidak dimiliki oleh
Jerman meski Jerman telah mulai menoba melakukannya dengan
berkoordinasi dengan Perancis. Namun berbagai upaya atau aktivitas itu
tak lebih hanya sekedar reaksi belaka. Reaksi-reaksi ini semakin
meningkat sampai derajat mempengaruhi AS sebagaimana dalam peristiwa
invasi AS atas Irak. Demikian pula upaya Jerman bersama Perancis,
kemudian terlibatnya Ingris dalam isu kekuatan pertahanan Eropa bersama
yang terpisah dari NATO. Ini telah mencemaskan AS, walau pun hanya
sebatas usul pendiriannya.
Semua ini menunjukkan bahwa Jerman telah mulai mencari peran dalam politik internasional. Maka dari itu meskipun perlu waktu lama, kembalinya
Jerman sebagai negara adidaya sekali lagi adalah perkara yang dapat
diprediksikan, sebab kekuatan-kekuatan artifisial bagaimana pun juga
keberhasilannya menghalangi tumbuhnya bangsa yang hidup,
keberhasilannya hanyalah bersifat sementara sampai waktu tertentu. Pada
akhirnya organisme hidup itu akan mengalahkan setiap penghambat yang
menghalangi pertumbuhannya.
Kesimpulan politik Jerman saat ini secara garis besar adalah sebagai berikut. Sesungguhnya politik Jerman dibangun atas dasar karakter Eropa yang
pragmatis, sebab dari segi kerjasamanya dengan Perancis, Jerman telah
membentuk poros Perancis-Jerman sebagai batu pijakan untuk politik
Eropa bersatu di masa datang. Hal itu di sisi lain akan menjaga
kepentingan AS di Eropa dan memelihara perlindungan AS yang strategis
bagi keamanan Jerman setelah Perang Dunia II, tidak mengorbankan
kepentingan AS, melainkan selalu meletakkannya pada prioritas utamanya.
Pada sisi lainya lagi, politik Jerman memberi perhatian penuh khususnya
dalam bidang ekonomi. Politik ini nampak dengan upaya Jerman untuk
mendominasi dan menikmati sendiri ekonomi Eropa Timur tanpa
keikutsertaan sekutu-sekutu Eropanya.
Akhir-akhir ini nampak bahwa politik Jerman mulai memberi perhatian yang semakin meningkat dalam aspek-aspek militer dan politik dengan dimensi
internasional. Contohnya adalah peran serta Jerman yang semakin
bertambah dalam kegiatan-kegiatan NATO di Afghanistan, Bosnia, Kosovo,
dan keikutsertaan Menteri Luar Negeri Jerman dalam kegiatan-kegiatan
politik bersama koleganya dari Perancis dan Inggris, seperti yang
terjadi dalam kunjungan tiga menteri tersebut kepada tiga menteri di
Iran dan menekan mereka agar bersedia menandatangani protokol tambahan,
guna memeriksa target-target atas fasilitas-fasilitas nuklirnya. Di
antaranya juga aktivitas Jerman untuk memainkan peran dalam arbitrase yang berhasil dalam masalah pertukaran tawanan antara negara Yahudi dan Hizbullah.
Walhasil, sesungguhnya kita melihat perkembangan dalam politik Jerman yang nampak dalam keluarnya Jerman dari peran isolasinya sebelumnya, yang membuat
Jerman hanya mencukupkan diri pada aspek ekonomi semata. Ini berarti
pengamat akan dapat mencermati peran politik Jerman yang semakin besar
yang telah nampak dan seolah-olah setara atau sama dengan peran
Perancis dan Inggris.
Jika Jerman ingin cepat kembali menjadi negara adidaya, dia wajib segara membangun indutsri perang dan menjadikan hal itu sebagai problem pokoknya.
Demikian pula Jerman harus mempunyai kesadaran politik dalam
pergaulannya dengan Perancis dan Inggris, sebab sudah diketahui bahwa
Perancis dan Inggris berusaha untuk menundukkan Uni Eropa demi
memperkuat pengaruh internasionalnya, dan bahwa Perancis telah menjadi
kuat berkat Jerman demi menonjolkan dirinya di Eropa. Sudah diketahui
pula bahwa Inggris senantiasa menggunakan kecerdikan politiknya dalam
pergaulannya dengan Perancis dan Jerman demi mewujudkan kepentingannya
sendiri.
Maka meski terus berkoordinasi dengan Perancis secara khusus dan dengan
negara-negara Eropa secara umum, Jerman haruslah memperhatikan dirinya
sendiri agar menjadi kekuatan militer yang mempunyai
bobot militer dalam Uni Eropa sendiri. Ini agar Jerman tidak hanya
ditundukkan demi kepentingan pihak lain. Jerman harus pula mencermati
posisi internasional menurut perspektif Jerman, bukan perspektif Eropa,
serta agar menarik pelajaran dari sejarah Eropa.
3. Bangsa Jepang
Bangsa Jepang lahir sebagai bangsa yang mahir dalam perdagangan dan pelayaran. Mereka hidup di negeri-negeri yang sempit. Anda akan melihat tabiat menonjol
mereka adalah keberanian dan salah satu sifat mereka adalah selalu
melaksanakan pekerjaan dengan baik. Maka dari itu, bangsa Jepang dengan
cepat melakukan industrialisasi --dengan hanya revolusi industri-- dan
menjadi salah satu negara adidaya meskipun negeri mereka kecil. Mereka
tak peduli apapun untuk terjun dalam perang melawan Cina untuk
mencaplok satu wilayah milik Cina. Mereka pun tidak pernah ragu-ragu
menyerang AS sebab Jepang melihat AS adalah bahaya bagi Jepang.
Maka dari itu, di antara strategi penting AS --untuk memaksakan dominasinya atas Jepang— adalah menjadikan industrialisasi Jepang bukan berdasarkan
prinsip industri perang, melainkan berdasarkan prinsip perdagangan dan
pertumbuhan ekonomi. Semua itu adalah untuk mencegah Jepang agar tidak
berkecimpung dalam kancah internasional. Jepang saat ini merupakan
kekuatan ekonomi yang sangat diperhitungkan.
4. Bangsa Amerika
Bangsa Amerika adalah bangsa yang kaya yang di negeri mereka terdapat kekayaan alam yang besar. Bangsa ini terlibat konflik yang terus menerus dengan negara-negara Eropa yang dulu pernah menjajahnya, khususnya dengan Inggris. Mereka meraih
kemerdekaan dengan kekuatan senjata berdasarkan kesadaran dan
pemahaman. Hal ini telah memunculkan beberapa karakter khusus di
kalangan orang Amerika. Yang terpenting adalah apa yang dikenal dengan
Pragmatisme. Pada bangsa ini didapati juga dampak perlawanannya
terhadap imperialisme Eropa, yakni kecenderungan dan penghormatan akan
nilai-nilai luhur. Namun bangsa Amerika telah memeluk ideologi
Kapitalisme sebagaimana negara-negara Kristen lainnya, sehingga ada dua
faktor yang tarik menarik, yakni : (1) faktor sikap menerima dan
menjaga diri, dan (2) faktor asas manfaat dan semangat menjajah. Dahulu
Inggris mengeksploitasi faktor pertama dan menundukkannya agar Amerika
menjadi kekuatan Inggris dalam peperangan dan perekonomian. Ini terjadi
pada saat faktor pertama mendominasi bangsa Amerika.
Namun ketika terjadi Perang Dunia II dan bangsa Amerika merasakan “nikmatnya” imperialisme pada minyak Teluk,
faktor kedua lalu mendominasi mereka, yaitu penggunaan standar manfaat
dan penjajahan. Bangsa Amerika pun lalu dikendalikan oleh ideologi
Kapitalisme dan mereka pun lalu keluar dari isolasinya untuk menjajah
berbagai bangsa dan menundukkan dunia bagi dominasi dan pengaruhnya.
Bangsa Amerika tidak akan kembali sekali lagi kepada isolasinya,
kecuali dengan kekuatan. Sebab ideologi Kapitalisme telah mendominasi
mereka sehingga ideologi itu mengendalikan kehidupan mereka dan standar
manfaat satu-satunya yang mendominasi segala perilaku mereka, selain
sikap arogan dan suka menipu yang juga dominan dalam hidup mereka.
Dulu Amerika menjadi jajahan negara-negara Eropa, terutama Inggris, dan terbagi-bagi menjadi banyak negara. Maka pada awalnya Amerika mencoba untuk mengurangi tekanan penjajahan Inggris. Kemudian bersama dengan itu Amerika memasuki perang kemerdekaan yang kuat yang menyebabkan
terusirnya Inggris dari negeri-negeri Amerika. Negara-negara ini
bersepakat untuk mendirikan federasi di antara mereka dan membentuk
sebuah negara darinya. Hal ini kemudian berlangsung dengan baik.
Kemudian negara-negara lainnya bergabung dengan satu negara itu,
kadang-kadang secara sukarela dan kadang-kadang dengan kekuatan
militer. Negara-negara itu kemudian menjadi bagian dari negara Amerika
hingga pembentukannya menjadi sempurna seperti yang ada sekarang hingga
berjumlah 51 negara bagian. Amerika tumbuh sebagai negara yang kuat dan
terjun dalam politik internasional sebagai negara yang kuat pula.
Amerika mampu melindungi dua benua Amerika dari cengkeraman
negara-negara Eropa dan menjadi dunia lain yang dikenal dengan istilah
Dunia Baru. Amerika mempunyai rakyat yang giat bekerja dengan kekayaan
alam yang melimpah-ruah.
Amerika Serikat (AS) telah mendirikan sebuah sistem pemerintahan. Meskipun sistem itu masih sistem demokrasi, tetapi ia dirancang dengan pemikiran
mendalam, dan berdasarkan kesadaran yang praktis terhadap arti
kekuasaan. Yaitu bahwa pemerintahan adalah untuk manusia yang
dikendalikan oleh manusia. Jadi mereka tidak menggambarkan suatu
pemerintahan ideal dengan berdasarkan logika, melainkan memahami
pemerintahan secara faktual dan aplikatif. Hal itu dapat dicermati
dengan seksama dalam tata cara pengangkatan presiden, otoritas-otoritas
luas yang diberikan kepadanya, perannya dalam negara, pembatasan
otoritas aparatur-aparatur negara lainnya, dan dalam hal kesatuan
kekuatan yang direpresentasikan oleh negara. AS bertumpu pada hal-hal
tersebut, meskipun ia adalah sistem federal. Kepahaman AS terhadap
pemerintahan juga dapat dilihat dalam kesempatan luas yang diberikan
kepada rakyat untuk memilih presiden dan memilih aparatur-aparaturnya.
Hal ini memiliki pengaruh yang besar dalam hal kekuatan negara dan
tumbuhnya kekuatan ini dengan kecepatan yang luar biasa.
Sebelum Perang Dunia II AS telah keluar dari isolasinya dan ikut berserikat dalam mengendalikan dunia. Bahkan AS mencoba untuk mengendalikan dunia
sendirian. Namun kemudian musuhnya (Uni Soviet) berserikat dengan AS
sejak tahun 1961-1979 dalam mengatur dunia dan berhasil membatasi
ambisi negara-negara besar lainnya. Ketika negara-negara Eropa melihat
bahwa AS dapat mencapai target-targetnya dari politik detente (peredaan
ketegangan AS-Uni Soviet), dari persekutuannya dengan Uni Soviet dan
persekutuan ini ternyata membawa beberapa dampak negatif, maka
negara-negara Eropa berusaha melepaskan diri dari negara AS dan
menjalin hubungan dengan Uni Soviet. Uni Soviet pun mencoba melakukan
upaya-upaya yang berani –meski tidak berhasil- untuk terjun dalam
persaingan politik internasional. Hal itu dimaksudkan agar Uni Soviet
menjadi satu kutub internasional yang independen dan lepas dari politik
AS. Tatkala AS menyadari hal itu, AS memutuskan untuk kembali
berkonsentrasi menghadapi Uni Soviet dan terjun dalam perlombaan
senjata yang baru. Hal ini telah menyulut perang dingin yang baru.
Dengan demikian AS telah berhadapan dengan Uni Soviet dan Blok Timur
dalam sebuah perang peradaban, ideologi, dan ekonomi. AS berhasil
menarik Uni Soviet dan membelenggu Uni Soviet dengan berbagai macam
perjanjian. Inilah yang menyebabkan runtuhnya Uni Soviet di akhir
konflik dan menyebabkan AS menjadi negara nomor satu dan kutub yang
paling besar pengaruhnya terhadap politik internasional.
Di AS ada dua partai utama, yaitu Partai Demokrat dan Partai Republik. Orang hampir-hampir tidak dapat mengetahui perbedaan yang besar di antara
program-program dua partai tersebut, bahkan juga pada kebijakan politik
yang diambil. Dua partai itu hampir-hampir menempuh satu metode yang
sama, dan hampir-hampir tidak ada perbedaan apapun dalam pergantian
kekuasaan di antara dua partai tersebut, baik politik dalam negeri
maupun politik luar negeri. Kalaupun terjadi perubahan-perubahan, itu
hanya perubahan yang ditutut oleh situasi dan kondisi, bukan tuntutan
yang muncul dari perbedaan program kedua partai tersebut.
Partai Demokrat adalah partai yang lama. Ia adalah partai rakyat dan memiliki suara mayoritas yang menentukan di tengah-tengah rakyat. Karena itu
pada umumnya mayoritas Kongres tetap berada di pihaknya. Adapun Partai
Republik adalah partai yang lebih baru kemunculannya dibanding dengan
Partai Demokrat. Partai Republik merupakan partai orang-orang kaya dan
para kapitalis raksasa. Mayoritas anggotanya adalah pemilik modal yang
besar dan pemilik perusahaan-perusahaan monopoli. Dalam partai itu
terdapat sejumlah besar kaum terpelajar. Partai Republik ini tidak
begitu menaruh perhatian untuk meraih dukungan mayoritas rakyat dan
juga dalam merebut umumnya masyarakat untuk berada di pihaknya.
Andaikata sistem pemilihan presiden tidak mendukungnya, niscaya Partai
Republik tidak akan berhasil merebut kepemimpinan sama sekali, sebab ia
adalah partai minoritas bukan partai mayoritas.
AS, sebagaimana halnya negara-negara kapitalis, dikuasai oleh para pemilik perusahaan monopoli dan para pengusaha. Mereka itulah yang memiliki
pengaruh terhadap politik AS. Akan tetapi karena setiap individu rakyat
benar-benar menikmati haknya sebagai warga negara dan mampu
mempengaruhi jalannya pemerintahan –baik dalam pemilu maupun dalam
pengawasan- maka pemerintahan AS lebih nampak sebagai pemerintahan
seluruh rakyat dibandingkan negara-negara kapitalis lainnya.
Dan karena kekayaan AS merupakan penolong yang tidak kunjung habis, juga karena tercukupinya jumlah kaum terpelajar dan pemikir, serta adanya suasana
kebebasan dan kesungguhan yang menguasai AS, maka kekuatan AS adalah
kekuatan yang nyata, bukan kekuatan yang hanya nampak secara lahiriah.
Meskipun AS bukan bangsa yang asal-usulnya sudah ada sejak dulu, yang
sebenarnya hanya merupakan kumpulan individu atau komunitas dari
berbagai macam negeri, tetapi kewarganegaraan atau kebangsaan telah
menghimpun mereka dalam suatu ikatan yang kuat. Bahkan orang asing yang
hidup beberapa tahun di AS, kemudian mengambil kewarganegaraan AS dan
memiliki hak kewarganegaraan, akan menjadi orang yang lebih mendukung
negara, rakyat, dan kepentingan AS daripada negara asalnya. Hal ini
dihasilkan dari kekuatan yang dinikmati oleh para individunya dan dalam
interaksi antara manusia.
Adapun politik luar negeri AS adalah politik orang kaya dan para pemilik perusahaan monopoli. Artinya, politik AS adalah politik imperialisme murni, yang
tidak mengenal nilai-nilai luhur. Meskipun kadang-kadang politisi AS
nampak lugu dan hampir-hampir dungu, namun mereka berpikir secara
mendalam yang mengunggulli kebanyakan politisi di dunia. Mereka
memiliki kemampuan yang tinggi untuk berubah dengan cepat, kemudian
membuat beraneka ragam strategi dan memecahkan masalah. Barangkali
ambisi untuk menjajah, di samping pendidikan yang tinggi, berpengaruh
terhadap aktivitas politik mereka. Para politisi AS menganggap seluruh
dunia adalah ladang bercocok tanam milik mereka. Mereka memandang
negara-negara besar lainnya tidak layak untuk mempunyai pengaruh, dan
bahwa sekarang negara-negara besar itu harus mundur, keluar, dan rela
terhadap keadaan dunia yang ada, yaitu adanya ketundukan terhadap
dominasi pihak-pihak yang kuat.
Saat ini AS mempunyai galangan kapal nuklir yang terbesar, yang mengungguli apa yang dimiliki oleh semua negara-negara nuklir lainnya dengan berlipat
ganda. Jika anggaran militer AS dibandingkan dengan negara-negara
adidaya lainnya, akan nampak keunggulan AS atas negara-negara itu. Pada
tahun 2002 anggaran militer negara-negara adidaya Barat adalah sebagai
berikut:
Inggris = 35 miliar USD
Perancis = 32 Miliar USD
Jerman = 23 Miliar USD +
Jumlah Total = 90 Miliar USD
Adapun anggaran militer AS sendiri besarnya 350 Miliar USD. Apalagi terdapat perbedaan jenis persenjataan dan juga pendapat sebagian pengamat bahwa AS mendahului
Eropa puluhan tahun dari segi kemajuan teknologi. AS juga menguasai PBB
dan juga segenap badan-badan dunia bentukan PBB. AS juga memiliki dana
terbesar di Bank Dunia dan IMF, yang selanjutnya memiliki pengaruh
politik yang luas yang menjadi bidang pekerjaan Bank Dunia dan IMF.
Demikian pula AS berusaha memperkuat perdagangan dunia melalui politik
globalisasi yang menjadi senjata WTO. AS berupaya menjadikan WTO
sebagai salah satu sarananya untuk mengintervensi pasar-pasar lokal
dengan dalih tarif bea masuk bersama. Dengan demikian AS berupaya untuk melakukan liberalisasi perdagangan.
Dan dikarenakan AS mempunyai kekuatan ekonomi yang besar, mempunyai
perusahaan multinasional dan transnasional yang paling banyak, AS pun
memanfaatkan kedok peraturan yang dikeluarkan oleh WTO untuk
kepentingan AS dalam rangka membuka pasar-pasar yang nyaris tertutup,
atau sulit diintegrasikan dalam perekonomian global terbuka seperti
yang dikehendaki AS.
Kemampuan-kemampuan militer, politik, dan ekonomi yang besar bagi AS ini, membuat AS mengintervensi seluruh negara yang ada di dunia ini. Hal itu juga
membuat AS menjadi bagian politik lokal di setiap negara di dunia. Jadi
AS mencoba untuk mengelola politik hegemoni atas politik seluruh dunia
tanpa kecuali. Tidak ada bedanya antara negara-negara maju dan
negara-negara berkembang, meskipun beberapa kali hegemoni itu telah
gagal. Namun AS terus mencoba untuk melakukan hegemoni.
Maka dari itu AS semakin berpengaruh pada setiap masalah yang ada di dunia. AS-lah yang menyulut krisis di wilayah-wilayah yang berkobar. AS membuat
klasifikasi-klasifikasi baru untuk berbagai negara, misalnya
negara-negara poros kejahatan (evil axis), negara-negara
pendukung terorisme, dan lain-lain. Tidak ada yang selamat dari bahaya
istilah-istilah itu, bahkan negara sekutu atau pengikutnya pun juga
tidak selamat. Bahkan AS mewajibkan dunia untuk berpihak kepadanya atau
berpihak kepada teroris. Kalau memilih tidak bersama AS dan juga tidak
bersama teroris, tidak dibolehkan. Padahal AS-lah yang menciptakan
krisis-krisis, menimbulkan masalah-masalah, dan menciptakan
ketegangan-ketegangan. Kemudian setelah itu AS pula yang mengendalikan
krisi-krisi tersebut, mencari solusi-solusinya. AS melakukan hal itu
semua sebagai bagian integral dari strateginya untuk melakukan hegemoni
atas dunia.
Walhasil AS telah memanfaatkan kekuatan militer dan ekonominya dalam aktivitas-aktivitas politiknya secara sangat buruk. Artinya pengaruh AS
tidak terbatas pada aspek ekonomi dan perdagangan semata, sebagaimana
halnya negara-negara kapitalis tradisional pada umumnya, melainkan
meluas sampai seluruh aspek kehidupan sipil. Dengan demikian pengaruh
AS nampak di bidang pendidikan, media masa, sosial, pemikiran,
ideologi, dan keamanan.
Di bidang pendidikan peran AS tampak jelas dalam perubahan kurikulum yang sedemikian rupa agar sesuai dengan perspektif ideologinya. Maka dari
itu kita lihat negara-negara Arab, seperti Arab Saudi, Kuwait,
Yordania, Mesir, dan yang lainnya telah sibuk mengevaluasi kurikulumnya
dengan dalih perkembangan dan penyesuaian dengan jaman. Maka Arab Saudi
telah mengubah salah satu materi agama terpenting di antara bab
buku-buku sekolahnya, yaitu materi al-wala` wal bara`.
Yordania, Mesir, Kuwait, dan yang negara lainnya juga mengubah materi
yang berkaitan dengan jihad dan perang melawan kaum kafir agresor,
seperti kaum Yahudi dan Nasrani. Negara-negara tersebut juga mengubah
ide-ide Islam yang dibenci oleh AS.
Di bidang media massa, AS telah mengeluarkan dana ratusan juta dolar AS untuk mempengaruhi media masa mayoritas di negeri-negeri kaum muslimin. AS
mendirikan radio VOA dan stasiun televisi al-Harrah. Itu semua untuk menyebarkan racun-racun AS di setiap rumah di negeri-negeri Arab.
Di bidang sosial, AS memfokuskan diri pada isu perempuan untuk menjauhkan perempuan dari nilai-nilai Islam. AS mengeluarkan dana dan menekan
berbagai pemerintahan untuk mengadakan konferensi-konferensi tentang
perempuan. AS juga menekan untuk memasukkan isu perempuan dalam bidang
pemerintahan dan perlemen. AS menyebarkan pemikiran feminisme dalam
bentuk-bentuk dan istilah-istilah baru.
Di bidang pemikiran dan ideologi, AS mempersenjatai diri dengan pusat-pusat kajian untuk pemikiran, demokrasi dan pluralisme. AS juga mendirikan
organisasi-organisasi HAM untuk mempropagandakan ide-ide kebebasan
menurut konsep Barat dan metode AS. Berbagai organisasi dan pusat-pusat
studi ini juga dibekali dengan film-film Hollywood dan produk saisn dan
teknologi mutakhir yang menguasai penyebaran sebagian besar
saluran-saluran televisi Aran dan non-Arab.
Adapun di bidang keamanan, AS berupaya untuk menjalin hubungan dengan dinas-dinas inteligen di negara-negara arab dengan dinas inteligennya, khususnya
dengan CIA dan FBI. Akhirnya kita bisa melihat mobilitas agen-agen
intelijen AS di kota-kota negeri-negeri Islam dengan bebas dan
dilindungi oleh undang-undang, sebagaimana halnya di Sudan, Yaman,
Kenya, Tanzania, Libya, Pakistan, dan negara-negara lain. Hubungan
intelijen ini mencakup penyerahan orang-orang yang dicari kepada AS dan
adanya toleransi kepada kekuatan-kekuatan AS khususnya untuk melakukan
aktivitas militer tertentu untuk melawan orang yang disebut-sebut AS
sebagai "teroris".
Demikianlah tangan-tangan AS telah sedemikian menggurita dalam sendi-sendi kehidupan sehari-hari di masyarakat negeri Islam maupun juga negeri
non-Islam. AS telah menyebarkan kerusakan di negeri-negeri tersebut di
mana pun dia berada, seperti yang diperbuat AS di Timur Tengah, Afrika,
Asia Selatan, bahkan di Amerika Latin ketika AS menjatuhkan presiden
Haiti terpilih, yaitu Aristide dan membuangnya ke luar negeri. Saat ini
AS berusaha menjatuhkan Hugo Chavez, presiden Venezuela, dari kursi
kekuasaan. Dengan demikian AS mampu menaklukkan hampir seluruh
negeri-negeri yang lemah disebabkan ketundukan dan kepasrahan
penguasanya kepada AS.
Tetapi hegemoni AS ini tidak akan berlangsung lama. Hegemoni AS sedang menuju jurang kehancuran. Sebab meski eksistensi AS dapat dilihat di setiap
sudut permukaan bumi dan para penguasa bekerja sama dengan eksistensi
AS ini, tetapi kebencian berbagai bangsa dunia khususnya umat Islam
semakin besar terhadap AS. Kebencian sebagian besar mereka kepada AS
semakin bertambah disebabkan kekurangajaran dan kesombongan AS dan
keberpihakan AS kepada Yahudi. Hal itu juga disebabkan penjajahan dan
perbudakan AS terhadap negara lain.
Kami menyatakan semakin besarnya kebencian terhadap AS ini akan menimbulkan perlawanan dan penentangan terhadap eksistensi AS di setiap tempat,
baik di benua AS maupun di luar benua AS. Di samping itu negara-negara
adidaya lainnya juga mengalami kesulitan dan pukulan atas
kepentingan-kepentingannya akibat kesombongan AS dan penguasaan tunggal
AS terhadap kekayaan dunia serta aksi AS untuk melangsungkan hegemoni
yang terus menerus. Hal itu disebabkan oleh upaya AS untuk memonopoli
pengaturan urusan internasional.
Sesungguhnya keberadaan sebuah negara yang mengadopsi ideologi kapitalisme yang melakukan penjajahan dan penghisapan negara lain, serta posisi negara
ini sebagai pemimpin dunia tanpa kekuatan yang menyainginya dalam
kepemimpinan dunia, akan menjadikan dunia berada dalam penderitaan
terus-menerus, mengalami masalah-masalah yang beruntun dan mengalami
krisis yang susul-menyusul. Apa yang dapat disaksikan dan dirasakan,
seperti kerusakan dan pengrusakan dunia oleh AS, juga rekayasa AS yang
susul menyusul, telah menguatkan hal tersebut.
Penderitaan dan kesengsaraan dunia yang dihasilkan dari negara-negara kapitalis, khususnya AS, tidak akan lenyap kecuali dengan tegaknya negara Khilafah
yang akan menerapkan ideologi yang haq, yaitu Islam yang agung yang
diturunkan oleh Allah SWT kepada nabi Muhammad SAW sebagai rahmatan lil alamin.
Pada saat itu keadilan Islam akan dapat menyingkapkan ketamakan
kapitalisme dalam pemikirannya yang materialistik dan metode
imperialisme mereka. Demikian pula kekuatan Islam yang baik akan
menghancurkan kesombongan dan arogansi AS, serta akan memaksa AS untuk
kembali ke isolasinya dan Dunia Barunya, andaikata Dunia Baru itu masih
ada. Kemudian kebaikan akan dapat tersebar luas ke seluruh penjuru
dunia dan duniapun akan dapat bernafas lega setelah lama menderita dan
sengsara.
5. Bangsa Inggris
Sesungguhnya industri perikanan dan kapal telah mendominasi bangsa Inggrris sejak kelahirannya, yang kemudian mewujudkan kebiasaan pelayaran dan
perdagangan pada bangsa itu. Tradisi itu lalu membentuk tabiat untuk
berburu kekayaan dan mengeksploitasi di samping tabiat mereka sebagai
pedagang. Dan karena wilayah negerinya yang kecil, Inggris harus
meminta tolong pihak lain, sebagaimana kebiasaan para nelayan yang
senantiasa meminta pertolongan sesama mereka di lautan. Jarang sekali
mereka keluar sendirian.
Lalu datanglah ideologi Kapitalisme kepada bangsa Inggris, dan mereka pun kemudian menganut ideologi tersebut dan berakarlah pada mereka asas manfaat.
Maka dari itu Anda akan melihat kehidupan Inggris di bidang politik
sejak kelahirannya hingga sekarang, selalu tegak berdasarkan sikap
meminta tolong pihak lain dan melakukan persiapan makanan setiap kali
mereka berburu sesuatu. Baik sesuatu itu adalah negeri yang dijajah
Inggris maupun negara yang dimintai tolong oleh Inggris.
Maka Inggris melaksanakan seluruh politiknya atas dasar pakta-pakta, persekutuan-persekutuan, dan kerjasama dalam melakukan penjajahan.
Karena itu pada abad ke-19 Inggris bekerjasama dengan negara-negara
lain dalam melakukan penjajahan dan menjajah sesuka hati sebagian
negeri-negeri agar negeri-negeri itu berada di pihak Inggris dan
membela kepentingan-kepentingan Inggris. Oleh karena itu Inggris
berupaya untuk memasukkan Perancis di Timur Tengah setelah Perang Dunia
I dengan tujuan agar Perancis berada di pihak Inggris jika muncul
bahaya atas kawasan Timur Tengah. Itu juga dilakukkanya untuk
meletakkan Perancis di garda depan guna menghadapi bahaya. Bahkan
sampai-sampai dikatakan bahwa Inggris baru akan berperang hingga
tentara Perancis yang terakhir terbunuh.
Demikianlah sesungguhnya tabiat seorang nelayan ikan telah melahirkan tradisi meminta tolong kepada pihak lain pada jiwa orang Inggris untuk
mewujudkan kepentingan-kepentingannya.
Kemudian, ada kebiasaan lain yang sudah masyhur dimiliki oleh Inggris yang merupakan satu kebiasaan utamanya, yaitu berpegang teguh dengan nilai-nilai lama
dan tidak melampaui batas dengan mengubah atau mengembangkannya,
kecuali secara perlahan-lahan. Mereka juga tidak mengubah atau
mengembangkannya kecuali perubahan memang harus dilakukan. Jadi bangsa
Inggris adalah bangsa yang konservatif dalam pengertian harfiahnya.
Sejak dahulu sampai sekarang bangsa Inggris dikuasai oleh
keluarga-keluarga lama (bangsawan), orang-orang kaya dan para pemilik
modal raksasa. Meskipun Inggris mengklaim bahwa ia menjalankan
demokrasi, bahwa ia bangsa demokratis, tetapi kalau dikaji mendalam
akan terbukti bahwa faktanya tidaklah demikian. Rakyat Inggris tidak
memiliki pengaruh apa pun dalam pembentukan kekuasaan. Ssbaliknya yang
mengangkat para penguasa adalah keluarga-keluarga aristokrat dan para
pemodal, bukan rakyat. Dalam hal ini tidak ada bedanya antara jaman
dahulu dengan jaman sekarang. Sebab bangsa Inggris sampai sekarang
sebagaimana sejak dahulu senantiasa nasibnya ditentukan oleh kaum
bangsawan dan kaum kapitalis.
Sejak duhulu mereka memberantas dan menumpas setiap gerakan rakyat yang lahir di Inggris dengan kejam. Revolusi Cromwell yang dibanggakan Inggris sebenarnya bukan revolusi rakyat, melainkan revolusi kaum bangsawan melawan rakyat. Pada saat itu muncul
revolusi rakyat yang berkehendak untuk menghapuskan kekuasaan kaum
bangsawan dan kaum kapitalis. Revolusi ini hampir saja berhasil dan
kaum aristrokrat hampir mendukungnya. Tapi Cromwell kemudian mengirim
utusan untuk melakukan revolusi yang menuntut sebagian hak. Cromwell
lalu mendapatkan dukungan dan berhasil mewujudkan tuntutannya, kemudian
Cromwell berhasil menghancurkan tuntutan rakyat itu dan menumpasnya
sejak dini.
Sejak puluhan tahun yang lalu yang menguasai Inggris adalah Partai Konservatif. Partai Buruh hanyalah sekadar alat yang hanya digunakan ketika
kebutuhan Inggris mengharuskannya, atau ketika ada masalah-masalah yang
tidak mampu diatasi Partai Konservatif. Pada saat itulah Partai Buruh
didatangkan untuk kemudian didikte dalam penyelesaian masalah tersebut.
Nampak bahwa para pemimpin Partai Buruh akhir-akhir ini telah menyadari hakikat ini lalu mencoba untuk mengadaptasikan diri sesuai dengan hakikat tersebut.
Hal ini mengakibatkan pergiliran dua partai itu dalam kekuasaan lebih
dekat pada pergantian peran antara Partai Konservatif dan Partai Buruh
daripada posisi Partai Buruh sebagai alat kaum konservatif.
Maka dari itu bisa kita lihat bahwa Tony Blair, pemimpin Partai Buruh sekarang dan Perdana Menteri Inggris, telah mengubah karakter partainya dan menjadi
sangat dekat dengan garis politik Partai Konservatif. Hal itu nampak
dalam program politik Partai Buruh yang tidak berbeda dengan progam
politik Partai Konservatif. Bahkan Tony Blair menjadikan Margaret
Tatcher, pemimpin Partai Konservatif terdahulu, sebagai suri teladan
baginya dalam politik. Demikian pula Partai Buruh tidak banyak berbeda
dengan Partai Konservatif. Kedua partai di Inggris ini menjadi mirip
Partai Republik dan Partai Demokrat di AS.
Dalam Partai Buruh sendiri, jika didapati ada orang-orang yang menyadari keadaan Inggris yang didominasi oleh kaum bangsawan dan kapitalis, maka
orang-orang itu akan diletakkan dalam posisi sulit untuk menjauhkannya
dari mempengaruhi partai dan politik. Anggota Partai Buruh Ernest Bevin
pada tahun 30-an hingga 60-an, dan George Brown pada tahun 60-an,
adalah contoh terbaik untuk menunjukkan dominasi Partai Konservatif
atas Partai Buruh. Dua orang itu juga merupakan contoh terbaik
orang-orang yang dijauhkan karena menghendaki pembatasan dominasi
kekuatan yang berkuasa di pemerintahan.
Partai Konservatif sendiri tidak memilih pemimpinnya, melainkan sudah ditentukan oleh ketua partai politik sebelumnya, sebagaimana McMillan
ketika mengangkat Lord Home, atau Margaret Tatcher ketika mengangkat
John Major. Meskipun Heath dan Major telah dipilih tetapi itu pemilihan
formalitas belaka, karena mereka berdua telah ditentukan lebih dahulu
dan baru kemudian dilakukan pemilihan secara formalitas. Dari sini,
meskipun sistem pemerintahan di Inggris dinamakan demokrasi, tetapi
hakikatnya adalah pengangkatan oleh lapisan tertentu. Yang mengangkat
adalah keluarga bangsawan, kaum kapitalis, dan para pemodal.
Mengingat Inggris adalah sebuah pulau di tengah lautan dan pulau tersebut tidak mencukupi penghidupan penduduknya, maka keluarnya penduduk Inggris dari
pulau itu –untuk memenuhi tuntutan penghidupan-- adalah
hal yang tidak dapat dielakkan. Tetapi meski mereka keluar untuk
berdagang, sebenarnya mereka keluar sebagai penjajah bukan sebagai
pedagang. Mereka keluar untuk menghisap darah bangsa lain dan merampas
kekayaan mereka, bukan untuk menukarkan kekayaan mereka. Sebab bangsa
Inggris pada awalnya memang tidak punya kekayaan yang dapat
dipertukarkan. Maka mereka keluar kustru untuk mencari kekayaan.
Itulah keadaan mereka sejak keluarnya mereka dari pulau. Tatkala mereka memeluk ideologi kapitalisme --dan asas manfaat adalah bagian integral
darinya-- maka ideologi ini menjadi cocok dengan tabiat
mereka. Karakter penjajah itu lalu menjadi kuat dalam bangsa Inggris
dan mereka pun menjadi negara penjajah nomor satu.
Kemudian, karena jumlah populasi mereka sedikit dan tidak mampu menghadapi kekuatan yang lebih hebat dari mereka, maka bangsa Inggris pun lalu
menundukkan bangsa dan negara lain untuk membantu mereka. Mereka
meletakkan bantuan ini dengan berbagai bentuk persekutuan, sepeti
pakta-pakta, konferensi-konferensi, dan kesepakatan-kesepakatan. Maka
dari itu karakter gemar bersekutu (takattuliyah) ini menjadi
bagian tak terpisahkan dari politik bangsa Inggris. Meskipun kecerdasan
mereka biasa-biasa sebagaimana halnya bangsa lain, tapi mereka
menggunakan kecerdasannya sampai batas akhir.
Dengan demikian, bangsa Inggris nampak menonjol dalam kepahaman akan aktivitas, kepahaman akan politik, dan kepahaman akan penyelesaian
masalah. Bangsa Inggris pun secara menonjol mempunyai daya pikir untuk
menyelesaikan masalah. Dan karena kebutuhan mereka yang mendesak untuk
melakukan ekspansi, mereka pun mendirikan industri mereka atas dasar
industri peperangan. Hal ini menjadikan bangsa Inggris sebagai negara
yang –secara harfiyah— mempunyai kekuatan perang, alat perang, dan
kekuatan industri. Di samping kepahaman mereka yang sudah mengakar
mengenai politik dan pemerintahan, bangsa Inggris mempunyai kecerdasan
yang dalam banyak hal disertai keculasan.
Politik luar negeri Inggris didasarkan pada penjajahan. Namun dalam penjajahan Inggris menonjol dua hal berikut. Pertama, menjaga keseimbangan internasional. Kedua, menjaga eksistensi Inggris dalam politik internasional, berapapun harga yang harus dibayar untuk itu.
Oleh karena itu, Inggris pernah terjun dalam Perang Salib secara menonjol. Dalam Aliansi Suci Inggris pun berada di barisan depan negara-negara adidaya.
Pada saat Napoleon melakukan ekspansinya, Inggris menjadi pemimpin
kekuatan untuk menghancurkan ekspansi itu dan mengembalikan Perancis
pada keadaannya semula. Jerman di masa Bismarck pernah bersekutu dengan
Inggris di Konferensi Berlin, yang di antara targetnya adalah membatasi
kekuatan Jerman. Ketika Inggris merasakan perkembangan kekuatan Jerman
yang tidak wajar, Inggris lalu mengumumkan perang terhadap Jerman dan
memerangi Jerman dalam dua perang dunia.
Inggris mencoba menarik dunia seluruhnya terjun dalam perang dunia untuk mengubah peta dunia dan untuk melemahkan dua negara adidaya yang
mendominasi dunia pada saat itu pada era detente. Ketika Inggris
dijauhkan dari politik internasional setelah adanya kesepakatan dua
negara adidaya, maka Inggris seperti orang yang kehilangan
eksistensinya. Inggris lalu bersikap nervous (gugup) dan berusaha
mati-matian untuk mengembalikan eksistensi internasionalnya dan ikut
serta dalam politik internasional.
Politik internasional Inggris bersandar pada perjanjian-perjanjian dan upaya menarik para tokoh politisi serta mempengaruhi mereka. Inggris tidak
peduli untuk memberi satu suapan besar makanan kepada saingannya agar
Inggris dapat mempunyai posisi tawar terhadapnya. Dalam politik,
Inggris tidak mengenal kawan atau lawan. Yang dikenalnya hanyalah
kepentingan. Inggris tidak mengenal apapun selain kepentingan.
Apa yang disebut dengan moralitas internasional dianggap Inggris hanya sebagai alat untuk menipu dan tidak diakui keberadaannya. Meskipun Inggris
berusaha tidak menampakkan kebohongan demi mencari kepercayaan pihak
lain terhadap Inggris, tetapi Inggris telah menjadikan kebohongan itu
sebagai senjata efektif dalam politiknya. PM Churchill dalam
pertemuannya dengan Roosevelt dan Stalin untuk membahas masalah perang
dan masa depan Jerman, pernah mengatakan terus terang,"Sesungguhnya
fakta dalam peperangan sangatlah berharga, sampai-sampai itu harus
dijaga dengan sempurna dengan melakukan kebohongan-kebohongan." Ini menunjukkan sampai batas berapa jauh kebohongan dianggap sebagai hal esensial dalam politik Inggris.
Itulah fakta Inggris dan fakta politiknya. Berinteraksi dengan Inggris haruslah didasarkan pada pandangan bahwa Inggris adalah negara penjajah dan
bahwa Inggris hidup dengan mengeksploitasi bangsanya. Berbagai masa dan
peristiwa tidak mampu mengubah metode Inggris ini. Inggris telah
memperdaya berbagai revolusi rakyat yang terjadi hingga tidak
membiarkan satu revolusi yang berhasil.
Maka melawan penjajahan Inggris tidak akan pernah berhasil, kecuali dengan memahami sarana-sarananya, dan dengan konfrontasi menantang yang disertai dengan
dengan kecerdikan yang tampil dengan lugu, dengan taktik-taktik yang
tersembunyi. Kekuatan Inggris di negerinya tersembunyi dalam pernyataan
penyair,"Dia mengobatiku dengan sesuatu yang berupa penyakit." Kekuatan
Inggris di luar negeri terletak pada penundukannya atas pihak lain
untuk kepentingan Inggris, bahkan termasuk pihak yang melawan Inggris.
Tidak ada jalan untuk mengalahkan Inggris kecuali dengan melepaskan Inggris dari senjata politik tradisionalnya dan dengan menghadapinya dalam
kondisi ketika Inggris sendirian tanpa penolong dan sekutu.
6. Bangsa Perancis
Bangsa Perancis adalah bangsa yang telah membentuk negara yang lama berakar di jantung Eropa. Perancis membanggakan diri pada negara-negara Eropa
lainnya bahwa mereka adalah bangsa yang mencetuskan ide-ide yang luhur
seperti kebebasan, keadilan, dan persamaan. Bangsa Perancis dikenal
telah melahirkan tokoh-tokoh hebat dalam politik dan pemikiran. Tapi
bagaimana pun Perancis adalah negara penjajah yang berbeda dengan
negara lainnya dengan pengaruh kebebasan padanya sebagai karakter
individu bangsa ini. Karakter ini telah berubah menjadi suatu satu
tradisi di kalangan orang Perancis bahkan menjadi satu tabiat mereka.
Sejak menganut ide kebebasan, bangsa Perancis mempunyai sifat dasar terfragmentasi (individualis). Maka bangsa Perancis lebih mirip kumpulan individu
daripada suatu umat, bangsa, atau komunitas. Maka dari itu, jarang
sekali di Perancis ada satu pemerintahan atau kekuasaan yang kuat.
Karena itulah, Inggris dengan mudah dapat memanfaatkan Perancis
beberapa kali secara berulang-ulang. Walhasil sejak turunnya Napoleon
sampai era De Gaulle, Perancis selalu berjalan seiring dengan Inggris.
Hal itu dikarenakan berakarnya ide kebebasan di Perancis. Bahkan ketika Perancis keluar untuk menjajah di Amerika, Asia, dan Afrika, itu pun
karena diajak keluar oleh Inggris dalam rangka untuk memperkuat
Inggris, meski yang nampak adalah persaingan antar dua negara dalam
permukaan sejarah penjajahan bagi dua negara.
Atas dasar itu, seseorang tidak akan bisa menilai bangsa Perancis dengan satu karakter istimewa yang melebihi karakter kebebasan itu. Kebebasan
pemikiran telah melahirkan para filosof, penyair, pemikir, dan
lain-lain. Kebebasan politik telah melahirkan sifat kehormatan,
kemuliaan, dan rasa percaya diri, yang pada gilirannya telah melahirkan
sejumlah besar tokoh-tokoh hebat. Kebebasan individu telah menjadikan
Paris sebagai tempat prostitusi yang amoral dan tempat
memuaskan dorongan nafsu syahwat. Kebebasan inilah yang telah
menyebabkan adanya celah di Perancis yang dapat disusupi oleh
pihak-pihak asing, terutama Inggris. Maka dari itu kebebasan dalam
pengertiannya yang absolut dapat dianggap sebagai biang keladi masalah
di Perancis.
Seseorang tidak akan dapat mengatakan bahawa di Perancis ada partai-partai anu, atau bahwa partai anu sifatnya begini. Sulit dan bahkan nyaris mustahil
atas suatu bangsa yang keadaannya seperti Perancis, untuk terbentuk
partai-partai dalam arti yang sebenarnya. Yang ada hanyalah kumpulan
individu-individu yang lalu menyebut dirinya sebagai partai. Karena itu
di Perancis sulit terwujud suatu pemerintahan yang kuat atau stabil.
Sebab setiap orang Perancis adalah penguasa bagi dirinya sendiri dan
setiap orang Perancis berambisi menjadi penguasa.
Maka dari itu, seseorang tidak akan dapat mengatakan bahwa politik dalam negeri Perancis adalah begini dan politik luar negerinya adalah begitu.
Politik dalam negeri Perancis didasarkan pada watak para penguasa dan
pada pemahaman mereka tentang kebebasan. Sedang politik luar negeri
Perancis didasarkan pada kadar kemampuan Perancis untuk mengalahkan
pihak lain dalam rangka untuk menjajahnya dan sejauh mana pengaruhnya
pada mereka.
Perancis terhitung sebagai negara penjajah sebab ia telah menganut ideologi kapitalis. Maka asas manfaat telah menjadi bagian esesnsial dalam
kehidupan Perancis. Maka dari itu Perancis sangat berambisi untuk
melakukan penjajahan dan mempertahankan negeri-negeri jajahannya.
Kalaupun harus memberikan gambaran politik luar negeri Perancis, yang perlu diperhatikan adalah bahwa politik Perancis didasarkan pada upaya untuk
mewujudkan pengaruhnya di luar negeri, baik pengaruhnya di
negara-negara jajahan, maupun pengaruh budaya, politik, dan ekonomi. Kegiatan
politiknya melawan negara-negara adidaya hanya menonjolkan upaya
kepribadiannya dan berserikat dalam kebesaran dan dominasi. Perancis
tidak begitu baik dalam melakukan manuver-manuver
politik, bahkan lebih sering memicu konfrontasi. Maka dari itu cukup
mudah mengungkap adanya konflik antara Perancis dengan AS belakangan
ini. Sementara itu sulit mengungkap adanya konflik dengan negara
lainnya terutama Inggris.
Maka dari itu, metode yang ditempuh untuk menghadapi kegiatan-kegiatan politik Perancis adalah tidak menyinggung kehormatan dirinya, tidak
memberinya peluang untuk mengambil inisiatif, dan tidak menganggapnya
sebagai negara adidaya, kecuali dalam kadar yang dapat diterima oleh
negara-negara adidaya dalam politik internasional.
7. Bangsa Rusia
Bangsa Rusia adalah bangsa yang rajin bekerja, mempunyai vitalitas dan kekuatan, tetapi lugu dan sederhana. Meskipun pada awalnya menganut kapitalisme,
kemudian menganut komunisme, lalu kembali menganut kapitalisme, tetapi
Rusia tetap terbelakang di banding Eropa. Rusia belum mencapai level
bangsa-bangsa Eropa. Ini menimbulkan problem inferioritas di kalangan
orang Rusia terhadap bangsa Eropa yang menimbulkan pengaruh negatif
dalam perilaku mereka.
Bangsa Rusia adalah bangsa yang mahir berperang dan pemberani di negeri mereka. Tapi jika mereka ke luar negeri, mereka kehilangan karakter mereka itu. Oleh
karena itu, Rusia sejak lama sudah diramalkan akan kehilangan
dominasinya atas negara-negara Eropa Timur. Dan Rusia benar-benar kehilangan
dominasinya itu setelah hancurnya Uni Soviet. Fakta-fakta sejarah
mendukung bahwa bangsa Rusia tidak pernah meraih kemenangan di luar
negeri dalam setiap peristiwa sejarah. Dilema yang dihadapi Rusia di
Chechnya, sebuah negeri kecil, memperkuat hal tersebut. Sementara itu
Rusia meraih kemenangan atas musuh-musuhnya ketika Rusia diserang di
negeri mereka sendiri. Kemenangannya yang termasyhur adalah ketika
Rusia diserang di dalam negerinya sendiri, sebagaimana yang terjadi
dengan invasi Napoleon dan Hitler.
Sistem pemerintahan di Rusia pada masa kekaisaran berbeda dengan masa komunisme dan berbeda pula dengan masa sekarang. Namun dalam semua
keadaan itu sistemnya adalah bersifat diktator. Dahulu kaisar secara
khusus mendasarkan sistemnya pada golongan feodal. Saat itu tuan-tuan
tanah besar mengadakan kesepakatan dengan orang-orang kaya untuk
menguasai negeri dengan penguasaan seperti yang dilakukan para tuan
tanah. Pada saat itu mereka mendukung politik kaisar, baik dalam negeri
maupun luar negeri secara mutlak. Mereka semua telah mengeksploitasi
rakyat secara serakah sehingga mengakibatkan kemerosotan dan
keterbelakangan bangsa Rusia.
Sebelum Perang Dunia I Rusia adalah negara terbelakang bila dibandingkan Eropa dan dieksploitasi oleh bagian negara Eropa. Industri-industri strategis di
Rusia saat itu berada di tangan Perancis, Inggris, dan Belgia. Industri
tambang yang terpenting ada di tangan orang-orang Perancis. Industri
batubara di galangan Dunitz ada di tangan orang-orang asing. Hampir
setengah sumur-sumur minyak Rusia ada di tangan orang-orang Inggris dan
Perancis. Bagian yang besar dari keuntungan industri Rusi mengalir ke
bank-bank asing, khususnya bank-bank Inggris dan Perancis. Negeri Rusia
hingga tahun 1914 merupakan negeri terbelakang dalam hal sistem
pemerintahan, ekonomi, sosial, budaya, dan pendidikan. Meskipun
demikian Rusia adalah negara adidaya dan secara internasional dianggap
negara adidaya dan berpengaruh terhadap politik internasional.
Ketika Partai Komunis merebut kekuasaan, keadaan pemerintahan tidak berubah, kecuali dari segi cara (style) orang-orang komunis yang memerintah negeri Rusia dengan tangan besi, banyak melakukan pembunuhan, penumpahan darah, penyiksaan dan teror.
Mereka bermaksud menstabilkan pemerintahan mereka atas ketidakpuasan
rakyat.
Rusia mampu memaksa negara nomor satu (AS) untuk membuang ide memerangi Rusia. Rusia pun melakukan kesepakatan dengan negara nomor satu tersebut,
sehingga menjadi negara sekutu atau seperti sekutu baginya. Dengan
demikian Rusia telah menjadi negara sekutu utama untuk mengatur dunia.
Bahkan dunia seluruhnya ada di bawah dominasi dua negara raksasa, yaitu
negara Uni Soviet dan AS.
Adapun politik Rusia di era komunisme didasarkan pada suatu ide (fikrah) tertentu. Ide tersebut adalah menyebarkan komunisme, sedangkan metode (thariqah) yang ditempuh adalah melakukan penghancuran dan menyulut kontradiksi. Setiap kali ada kesempatan, Rusia berusaha memasukkan ide komunisme ke
sebagian negeri, sebagaimana Rusia juga selalu berupaya untuk
mendominasi berbagai negara yang menjadikan sistem pemerintahannya
sebagai sistem komunis.
Adapun setelah runtuhnya komunisme, bangsa Rusia dan para pemimpinnya membutuhkan jati diri baru yang berbeda dengan Rusia era kekaisaran dan era komunisme.
Maka mereka kemudian menuju kapitalisme. Bangsa Rusia pun bagaikan
orang yang menyegarkan diri dari panas terik dengan api. Merekapun
bertambah miskin di atas miskin. Goncanglah Rusia serta posisinya di
dunia.
Sistem pemerintahan di Rusia telah menjadi sistem kapitalis dan mirip dengan sistem kekaisaran. Namun ada sebagian dari era komunisme yang
dipertahankan. Lapisan kapitalis dan para pemodal besar kembali eksis
dan mempunyai pengaruh yang total terhadap pemerintahan, sebagaimana
pada masa kekaisaran. Namun kali ini berbeda dengan masa kekaisaran,
sebab Rusia sekarang dipimpin oleh bekas tokoh inteligen Rusia (KGB)
dan bekas politisi komunis. Mereka telah mengganti kulit mereka dengan
kulit kapitalis dalam penampilan yang baru.
Adapun politik luar negeri Rusia, fokusnya adalah upaya agar Rusia mempunyai peran dan kedudukan namun tanpa disertai pandangan global terhadap politik luar
negeri. Maka dari itu eksistensi Rusia di percaturan internasional
terus merosot, sehingga target mereka hanyalah agar punya peran dan
tidak terpinggirkan dari politik internasional.
Kondisi hilangnya jatidiri ideologis pada bangsa Rusia dan kebangkrutan politik di kalangan pemimpin bangsa Rusia memberikan peluang bagi pihak lain
untuk menghambat politik-politik Rusia dengan mengadakan hubungan
perdagangan dengan Rusia. Kaum muslimin akan dimungkinkan untuk
memasuki Rusia dan Rusia pun dimungkinkan untuk melihat Islam hidup
dalam interaksi antar manusia. Kondisi itu juga memberi kesempatan
untuk melawan upaya-upaya Rusia guna mempengaruhi politik internasioanl
dengan jalan tidak memberikan kesempatan kepada Rusia untuk memberikan
pengaruhnya dan membatasi hubungan Rusia hanya pada aspek perdagangan
saja. Kondisi tersebut juga memberikan kesempatan untuk melawan Rusia
pada bidang-bidang yang lain sebagaimana negara-negara kapitalis
lainnya, sebab politik luar negeri Rusia dilakukan atas dasar
eksploitasi dan penjajahan, meski hal ini tidak nampak kecuali di
negara-negara tetangga Rusia.
Sesungguhnya empat bangsa yang terakhir dibahas; yaitu bangsa AS, Inggris, Perancis, dan Rusia adalah bangsa-bangsa dari negara yang saat ini dianggap
negara adidaya yang mempunyai dominasi utama dalam politik
internasional di berbagai kawasan dunia. Bangsa-bangsa itu juga
melakukan persaingan sesama mereka dengan kekuatan dan kelemahan yang
berbeda kadarnya di antara mereka. Dengan mempelajari pengaruh mereka terhadap politik internasional pada abad ke-21 saat ini, dapat dibuat garis-garis besar politik bagi empat negara tersebut sebagai berikut.
Adapun AS, kekuatannya semakin besar dengan cepat setelah runtuhnya Uni Soviet yang tiba-tiba. AS telah menjadi negara raksasa yang kuat pengaruhnya
terhadap dunia. Khususnya setelah ada kevakuman yang ditinggalkan Uni
Soviet yang tidak dapat diisi oleh nagara adidaya manapun, sehingga AS
menjadi negara raksasa tanpa pesaing. Hingga saat ini tidak ada satu
pun negara adidaya yang dapat menjangkau kedudukan negara nomor dua yang dulu diperankan oleh Uni Soviet.
Keadaan yang janggal dalam percaturan internasional ini –yang membuat AS superior atas negara lainnya-- menjadikan para politisi AS cenderung untuk
sombong dan arogan ketika berinteraksi dengan negara lain. Menteri Luar
Negeri AS di masa Clinton, Medelein Albright telah menyatakan keadaan
tersebut dengan berkata, "Sesungguhnya AS adalah satu bangsa yang telah
dipastikan menjadi penanggungjawab dunia. AS siap untuk melakukan apa
saja kapanpun dia kehendaki. Hendaklah semua pihak mengetahui bahwa
kami melakukan apa yang kami inginkan dan mengubah apa yang kami
kehendaki. Tidak ada hambatan-hambatan yang menghadang jalan kami
karena dunia adalah milik kami, dunia adalah milik orang-orang Amerika."
Kecongkakan dan kesombongan dalam politik AS ini telah mendorong sekutu AS --bahkan negara-negara Eropa-- untuk tidak setuju dengan arogansi AS atas dunia
dan komentar Albright yang semakin menegaskan kesombongan AS. Maka dari
itu mereka menolaknya melalui koran-koran mereka yang mengungkapkan
kegusaran mereka atas arogansi AS. Koran Perancis Le Monde Diplomatique
menolak komentar Albright dengan menyatakan, "Sesungguhnya hegemoni AS
tidak pantas untuk menjadi sesuatu yang pasti. AS sejak sekarang dan
selanjutnya harus memahami bahwa ia tidak akan pernah mampu memaksakan
aturan-aturannya atas benua yang lima sesuai dengan kepentingannya
sendiri. Demikian pula AS tidak akan bisa menjadi polisi dunia di
wilayah-wilayah konflik dan krisis selama-lamanya."
Oleh karena itu dalam politiknya, AS bertolak pandangan-pandangan bahwa AS adalah pemilik dunia dan yang paling layak menguasai dunia dan segenap
penghuninya. AS telah secara terang-terangan mengumumkan bahwa ia
adalah pemimpin dunia seperti kata George W. Bush saat safari
kampanyenya di AS. AS juga mengumumkan tentang rancangan-rancangannya
untuk dunia, seperti rancangan Dunia Baru, Timur Tengah Baru, Timur
Tengah Raya, dan seterusnya.
Akan tetapi ketakaburan dan kesombongan AS ini hasilnya akan menjadi bencana bagi AS sendiri. Tanda-tanda ke arah itu telah nampak. Lihatlah, AS telah
terperosok di kubangan lumpur Afghanistan dan Irak. Kehebatan AS telah
dihinakan dan dilecehkan, meski AS dengan sombong telah melakukan
kejahatan pemboman ngawur atas orang sipil dan aksi kebrutalan yang
keji di penjara-penjara. Namun akhirnya AS harus mengirimkan mayat
tentara-tentaranya ke tanah air mereka setelah terbunuh di Afghanistan
dan Irak. Jadi bangsa-bangsa di kawasan itu telah sangat marah kepada
AS karena kejahatan AS yang sangat kejam yang menimpa manusia, pohon,
dan batu, bahkan menimpa kurikulum pendidikan, media masa, pemikiran
dan seterusnya.
Demikian pula Eropa, Asia, Afrika telah menderita akibat perilaku AS yang melampaui batas, seperti perampokan atas kekayaan alam mereka, kezaliman yang
terus-menerus atas negara dan rakyat mereka, dan upaya mewujudkan
hegemoni tunggal bagi AS di seluruh kawasan dunia.
Jelaslah terdapat aspek istimewa pada politik AS. Di satu sisi terdapat kesombongan dan arogansi, bermacam-macam kejahatan, dan pandangannya
bahwa dunia adalah sawah tempat bercocok tanam milik mereka. Sementara
di sisi lain terdapat kebencian yang mendalam dan kegeraman yang luar
biasa terhadap AS dari seluruh bangsa di dunia, baik itu musuk AS
maupun negara sahabat AS. Semua ini mengisyaratkan titik akhir yang
menyakitkan bagi AS dan kejatuhannya yang tragis sebagaimana jatuhnya
semua diktator dunia.
Adapun Inggris, maka ia meletakkan satu kaki di Eropa dan satu kaki di AS. Ini menunjukkan adanya paradox antara orientasi dan kecenderungan kepada
Eropa di satu sisi dan orientasi kepada Anglo-Saxon di sisi lain.
Inggris ingin mempertahankan keseimbangan di antara dua orientasi ini.
Keseimbangan ini telah menjadi dasar hubungan Inggris, baik dengan AS maupun dengan Eropa. Inggris bermain pada dua tali ini dan memanfaatkan kedua belah
pihak. Inggris ingin memperkuat diri dengan Eropa dan pada waktu yang
sama ingin memperkuat diri dengan AS. Sebab Inggris tidak mampu
meninggalkan AS sebagaimana ia juga tidak mampu untuk memisahkan diri
dengan Eropa. Akan tetapi kepentingan Inggris lebih cenderung mengarah
ke Eropa. Oleh karenanya kita akan melihat Inggris semakin hari semakin
mendekat ke Eropa. Masuknya Inggris ke Uni Eropa adalah bukti untuk
itu.
Akhir-akhir ini Inggris telah memberi kontribusi dalam pembentukan militer Eropa yang independen dari NATO. Inggris bekerja sama dengan Perancis untuk
tujuan itu meskipun AS menolak langkah itu dengan tegas. Inilah politik
Inggris terhadap Eropa. Dan ini pula perspektif yang menjadi titik
tolak kegiatan-kegiatan politiknya di Eropa.
Adapun Perancis, ia berbeda dengan Inggris. Sebab Perancis melaksanakan politiknya atas dasar kepentingan Eropa semata. Perancis tidak peduli
kepada AS. Perancis berupaya memperkuat Uni Eropa dan berupaya pula
untuk mendominasinya agar menjadi kekuatan politik Eropa bersama --yang
terpisah total dari AS-- dan menjadi pesaing yang seimbang terhadap
kekuatan AS di segala bidang, baik politik, ekonomi, militer, maupun
budaya. Bukan hanya terbatas pada bidang ekonomi atau kerja sama
politik secara formal. Perancis menjadikan kedekatannya dengan Jerman
sebagai batu loncatan untuk mewujudkan politik ini. Hal itu terjadi
sedemikian rupa, sehingga poros Perancis-Jerman telah dianggap sebagai
dasar politik Eropa bersama.
Inilah politik Perancis terhadap Eropa. Ini adalah politik yang mandiri dan independen, yang menghendaki persatuan dengan jelas. Hal ini menjadikan
Perancis dan Jerman sebagai jatung kekuatan Eropa sekaligus dinamo
penggerak Eropa.
Adapun Rusia, politiknya saat ini terhadap Eropa terwujud dalam dua hal:
Pertama, memasuki kancah negara-negara Eropa dan bersekutu dengan mereka dalam membahas persoalan-persoalan Eropa atas dasar prinsip persamaan. Rusia
secara parsial telah berhasil dalam langkahnya ini. Dalam arti Rusia
telah dapat masuk ke Majelis Eropa dan kelompok G-7. Tetapi Rusia tidak
berhasil masuk ke Uni Eropa bahkan tidak berhasil menjadi calon anggota
untuk memasuki Uni Eropa.
Kedua, mencoba mempertahankan hubungn istimewa dengan negara-negara bekas Uni Soviet dan negara-negara yang dulu menjadi satelit Uni Soviet. Rusia
bermaksud agar ada hubungan perwalian (guardianship) yang
permanen. Namun Rusia gagal total mewujudkan hal ini. Sebab Rusia telah
benar-benar kehilangan dominasinya atas setiap negara Eropa Timur,
yaitu Bulgaria, Rumania, Chechnya, Slovakia, Polandia, Hungaria, dan
negara-negara pecahan Yugoslavia. Rusia pun mulai kehilangan sebagian
dominasinya terhadap Georgia, Azerbaijan, Armenia, Ukraina, Rusia
Putih, Moldavia, dan republik-republik Asia Tengah yang muslim.
Dominasi penuh hanya dimiliki Rusia atas Kazakhstan saja. Rusia pun
sebelumnya telah kehilangan dominasinya secara cepat atas tiga negara
Baltik, yaitu Lithuania, Estonia, dan Latvia.
Politik Rusia terhadap Eropa secara ringkas adalah bahwa Rusia belum mampu beradaptasi dengan Eropa sesuai level yang dirancang dan diusahakan
oleh Rusia. Barangkali faktor yang belum memungkinkan untuk itu adalah
karakter Rusia sebagai negara Euro-Asia, yakni negara separo Eropa
separo Asia, sehingga Rusia tidak dapat mengklaim bahwa dirinya adalah
Eropa tulen. Rusia selanjutnya tidak mampu pula untuk pura-pura
tidak mengetahui wilayahnya yang luas di Asia. Rusia tidak dapat pula
melepaskan hubungan dan kepentingannya yang besar dengan negara-negara
non-Eropa.
Jadi Rusia tersibukkan dengan upaya membatasi jangkauan vitalnya yang luas. Dengan demikian politik Rusia menjadi terpecah dan ia tidak mampu
mengkonsentrasikan diri pada aspek Eropa saja.
Dari uraian di atas kita telah mengetahui bangsa-bangsa dari negara adidaya, yaitu AS, Inggis, Perancis, dan Rusia. Demikian pula kita telah mengetahui bahwa
umat Islam akan segera kembali menjadi negara adidaya, yaitu dalam
Khilafah Rasyidah. Selain itu kita juga telah membahas bangsa Jerman
yang diramalkan akan menjadi negara adidaya, walau perlu waktu yang
lama. Kitapun juga telah mengetahui bangsa Jepang karena mempunyai
pengaruh yang besar di bidang ekonomi.
Keterpengaruhan dan pengaruh bangsa-bangsa ini dalam politik internasional akan segera nampak dari paparan masalah-masalah besar dunia pada bab selanjutnya.
(BERSAMBUNG)

MASALAH-MASALAH BESAR DUNIA

FAKTOR-FAKTOR PENDORONG PERSAINGAN ANTAR NEGARA

FAKTOR-FAKTOR PENDORONG PERSAINGAN ANTAR NEGARA

Konflik internasional sejak awal sejarah hinga Hari Kiamat nanti tidak keluar dari dari dua motif berikut : Pertama, cinta kepemimpinan dan kebanggaan. Kedua, dorongan di balik manfaat-manfaat material. Cinta kepemimpinan (hubb al-siyadah) bisa berupa cinta kepemimpinan terhadap umat dan bangsa seperti halnya Nazisme Jerman dan Fasisme Italia. Bisa jadi berupa cinta kepemimpinan
terhadap ideologi dan penyebaran ideologi sebagaimana halnya Daulah
Islamiyah selama hampir 1300 tahun. Demikian pula halnya negara komunis
selama 30 tahun sebelum keruntuhannya pada awal tahun 90-an abad yang
lalu, setelah 70 tahun sejak kelahirannya.
Adapun motif untuk membatasi pertumbuhan kekuatan negara lain, seperti halnya yang terjadi pada berbagai negara melawan Napoleon, Daulah Islamiyah,
atau Nazi Jerman, termasuk dalam motif cinta kepemimpinan, sebab hal
itu akan mencegah kepemimpinan pihak lain.

Dengan hancurnya Daulah Islamiyah dan Uni Soviet, motif yang mendominasi dunia secara keseluruhan adalah nafsu di balik keuntungan-keuntungan
material. Hal ini akan terus demikian hingga kembalinya Daulah
Islamiyah sebagai negara adidaya yang akan mempengaruhi persaingan
internasional dan pada saat yang sama akan mengembalikan motif cinta
kepemimpinan dan penyebaran ideologi.
Motif paling berbahaya dalam persaingan internasional adalah motif penjajahan (imperialisme) dalam segala bentuknya. Sebab penjajahan itulah yang
menyebabkan meletusnya perang-perang kecil dan juga dua perang dunia.
Motif penjajahan pula yang menyebabkan perang-perang di Teluk, Afrika,
Afghanistan dan Irak. Motif itu pula yang tak henti-hentinya
menyebabkan berbagai keresahan dan krisis dunia.
Persaingan, perselisihan, dan konflik yang ada saat ini, antara AS, Inggris, Perancis dan Rusia, baik yang terang-terangan maupun yang tersembunyi
seputar masalah Irak, Afghanistan, Timur Tengah, dan masalah-masalah
internasional lainnya, tiada lain adalah karena penjajahan dan karena
dominasi motif meraih manfaat material dan sumber-sumber daya alam.
Jadi sesungguhnya penjajahan itulah yang mendominasi persaingan
internasional dewasa ini, termasuk segala hal yang dikandungnya seperti
konflik untuk memperebutkan sumber-sumbar daya alam, pengaruh, dan
persaingan untuk menguasai pihak lain dalam segala bentuk dan jenisnya.
Pada hakikatnya, nafsu untuk meraih manfaat-manfaat material, khususnya kerakusan untuk menjajah, adalah faktor yang melahirkan persaingan
internasional di antara negara-negara adidaya. Hal itu pula yang secara
nyata mengobarkan berbagai perang lokal dan perang dunia. Untuk
menghindarkan diri dari perang-perang ini, dibuat-buatlah apa yang
dinamakan perdamaian dan keselamatan dunia serta dalih menjaga keamanan
dan perdamaian.
Dalih menjaga keamanan bukanlah dalih baru di dunia, melainkan dalih kuno yang sudah ada sejak abad ke-19. Sebab perjanjian yang dinamakan Perjanjian
Aix-la-Chapelle yang ditandatangani pada tahun 1818 oleh lima negara
adidaya pada saat itu, tiada lain terwujud dengan dalih menjaga
keamanan. Dengan perantaraan perjanjian atau persekutuan ini, kelima
negara adidaya itu telah menjadikan dirinya sendiri sebagai penjaga
keamanan dan ketertiban komunitas internasional. Mereka akan melakukan
campur tangan di negara-negara lain kapan saja diperlukan sesuai klaim
mereka bahwa ada ancaman terhadap perdamaian dan ketertiban
internasional.
Dalih ini, yaitu dalih menjaga perdamaian dan ketertiban komunitas internasional, selanjutnya dijadikan jalan bagi negara-negara besar untuk melakukan
intervensi, jalan untuk perang, menjadi slogan internasional, dan
dijadikan alat untuk melestarikan penjajahan dan menancapkan pengaruh.
Perdamaian ini dapat dijaga –menurut klaim mereka— dengan cara melakukan persekutuan di antara negara-negara adidaya atau dengan cara mengadakan berbagai
konferensi internasional. Setelah Perang unia I, perdamaian dijaga melalui
badan-badan internasional. Dalam perjanjian damai tahun 1919,
ditambahkan pasal untuk membentuk sebuah badan internasional guna
menjaga perdamaian, yaitu Liga Bangsa-Bangsa (LBB). Dan memang badan
ini harus didirikan untuk menjaga perdamaian. Tetapi
negara-negara yang mendirikannya telah menyimpang dari
komitmen-komitmenya dan menyalahi tujuan pendiriannya. Sebab semestinya
negara-negara adidaya ini mundur dari kepemimpinannya (jajahannya), dan
badan itu sendiri yang menangani penjagaan perdamaian dan mencegah
perang.
Namun negara-negara adidaya tidak mau mundur dari negara-negara jajahannya, tidak mau mengubah keadaannya, bahkan mereka lalu berambisi mewujudkan
keseimbangan antara kekuatan yang berbeda-beda dan memelihara
kepentingannya. Selain itu mereka bermaksud hendak membagi-bagi
rampasan perang bekas milik Jerman dan Daulah Islamiyah di antara
mereka. Inggris mendapatkan bagian terbesar. Hal itu menyebabkan rusaknya perdamaian yang seharusnya dijaga badan LBB, meletusnya banyak perang, dan kemudian berakhir dengan Perang Dunia II.
Setelah Perang Dunia II negara-negara adidaya itu berulang kali berupaya mendirikan sebuah badan internasional untuk menjaga perdamaian dan keamanan
internasional. Negara-negara adidaya, yaitu Inggris, AS, dan Uni Soviet
dan kemudian bergabung pula Perancis, melakukan pembahasan mengenai
keharusan membentuk dunia pasca perang dalam suatu model yang baru yang
dapat menjamin stabilitas perdamaian dan mencegah peperangan. Mereka
menambahkan pula tujuan lain yaitu kemudahan kerjasama ekonomi di
antara sistem yang bermacam-macam dan berbeda-beda serta memelihara
hak-hak asasi manusia (HAM). Sejak saat itu Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB) menjadi penjaga perdamaian dan kata “perdamaian" tetap menjadi
slogan internasional yang diulang-ulang oleh semua pihak dan dijadikan
dalih bagi negara-negara adidaya untuk menjaga perdamaian, mencegah
negara-negara lain dari pembebasan, dan mencegah pembebasan diri dari
penjajahan. Demikianlah ide “menjaga perdamaian” telah berkembang
hingga menjadi kokoh sebagaimana halnya saat ini.
Masalah penjagaan perdamaian pada badan internasional telah memunculkan mitos “perlucutan senjata.” LBB berupaya untuk melaksanakan isu perlucutan
senjata ini. Inggris menjadikan isu tersebut sebagai
sarana untuk melemahkan Perancis. Inggris mendorong Jerman untuk
menggiatkan persenjataan dalam rangka membentuk keseimbangan di Eropa
antara Jerman dan Perancis. Maka gagallah isu isu perlucutan senjata
dan meledaklah Perang Dunia II.
Ketika terbentuk PBB, lembaga ini juga menggunakan isu perlucutan senjata ini. Tetapi sampai sekarang tidak ada satu negara adidaya pun yang mampu
menipu negara lain seperti yang dilakukan Inggris terhadap Perancis
dalam LBB. Demikian pula PBB tidak mampu memberikan pengaruh. Maka dari
itu masyarakat hampir-hampir tidak menyadari keberadaan PBB. PBB pun
tetap saja menjadi nama yang tidak ada artinya.
Persaingan antara negara adidaya satu sama lain telah memunculkan apa yang dinamakan konferensi internasional dan pakta-pakta. Mengenai
konferensi, yang pertama diadakan mengenai ini adalah Konferensi Wina
yang diadakan tahun 1815. Kemudian sebelum Perang Dunia I diadakan
beberapa konferensi. Di antaranya Konferensi Berlin yang
diselenggarakan untuk menyepakati penghentian batas-batas Daulah
Islamiyah dan pembagian bekas-bekas miliknya. Setelah Perang Dunia I
juga diselenggarakan beberapa konferensi. Di antaranya Konferensi
Berlin, Jenewa, dan Paris. Namun setelah kesepakatan AS dan Uni Soviet
dan membentuk keduanya menjadi satu kekuatan, tidak lagi diadakan satu
konferensi satu pun. Kecuali pada tahun 1969 ketika para utusan
negara-negara adidaya, yaitu Perancis, Inggris, Uni Soviet, dan AS
mengadakan konferensi dalam kerangka akivitas PBB untuk membicarakan apa
yang dinamakan krisis Timur Tengah. Tapi konferensi yang
diselenggarakan oleh para presiden berbagai negara ini tidak dinamakan
konferensi, karena dilaksanakan dalam kerangka PBB.
Konferensi-konferensi telah diadakan setelah Perang Dunia II untuk membahas problem-problem yang ada di dua Blok, yakni Blok Timur dan Barat, sebab kedudukan Blok
Timur lemah dalam PBB. Oleh karena itu Uni Soviet mencoba mengambil
alih kendali inisiatif dari Blok Barat dan berupaya untuk menyaingi AS
dalam kedudukannya sebagai negara pertama. Uni Soviet mencoba
menyelesaikan masalah-masalah di luar PBB dan berhasil melakukannya
dalam Konferensi Berlin dengan memperluas celah perbedaan antara
Inggris-Perancis dengan AS. Uni Soviet juga berhasil mengambil
keputusan dengan mengadakan Konferensi Jenewa. Uni Soviet berhasil
dalam konferensi itu. Jadi penyelenggaraan konferensi-konferensi itu
telah melemahkan AS dan memperkuat Uni Soviet. Inggris juga mencoba
mengadakan berbagai konferensi dengan AS untuk memecahkan berbagai
masalah di luar PBB. Diadakanlah Konferensi Bermuda, tetapi Inggris
tidak berhasil. Setelah itu tidak diadakan lagi
konferensi apa pun di antara negara-negara Blok Barat dan hanya
terbatas pada pertemuan-pertemuan rutin antara AS dan Inggris. AS telah
menyadari bahwa penyelanggaraan konferensi di luar PBB akan melemahkan
posisinya dan mengakibatkan lemahnya kedudukan AS secara internasional.
Karena itu AS kemudian tidak menyetujui pelaksanaan konferensi di luar
PBB, terutama setelah terjadi detente. Yang disetujui AS adalah
persekutuan antara AS dan Uni Soviet setelah pertemuan Wina tahun 1961.
Adapun pakta-pakta (perjanjian), ia merupakan perkara yang sudah lama adanya. Pakta-pakta itu dilakukan oleh berbagai negara untuk memperkuat dirinya
di hadapan negara lain atau untuk mencegah dominasi satu negara atas
yang lain agar tidak merusak keseimbangan di antara mereka. Perjanjian
Aix-la-Chapelle yang diadakan tahun 1818 tiada lain adalah merupakan
suatu pakta. Pakta-pakta yang ada antara Inggris, Perancis, Austria,
dan Jerman merupakan pakta untuk memperkuat dan menjaga keseimbangan.
Kemudian pakta yang diadakan antara Perancis dan Inggris untuk melawan
Jerman pada Perang Duia I, adalah pakta untuk melawan sebuah negara
adidaya. NATO yang diadakan setelah Perang Dunia II untuk
melawan Uni Soviet, juga Pakta Warsawa yang diadakan setelah Perang
Dunia II untuk melawan Blok Barat, semuanya adalah pakta-pakta yang
diadakan untuk menentang kekuatan lain. Maka pakta-pakta ini mirip
degan konferensi-konferensi internasional yang menjadi salah satu sarana untuk
melawan kekuatan lain, atau untuk menjaga keseimbangan. Inilah
pakta-pakta yang dianggap merupakan salah satu alat konflik
internasional.
Ada pakta-pakta atau perjanjian-perjanjian yang dilakukan negara-negara adidaya dengan negara-negara kecil, atau yang dilakukan antar negara
kecil. Pakta-pakta ini tidaklah dianggap sebagai alat konflik
internasional secara langsung, melainkan hanya dianggap sebagai sarana
penjajahan, atau sarana untuk memperkuat negara adidaya yang merekayasa
perwujudannya. Pakta yang diadakan antara Irak dan Turki, kesepakatan
sebelum Perang Dunia II yang dinamakan Pakta Sa’adabad, diadakan oleh
Inggris dalam rangka memantapkan pengaruhnya di negeri-negeri tersebut
dan dalam rangka menguatkan bobot internasionalnya di hadapan
negara-negara adidaya lainnya seperti Perancis dan Uni Soviet. Perjanjian-perjanjian
yang diadakan Inggris dengan Irak, antara Inggris dan Mesir sebelum
Perang Dunia II adalah alat untuk mengokohkan penjajahan Inggris, bukan
untuk kepentingan perang. Pakta-pakta yang juga diadakan
Inggris setelah Perang Dunia II seperti Pakta Baghdad, atau yang
diadakan AS seperti ASEAN, atau yang dirancang AS agar Kuwait,
Pakistan, Mesir, Maroko, Argentina, Korea Selatan, Bahrain, Australia,
New Zealand, Philipina, Thailand, ditambah Israel tergabung dalam apa
yang dinamakan “sekutu strategis di luar NATO” tiada lain adalah sarana
penjajahan dan untuk meneguhkan pengaruh AS. Bukan pakta untuk
kepentingan perang. Demikian pula pakta-pakta semacam ini
tidak dapat dianggap alat konflik internasional yang langsung. Yang
menjadi alat konflik ientrnasional yang langsung hanyalah pakta-pakta
yang diadakan antara sebuah negara adidaya dengan sesamanya.
Seharusnya peran NATO berakhir begitu Uni Soviet dan Blok Timur runtuh. Tapi AS tetap mempertahankan NATO bahkan berusaha memperluas NATO. Dan AS
memang telah melakukan hal itu. AS telah menggabungkan banyak negara
Eropa Timur ke dalam NATO. AS berupaya pula menggabungkan
negara-negara-lain. Hal itu dilakukannya karena terjadi perubahan dalam
tujuan NATO. NATO bukan lagi diorientasikan untuk menghadapi Blok
Timur, melainkan telah diorientasikan untuk menentang
anggota-anggota Blok Barat itu sendiri. Sebab AS telah melihat gelagat
adanya upaya negara-negara Eropa yang ingin meloloskan diri dari
cengkeraman AS. Maka AS lalu mempertahankan NATO agar negara-negara
Eropa tetap berada di bawah cengkeramannya --karena AS adalah pihak
yang mendominasi NATO-- dan agar keamanan dan pertahanan Eropa tetap
terikat dengan AS.
Belakangan ini negara-negara yang bersekutu dengan AS pada Perang Teluk dan pendudukan Irak –yang disebut negara-negara koalisi— dapat dianggap sebagai contoh persekutuan yang dimaksudkan untuk memperkuat pengaruh AS di kawasan
Timur Tengah dan memperkokoh orientasi politik unilateral pemerintahan
AS. Pakta atau persekutuan itu adalah salah satu sarana penjajahan AS
yang baru.
Itulah dasar-dasar yang menjadi landasan politik internasional secara umum. Dasar-dasar itu merupakan landasan bagi politik setiap negara yang
berpengaruh terhadap politik internasional. Dengan dasar-dasar itu
aktivitas-aktivitas politik yang terjadi di dunia akan dapat dipahami,
akan dapat ditafsirkan secara tepat atau sesuai dengan faktanya, atau
setidaknya hampir tepat dan hampir sesuai dengan faktanya.
Aktivitas-aktivitas politik yang dilakukan oleh berbagai negara, baik
negara adidaya mapun negara kecil, tidak mungkin bisa dipahami kecuali
dengan memahami dasar-dasar tersebut, atau dengan apa yang tercabang
atau berkaitan dengan dasar-dasar tadi. Dengan demikian, akan dapat
diketahui aktivitas politik apa itu, kapan terjadinya, apa saja
faktor-faktor yang terlibat di dalamnya dan dihubungkan dengan
dasar-dasar tersebut. Pada saat itulah akan dapat dipahami apa yang
terjadi dan apa pula motif-motifnya sehingga dapat dipahami pula apa
akibat-akibatnya (BERSAMBUNG).