my destiny

My photo
.>seterusnya akan tertegak kembali khilafah atas minhaj kenabian"

Wednesday 20 April 2011

Perang Pemikiran

PerangSalib

يُرِيدُونَ لِيُطْفِئُوا نُورَ اللَّهِ بِأَفْوَاهِهِمْ وَاللَّهُ مُتِمُّ نُورِهِ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ
“Mereka ingin memadamkan cahaya (Agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tetap menyempurnakan cahaya-Nya meskipun orang-orang kafir benci” (Ash Shaff : 8).
Secara harfiah, Al ghazwu Al fikri (GF) mempunyai makna perang pemikiran, perang intelektual, atau invasi pemikiran. Dalam makna yang lebih luas berkaitan dengan kaum muslimin, GF mempunyai makna: “Perang yang dilancarkan musuh-musuh Islam dalam rangka menghancurkan ummat Islam beserta Aqidahnya dengan tidak melalui perang konvensional tapi melalui perang pemikiran / invasi pemikiran”.
Senjata-senjata GF ini meliputi segala sarana/media yang dapat mereka gunakan seperti media massa media cetak, media elektronik, pendidikan, LSM-LSM, buku-buku, lembaga pemerintahan dan sebagainya.
Senjata-senjata GF ini bagi kaum muslimin lebih berbahaya dari senjata M-16, pesawat tempur atau tank baja, karena sasaran yang akan dihancurkan adalah Aqidahnya. Sedangkan sasaran senjata konvensional yang akan dihancurkan hanyalah tubuh/fisiknya. Kaum muslimin yang terkena sasaran peluru GF ini memang tubuhnya tidak ada yang luka dan tidak mati secara fisik, bahkan tubuh mereka segar bugar dan terkadang hidupnya bergelimang dengan harta dan kursi kedudukan. Namun yang hancur dan mati disini adalah Aqidahnya. Kalau yang terkena peluru GF ini seorang tokoh muslimin atau orang-orang yang berpengaruh dikalangan ummat, maka penyakit ummat akan ditularkan dan disebarluaskan kepada pengikut-pengikutnya atau kepada orang lain sehingga orang lain pun akan ikut hancur pula aqidahnya. Seorang muslim yang terkena peluru GF, maka akan lenyap roh syahadatain dari dirinya. Sebagai gantinya, mengalirlah roh-roh yang tidak di ridhoi Allah seperti komunis, nasionalis, kapitalis, dan sebagainya. Yang seharusnya mereka memperjuangkan tegaknya “Lailahaillallah MuhamadurRosulullah”, alih-alih malah mereka siap berjuang dengan nyawanya demi tegaknya system komunis, nasionalis, kapitalis dan lain sebagainya.
Nasib kaum muslimin yang terkena peluru GF dihadapan Allah sangat ironis sekali. Bandingkan, kaum muslimin yang terkena peluru tank baja/M16 kemudian mati, mereka masih ada harapan surga asal syahid dalam ridho Allah (QS 3:169 dan 2:154). Namun bagi kaum muslimin yang terkena “peluru-peluru GF” kemudian mereka mati, sulit untuk bisa meraih surga, karena mereka telah sanggup untuk menyerahkan jiwa dan raganya demi system-sistem selain system yang diridhoi Allah Swt. Hal ini sebagaimana ditegaskan Allah Swt dalam firmanNya QS. 37:22-23,
احْشُرُوا الَّذِينَ ظَلَمُوا وَأَزْوَاجَهُمْ وَمَا كَانُوا يَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ فَاهْدُوهُمْ إِلَى صِرَاطِ الْجَحِيمِ
“(Kepada Malaikat) kumpulkanlah orang-orang yang zhalim beserta teman sejawat mereka dan sembahan-sembahan yang selalu mereka sembah selain Allah, maka tunjukanlah mereka jalan ke neraka”.
Perjalanan historis Ghazwul Fikri
Ghazwul Fikri sebenarnya telah ada sejak zaman Rosulullah dimana tokohnya adalah seorang munafik yang sudah tidak asing lagi yakni Abullah bin Ubay bin Salul. Dia dan anak buahnya tak henti-hentinya berusaha memadamkan cahaya Allah dengan secara terselubung menyebarkan bibit kebencian diantara kaum muslimin. Menurut DR. Anwar al Jumdi, setelah Abdullah bin Ubay, tokoh-tokoh GF ini adalah Abdullah bin Saba’ dan Abdullah bin Muqaffa serta kaum Zindiq.
Dalam perjalanan sejarah kontemporer, langkah-langkah GF ini dilakukan oleh orang-orang kafir khususnya Yhudi dan Nasrani, terutama setelah mereka gagal menaklukan dunia Islam melalui perang konvensional dalam perang salib ke-VII. Hal ini menimbulkan kesadaran baru bagi mereka bahwa penaklukan terhadap dunia Islam bukan dengan cara perang fisik atau invasi militer tapi dengan cara perang pemikiran, invasi pemikiran.
Orang yang pertama kali menyadari akan langkah-langkah ini adalah panglima perang salib ke-VII itu sendiri yakni Louis XIV Raja Perancis. Saat ia tertawan oleh pasukan kaum muslimin pada perang salib ke-VII di Al Masyuriyah pada tahun 647H/1250M, dalam memorinya ia menulis catatan yang berbunyi: “setelah memlalui perjalanan panjang segalanya telah menjadi jelas bagi kita kehancuran kaum muslimin dengan jalan perang konvensional adalah mustahil karena mereka memiliki manhaj yang jelas, yang tegak diatas konsep Jihad fi Sabilillah. Dengan manhaj ini mereka tidak akan pernah mengalami kekalahan militer”.
Karena itu, barat menempuh jalan lain. Bukan langkah-langkah militer tapi memerangi idiologinya dengan jalan mencabut akar manhaj ini dan mengosongkannya dari kekuatan, kenekatan dan keberanian. Caranya tidak lain dengan menghancurkan konsep-konsep dasar Islam dengan berbagai Takwil dan Tasykik.
Zwemer, seorang Nasrani mantan Yahudi mengingatkan kecilnya kemungkinan untuk bisa menghancurkan ajaran Islam secra totalitas, maka ia memberikan ancang-ancang target dengan pernyataannya sebagai berikut: ”Tujuan kita bukanlah mengkristenkan ummat Islam, target kita adalah menjauhkan kaum muslimin dari ajarannya ini yang harus kita capai walaupun mereka tidak bergabung dengan kita”.
Seorang arkitek penghancur Islam dari Belanda bernama Snouck Hurgronye dalam menghancurkan Islam melalui GF diantara poin-poinnya ia menyebutkan:
- Pisahkan ummat Islam dari ajarannya dengan strategi pendidikan yang terencana.
- Tumbuhkan perpecahan dalam tubuh ummat Islam.
Begitu pula seorang tokoh Yahudi Swiss bernama Theodore Hertzl pada tahun 1897 di Basel, dia berbicara dalam kongres Zionis I ”50 tahun lagi Negara Yahudi yang bernama Israil harus berdiri diatas kuil Sulaiman, dan kekhalifahan Islam harus hancur”. 50 tahun kemudian melalui PBB, legitimasi atas negara Israel dimulai pada tanggal 29 November 1947. Dengan keluarnya resolusi PBB yang mengakhiri mandat Inggris atas Palestina dan membagi Palestina menjadi dua bagian yaitu untuk Yahudi dan untuk Arab, negara Israel sebagai negara Yahudi diproklamirkan pada hari jumát sore tanggal 14 Mei 1948 dengan tidak mengalami kesulitan sama sekali. Karena memang sudah menjadi konspirasi jahat antara kaum Zionist dan kaum Salibis dalam menghancurkan ummat Islam. Dengan berdirinya negara Israel Yahudi dan Palestina, akan terseret negara-negara Arab dalam perpecahan dengan prinsip Nasionalisme nya.
Kepemimpinan ummat Islam didunia ini dihapus oleh Mustapha Kemal Pasha melalui dewan nasionalnya pada tanggal 3 Maret 1924 sebagai perpanjangan tangan Yahudi dalam konspirasi kaum Zionist dan Salibis. Dalam perjalanan sejarah kontemporer GF sampai saat ini telah berjalan dalam rentang waktu hampir 800 tahun lamanya, dan ternyata langkah-langkah ini lebih berhasil daripada perang konvensional atau langkah-langkah militer.
Ummat Islam saat ini, kondisinya betul-betul sangat memprihatinkan, telah banyak hancur Aqidahnya, banyak yang tidak betul-betul paham dengan ajaranNya, hanya faham soal shalat sampai Haji, atau dengan kata lain, Islam sebagai ajaran ritual seremonial belaka.
Kalau seseorang sudah melaksanakan shalat dengan khusyuk, telah mengeluarkan zakat dan telah melaksanakan Haji, biarpun pemimpinnya thaugut dan berjalan melalui metode-metode perjuangan thaugut maka dia tetap akan merasa bahwa ibadahnya telah sempurna. Perasaan yang demikian digambarkan Allah dalam firmanNya (QS. 43:36-37),
وَمَنْ يَعْشُ عَنْ ذِكْرِ الرَّحْمَنِ نُقَيِّضْ لَهُ شَيْطَانًا فَهُوَ لَهُ قَرِينٌوَإِنَّهُمْ لَيَصُدُّونَهُمْ عَنِ السَّبِيلِ وَيَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ مُهْتَدُونَ
”Barang siapa yang berpaling dari pengajaran Tuhan yang maha pemurah (al Qurán) kami adakan baginya syaitan (yang menyesatkan) maka syaitan itulah yang akan menjadi teman yang selalu menyertainya. Dan sesungguhnya syaitan itu benar-benar menghalangi mereka dari jalan yang bahwa mereka mendapat petunjuk”.
Dua poin penting yang menjadi sasaran GF yang pertama yaitu menjauhkan ummat Islam dari ajaran-ajarannya, dan yang kedua yakni menghancurkan persatuan ummat Islam (dengan menghancurkan sistem Khilafah), sehingga ummat Islam akan hidup dalam sekat-sekat golongan, kebangsaan dan lain-lain. Dengan adanya sekat-sekat ini ummat Islam akan lebih mengedepankan sekatnya, lebih mengedepankan pembelaan terhadap golongan dan bangsanya daripada pembelaan terhadap Islamnya.
Fenomena ini telah terjadi dimana-mana. Ummat Islam saat ini  sanggup menumpahkan darah saudaranya sendiri demi pembelaan terhadap kepentingan golongan atau bangsanya. Sebagaimana yang saat ini terjadi, perang Irak, Afghanistan, Pakistan bahkan Mesir yang notabene bertetangga dengan palestina tidak mau membuka gerbang Raffah untuk membantu saudara seimannya yg dibantai pasukan yahudi, demi mempertahankan eksistensi kepentingan nasionalismenya. Naudzubillahiminzalik..
Masih adakah roh syahadatain kaum muslimin saat ini? Atau sudah begitu parahkah kualitas Aqidah kaum muslimin saat ini? Sehingga perjalanan sejarah kaum muslimin saat ini harus ditulis dengan tinta merah. Maka kaum muslimin saat ini harus sadar dan berusaha membentengi diri dari serangan GF ini.
Membentengi GF ini tidak ada jalan lain kaum muslimin harus meniti kembali solusi wahyu bukan solusi raýu dengan kembali pada isyarat Allah dalam firmanNya (QS. 2:208),
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ
”Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu kedalam Islam secara kaffah/keseluruhan, dan janganlah kamu turuti langkah-langkah syaitan, sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu”.
Kaum muslimin harus berusaha kembali pada ajaranNya secara utuh sesuai dengan kemampuannya, dibawah sistem kepemimpinan Islam itu sendiri yakni sistem Khilafah karna GF ini merupakan serangan dari sistem diluar Islam terhadap sistem Islam. Maka mengadapinya harus dengan sistem Islam itu sendiri yakni sistem Khilafah sebagai wadah pemersatu ummat dan pola dalam mengatur strateginya dibawah satu komando seorang ulil amri yaitu Khalifah / Amirul Mukminin

bai'at

Ketahuilah -semoga Allah merahmatimu- bahwa pembahasan masalah baiat merupakan pembahasan yang luas dan panjang lebar. Dibutuhkan penjelasan tentang pengertian baiat menurut istilah yang biasa dikenal, berapa macam-macamnya, apa arti sebenarnya, apa yang dimaksud dengan baiat tersebut, apa hikmah yang terkandung dengan meletakkannya di atas manhaj ini, dengan apa baiat itu wajib, atas siapa baiat diwajibkan, syarat-syarat sempurnanya baiat, serta dengan apa baiat itu rusak.[1]
Karena pembahasannya besar dan pelik sekali, maka kami akan meringkasnya pada dua permasalahan penting yang menjadikan kebingungan dan perselisihan yang dahsyat atas kaum muslimin, yaitu : “Kepada siapakah baiat itu wajib ? Apakah baiat itu boleh kepada setiap individu?”. Adapun masalah-masalah yang lain bukan di sini tempatnya untuk membahasnya.
Kami mulai pembahasan ini dengan definisi baiat secara etimologi maupun terminologi. Baiat secara bahasa ialah berjabat tangan atas terjadinya jual beli, dan untuk berjanji setia dan taat. Baiat juga mempunyai arti : janji setia dan taat. Dan kalimat “qad tabaa ya’uu ‘ala al-amri” seperti ucapanmu (mereka saling berjanji atas sesuatu perkara). Dan mempunyai arti : “shafaquu ‘alaihi” (membuat perjanjian dengannya). Kata-kata “baaya’atahu” berasal dari kata “al-baiy’u” dan “al-baiy’ah” demikian pula kata “al-tabaaya’u”. Dalam suatu hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
‘ala tubaa yi’uunii ‘ala al-islami’
“Maukah kalian membaiatku di atas Islam”
Hadits di atas seperti suatu ungkapan dari suatu perjanjian. seakan-akan masing-masing dari keduanya menjual apa yang ada padanya dari saudaranya dengan memberikan ketulusan jiwa, ketaatan dan rahasianya kepada orang tersebut. Dan telah berulang-ulang penyebutan kata baiat di dalam hadits. [2]
Bai’at secara istilah (terminologi)
“Berjanji untuk taat”. Seakan-akan orang yang berbaiat memberikan perjanjian kepada amir (pimpinan)nya untuk menerima pandangan tentang masalah dirinya dan urusan-urusan kaum muslimin, tidak akan menentang sedikitpun dan selalu mentaatinya untuk melaksanakan perintah yang dibebankan atasnya baik dalam keadaan suka atau terpaksa.
Jika membaiat seorang amir dan mengikat tali perjanjian, maka manusia meletakkan tangantangan mereka pada tangannya (amir) sebagai penguat perjanjian, sehingga menyerupai perbuatan penjual dan pembeli, maka dinamakanlah baiat yaitu isim masdar dari kata baa ‘a, dan jadilah baiat secara bahasa dan secara ketetapan syari’at.[3]
Dan ba’iat itu secara syar’i maupun kebiasaan tidaklah diberikan kecuali kepada amirul mukminin dan khalifah kaum muslimin. Karena orang yang meneliti dengan cermat kenyataan yang ada baiat masyarakat kepada kepala negaranya, dia akan mendapati bahwa baiat itu terjadi untuk kepala negara[4]. Dan pokok dari pembaiatan hendaknya setelah ada musyawarah dari sebagian besar kaum muslimin dan menurut pemilihan ahlul halli wal ‘aqdi. Sedang baiat selainnya tidak dianggap sah kecuali jika mengikuti baiat mereka [5]
Banyak sekali hadits-hadits yang menerangkan/membicarakan tentang baiat, baik yang berisi aturan untuk berbaiat maupun ancaman bagi yang meninggalkannya.[6] Berupa hadits-hadits yang sulit untuk menghitung maupun menelitinya. Tetapi yang disepakati ialah bahwa baiat yang terdapat di dalam hadits-hadits ialah baiat kolektif dan tidak diberikan kecuali lepada pemimpin muslim yang tinggal di bumi dan menegakkan khilafah (pemerintah) Islam sesuai dengan manhaj kenabian yang penuh dengan berkah [7]
Dibawah ini saya bawakan ayat-ayat dan hadits-hadits tentang baiat secara ringkas.
I. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
“Artinya : Sesungguhnya orang-orang yang bejanji setia kepadamu, mereka berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka, maka barangsiapa yang melanggar janjinya, niscaya akibat melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri dan barangsiapa menepati janjinya kepada Allah, maka Allah akan memberi pahala yang besar” [Al-Fath : 10]
II. Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
“Artinya : Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon, maka Allah mengetahui apa yang ada di dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya)” [Al-fath : 18]
Di dalam as-Sunnah, diantaranya.
“Barangsiapa mati dan dilehernya tidak ada baiat, maka sungguh dia telah melepas ikatan Islam dari lehernya” [Dikeluarkan oleh Muslim dari Ibnu Umar]
“Barangsiapa berjanji setia kepada seorang imam dan menyerahkan tangan dan yang disukai hatinya, maka hendaknya dia menaati imam tersebut menurut kemampuannya. Maka jika datang orang lain untuk menentangnya, maka putuslah ikatan yang lain tersebut” [Dikeluarkan oleh Muslim dan Abu Dawud dari Abdillah bin Amr bin Ash]
“Artinya : Jika dibaiat dua orang khalifah maka perangilah yang terakhir dari keduanya” [Dikeluarkan oleh Muslim dan Abu Sa'id]
Dan banyak lagi hadits-hadits yang lainnya.
Salah seorang imam yang agung, Ahmad bin Hanbal, imam Ahlu Sunnah wal-Jama’ah ditanya tentang riwayat dari hadits kedua yang tersebut di atas. Di dalamnya terdapat kata imam. Beliau menjawab :”Tahukah kamu, apakah imam itu ? Yaitu kaum muslimin berkumpul atasnya, dan semuanya mengatakan : “Inilah imam”, maka inilah makna imam” [8]
Al-Imam Al-Qurthubi berkata [9] :”Adapun menegakkan dua atau tiga imam dalam satu masa dan dalam satu negeri, maka tidak diperbolehkan menurut ijma”
Kemudian setelah hilangnya kekhalifahan, terjadilah perbedaan yang sangat tajam tentang ayatayat dan hadits-hadits tersebut. Doktor Abdul Muta’al Muhammad Abdul Wahid mengatakan : “Ketiadaannya imam adalah menjadi sebab munculnya kelompok-kelompok yang mengklaim bahwa dirinyalah yang berhak dibaiat dan menjadi imam. Kelompok-kelompok ini bisa diklasifikasikan menjadi tiga kelompok yang mendasar, yaitu :
1. Kelompok pertama
Mengatakan : “Sesungguhnya orang yang meninggalkan baiat adalah kafir”. Lalu mereka menetapkan kepemimpinan bagi dirinya. Sedang orang yang tidak membaiatnya adalah kafir menurut pandangan mereka. Ucapan ini tidak benar, sebab Ali bin Abi Thalib -salah seorang yang diberi kabar akan masuk surga- beliau tiadak membaiat Abu Bakar selama kurang lebih setengah tahun[10], dan tidak seorang sahabatpun yang mengatakan tentang kekafirannya selama beliau meninggalkan baiat.
2. Kelompok kedua
Mengatakan :”Sesunguhnya baiat adalah wajib, barangsiapa yang meniggalkannya berarti dosa”. Dari sinilah mereka menetapkan seorang amir bagi diri-diri mereka, sehingga gugurlah dosadosa tadi dari mereka ketika membaiatnya. Padahal yang benar adalah bahwa dosa meninggalkan baiat tidak menjadi gugur dengan cara membaiat amir tersebut. Karena baiat yang wajib dan berdosa orang yang meninggalkannya ialah baiat terhadap imam (pemimpin) muslim yang menetap di bumi dan menegakkan khhilafah Islamiyyah dengan syarat-syarat yang benar [11]
3. Kelompok ketiga adalah mereka (kaum muslimin) yang tidak membaiat seorangpun Mereka mengatakan : “Sesungguhnya meninggalkan baiat adalah berdosa, tetapi baiat adalah hak seorang pemimpin muslim yang tinggal di bumi (walau) kenyataannya tidak ada di masa sekarang”.
Dan diantara hal yang menguatkan kebatilan baiat-baiat istitsnaiyyah (pengecualian) yang merupakan perkara baru tentang baiat kepada Amirul Mukminin -walaupun di kala tidak ada Amirul Mukminin- terdapat dalam keterangan para ulama rahimahullah, yaitu disyariatkan dalam baiat berkumpulnya Ahlul Halli wal Aqdi, lalu mereka membentuk keimanan bagi seorang yang memenuhi syarat-syaratnya [12]
KESIMPULAN DAN TARJIH
Jadi yang dimaksud dengan baiat ialah, pemberian janji dari pihak pembaiat untuk mendengar dan taat kepada amir, baik di kala senang atau terpaksa di masa mudah atau sulit, tidak menentang perintahnya dan menyerahkan segala urusan kepadanya. [13]
PERINGATAN
Dari keterangan yang telah lewat, kita mendapatkan dua perkara yang penting, yaitu :
1. Baiat tidak ada kecuali kepada Amirul Mukminin saja.
2. Ketaatan (kepada Amirul Mukminin) muncul dari baiat yang hanya diberikan kepadanya saja.
Oleh karena itu batallah[14] semua baiat yang diberikan kepada seseorang (bukan Amirul Mukminin) bagaimanapun bentuknya, baik ketika ada imam atau tidak ada, ada seorang atau lebih.
Pada hakekatnya dasar pemikiran baiat yang dimiliki sebagian jama’ah-jama’ah Islam pada prinsipnya sesuai dengan syari’at Islam, karena mereka mengatakan di dalamnya : “Hendaknya kita berjanji setia kepada Allah untuk menjadi tentara dalam berdakwah kepada Islam dan di dalam baiat tersebut terdapat kehidupan negeri dan umat”[15] Padahal ini adalah perjanjian yang diambil oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala atas semua kaum muslimin.
Kemudian terjadilah sedikit “perkembangan” pemikiran dan organisasi pada orang-orang yang memberlakukan baiat terhadap diri-diri mereka, sehingga terjadilah kelompok/jamaah ikhwan membaiat pemimpin umum (al-mursid al-aam) sebagai orang yang dipercaya penuh dan didengar serta ditaati ketika suka atau terpaksa, sampai Allah memenangkan dakwahnya dan mengembalikan kemualiaan Islam.[16] Kalau demikian terjadi keterjungkilbalikan dan kesalahan.
Sebagai buktinya diantara sistem kerja anggota baiat adalah taat baik di kala susah atau mudah, terpaksa atau suka kepada kepemimpinan yang muncul dari aturan-aturan yang dipegangi oleh jama’ah.[17]
Dua keterangan terakhir ini menjelaskan dengan gamblang bahwa baiat istitsnaiyyah yang tanpa dalil tersebut, tidak berbeda sedikitpun dengan baiat terhadap Amirul Mukminin. Tidak sebagaimana yang disangka oleh “sebagian orang” bahwa baiat tersebut hanya “sekedar janji”[18] belaka !
Sebagai penambah keautentikan penjelasan tersebut ialah bahwa para pengikut Asy-Syaikh Hasan Al-Bana Rahimahullah menamainya dengan “Al-Imam”. Padahal penamaan ini [19] hanya bisa diperuntukkan bagi orang yang benar-benar imam. Karena diketahui bahwa al ustadz Hasan Al-Banna tidak menyukai kepemimpinan dan mengetahui pula bahwa cinta lepada kepemimpinan dengan tujuan mencari kekuasaan mengakibatkan kejelekan bagi kaum muslimin pada sejarah mereka yang panjang, maka dia (Hasan Al-Banna -ed) menamai dirinya dengan mursyid dan tidak suka untuk menjadi pemimpin atau amir[20]
Karena semua itulah sebagian penulis mengatakan : “Sesungguhnya baiat yang diberikan kepada suatu jama’ah, tidaklah sama dengan baiat yang diberikan kepada Amirul Mukminin ketika tegak khilafah atau penguasa muslim. Karena dengan baiat tersebut perintah seorang penguasa menjadi wajib untuk ditaati, sampai pada masalah-masalah yang mudah jika terdapat kemaslahatan di dalamnya. Adapun baiat yang terdapat pada Ikhwan al-Muslimin (dan katakan seperti itu juga pada jama’ah-jama’ah Islam lainnya), maka tidak mempunyai sifat yang mewajibkan (untuk taat, -ed) dari sisi fikih” [21]
Untuk menjawab perkataan ini dari beberapa sisi.
1. Tidak terdapat dalil atas pemisahan (baiat) ini dalam Al-Kitab dan As-Sunah.
2. Sebelumnya telah saya nukilkan teks-teks dari ucapan Asy-Syaikh Hasan Al-Banna dan lainnya, dan tidak terdapat isyarat yang menunjukkan hal tersebut. Bahkan di dalamnya terdapat isyarat kepada khilafah, tatkala menyebutkan “ketaatan yang mutlak”!!
3. Penelitian terhadap keberadaan jama’ah-jama’ah Islam dan tingkah para pemimpin serta anggotanya, berlawanan dengan pernyataan di atas. [22]
Jika anda heran wahai saudaraku pembaca, maka lebih mengherankan lagi ucapan orang yang membantah ini yang menyatakan bahwa baiat tersebut tidak mempunyai sifat yang mewajibkan (untuk taat). Maka ucapan ini berarti membatalkan semua baiat dari akarnya. Hal ini diketahui dengan menjawab dua pertanyaan berikut ini.
1. Jika baiat tidak membuat adanya suatu kewajiban (untuk taat), lalu apa faedahnya ?
2. Apakah di dalam syariat Islam ada amalan yang tidak ada faedahnya ?
Orang yang mencari dan memperhatikan, kritis dan jeli akan mengetahui jawabannya !
KESIMPULAN PEMBAHASAN DAN BEBERAPA TAMBAHAN
1. Baiat dengan berbagai macamnya tidak diberikan kecuali kepada khalifah kaum muslimin yang melaksananakan hukum-hukum dan menetapkan hukum had.
2. Mendengar dan taat tidak ada kecuali bagi orang yang Allah memberikan perintah untuk menaatinya. Dan yang menjadi fokus pembahasan kita di sini adalah Amirul Mukmin saja! [23]
3. Disebabkan oleh perbedaan kaum muslimin sekarang ini dalam memahami baiat dan tidak sepakatnya mereka di atas pemahaman yang syar’i dan benar tentang baiat, maka mereka saling bermusuhan, berpecah belah dan bersilang pendapat. Suatu kondisi yang akan menimbulkan penyimpangan di dalam beramal bersama hukum-hukum fikih. Begitu pula anggapan bahwa mereka adalah jama’atul muslimin, dapat menimbulkan kerusakan dan menghukumi kaum muslimin di luar lingkup mereka dengan hukum – hukum yang justru akan menjauhkan mereka dengan risalah yang sesunguhnya, karena celah-celah dakwah kepada Allah telah terkunci.[24] Bukti semua itu (sebagai contoh) bahwa di New York saja terdapat lebih dari empat puluh kelompok yang menyeru kepada Islam, akan tetapi setiap jama’ah menyeru kepada Islam yang berbeda seruan Islamnya dengan yang lain. [25]
Atas dasar itulah, wajib bagi kita untuk benar-benar meyakini bahwa gejala munculnya banyak kelompok di dalam pergerakan Islam tidak mungkin dianggap sebagai gejala yang sehat, karena efeknya bagi perkembangan Islam negatif dan buruk. Sedang akibatnya akan menimbulkan kesulitan di antara para aktifis serta menyibukkan mereka sendiri yaitu ketika menghadapi gugurnya sebagian anggota dakwah dan beban-beban yang lainnya.[26] Maka kenyataan yang dapat disaksikan bahwa keadaan para da’i pada masa sekarang ini adalah hasil dari perpecahan yang tajam dan menyakitkan ini, suatu keadaan yang tidak menyenangkan. Bahkan suatu keadaan yang sangat menyedihkan yang tidak boleh terus berlarut-larut keadaannya. Dan setiap muslim bertanggung jawab untuk mengobati gejala ini, agar kaum muslimin kembali sebagaimana sebelumnya yaitu sebagai umat terbaik yang dikeluarkan bagi mausia dan agar agama ini semuanya hanya untuk Allah. [27]
Tidak hanya dalam satu ayat saja dari kitab Allah Subhanahu wa Ta’ala terdapat perintah untuk bersatu dan bermufakat serta larangan untuk berselisih dan berpecah belah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
“Dan janganlah kamu menyerupai orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat.” [Ali-Imran : 105]
Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
“Dan ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu ikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertakwa” [Al-An'am : 153]
Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
“Dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesunguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar” [Al-Anfal : 46]
Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
“Kemudian mereka menjadikan agama mereka terpecah belah menjadi beberapa pecahan. Tiap-tipa golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada sisi mereka” [Al-Mukminun : 53]
Masih banyak lagi ayat-ayat lain yang mulia[28], yang menerangkan dengan tegas tentang tidak bolehnya kaum muslimin berpecah belah di dalam agama mereka menjadi kelompok kelompok dan hizb-hizb yang saling melaknat sebagian atas sebagian yang lain dan saling memerangi sebagian atas sebagian yang lain. Karena sesungguhnya perpecahan ini adalah termasuk perbuatan yang dilarang oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan Allah mencela orang yang mengada-adakannya atau mengikuti ahlinya, serta memberi ancaman bagi pelakunya dengan siksa yang pedih.. [29]
1 Bahjah an-Nufus Syarh Mukhtasha r al-Bukhari (I/28), Ibnu Abi Jamrah
2 Lisanul Arab al -Muhith (I/299) dan an -Nihayah (I/174)
3 Muqaddimah Ibnu Khaldun, hal.299
4 Al-Ushul Fikriyyah li al -Tsaqafah al-Islamiyah (2/73) dan Qawaid Nizham al -Hukmi (262), keduanya tulisan al-Kahlidi
5 Al-Khilafah … hal.13. Rasyid Ridha
6 Lihat Hayah as -Shahabah (I/28 -239) dan Miftah Kunuz al -Sunnah, hal. 80 -86, dan lain-lain
7 Al-Furqan baina al -Kufri wa al-Iman, hal.63, Abdul Muta’al Muhammad Abdul Wahid
8 Masa’il al-Imam Ahmad (2/185) riwayat Ibnu Hani’
9 Al-Jami’ li Ahkam Al -Qur’an (I/273). Dan lihat syarh an -Nawawi atas shahih al -Bukhari (12/231)
10 Dan ini tidak benar secara mutlak, lihat perinciannya dalam kitab Tahdzir Al -Abqari min Muhadharat al – Khudhari (I/198) karya Al -Syaikh Muhammad al -Arabi al-Tibyani
11 Walaupun dia (khilafah) berlaku zhalim. Dan ini adalah madzhab Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Sebagaimana dalam kitab Syarh ‘Aqidah al -Thahawiyyah, hal.379
12 Maatsirul Anafa h fi Ma’alim al -Khilafah (I/39) al -Qalqasynadi
13 An-Nizham as-Siyasi fi al-Islam, hal.299-300, Abdul Qadir Ani Haris
14 Maka wajib bagi orang yang terkungkung dengan baiat -baiat bid’ah seperti ini untuk meninggalkan dan mebatalkannya. Karena baiat tersebut batil. Selain demi menjaga agama dan untuk mengikutinya.
15 Mudzakirat al -Da’wah wa al -Daiyyah, hal, 72 Hasan al -Banna. Dan lihat pembahasan selanjutnya, hal.35
16 Idem, hal.194. Doktor Zakariya Sulaiman Biyumi berkata di dalam kitabnya AL-Ikhwan al Muslimin wa al- Jama’at al-Islamiyah hal.75 : “Dan al -Banna pada masalah tersebut terpengaruh pada kitab –kitab Thariqah al – Hashafiyyah yang pada tahapan -tahapannya akan memindahkan seorang pengikut menjadi pemabiat …” dan seterusnya. Dan lihat penagruh Thariqat a l-Hashafiyyah pada pribadi Hasan al -Banna dan dakwahnya di dalam At-Tafsir as-Siyasi li al-Islam, hal.130 oleh An -Nadwi
17 Al-Madkhal ila Da’wah al -Ikhwan al-Muslimin, hal.123. Sa’id Hawa
18 Akan datang bantahannya disertai penjelasan pertentangan orang yang mengucapkan perkataan tersebut, Inys Allah Ta’ala.
19 Jangan sampai ada orang yang mengatakan : ‘Tidak lain yang dimaksud oleh mereka adalah imam di bidang ilmu, dengan bukti kualitas keilmuannya di dalam karangan -karangan dan kitab -kitabnya. Dan apa yang diucapkan sendiri tentang pribadinya di dalam Al-Mudzakkirat , hal.65.
20 Fiqh al-Da’wah al-Islamiyah …” hal, 23. oleh Al -Ghazali. Dan lihat apa yang diceritakan sendiri oleh Hasan al – Banna di dalam Al -Mudzakkirat, hal. 114 -115, tentang apa yang dilakukan oleh ornag yang mempunyai kedudukan dan keamiran.
21 Al-Ijabaat, hal.87. Sa’id Hawwa. Padanya banyak sekali pertentangan di dalam masalah baiat bila dibandingkan karangannya Tarbiyatuna al -Ruhiyyah, hal.243 -245
22 Lihat al-Jama’at al-Islamiyyah fi Dhaul al -Kitab wa al-Sunnah, hal.100-108, Salim Al -Hilali
23 Didalamnya terdapat isyarat untuk taat kepada kedua orang tua, ulama dan lain sebagainya. Dan bukan disini pembahasannya.
24 Fiqh al-Da’wah al-Islamiyyah, hal.22 Muhammad al -Ghozali
25 Al-Syura fi Dzili Nidzo m al-Hukmu al -Islami, hal.33 Abdurrahman Abdul Khaliq
26 Al-Mustaqitun fi Thariq al -Da’wah, hal.126 Fathi Yakan. Di dalamnya banyak sekali kesalahan, terutama judulnya
27 Manhaj al -Anbiya fi al -Dakwah Ilallah (I/128) Muhammad Surur Zaenal Abidin
28 Lihat al-Dustur al-Qur’ani wa al-Sunnah al-Nabwiyyah fi syu’uni al -Hayah (2/26, 314), Muhammad Izzah Druzah
29 Fatwa nomor 1674, Lajnah Ad -Da’imah li al-Buhuts al-Ilmiyya wa al -ifta, dengan ketua al -Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz. Di dalamnya terdapat pembaha san tentang haramnya berpecah belah dan hizbiyyah.