my destiny

My photo
.>seterusnya akan tertegak kembali khilafah atas minhaj kenabian"

Thursday, 13 November 2008

laakuu blogger

Studi Hadits: Kepemimpinan Pada Quraisy


– Dari Anas r.a. bahwasanya Nabi Saw bersabda, “Para Imam (pemimpin) itu dari Quraisy. Jika mereka memerintah, maka mereka adil. Jika mereka berjanji, mereka memenuhi. Jika mereka diminta belas kasihan, mereka berbelas kasih. Siapa saja di antara mereka yang tidak berbuat demikian, maka dia akan mendapatkan laknat Allah, laknat para malaikat, dan laknat seluruh manusia. Tidak dapat diterima taubat dari mereka dan tidak diterima pula tebusan (azab) dari mereka.”Takhrij Al Hadits ,Hadits tersebut diriwayatkan oleh Abu Dawud At-Thayâlisy dalam musnadnya Juz 2 hal. 163. Imam Ahmad juga meriwayatkannya dari Anas bin Malik dan Abi Barzah dengan redaksi yang lebih pendek: Bahwa Rasulullah Saw berdiri di depan pintu rumah Beliau Saw dan kami ada (di dalam rumah beliau), lalu berkata: “Para Imam itu dari Quraisy.” (Al-Musnad, juz 3, hal. 139 dan juz 4, hal. 421). Imam Al-Bukhari meriwayatkan hadits tersebut dalam Kitab Al-Anbiya’ dengan lafazh: Dari Mu’awiyah bahwasanya dia mendengar Nabi Saw bersabda:“Sesungguhnya urusan (pemerintahan/khilafah) ini ada di tangan Quraisy. Tidak seorang pun yang memusuhi mereka melainkan Allah akan membuatnya terjungkal/tersungkur ke tanah, selama mereka menegakkan agama (Islam).” (lihat Shahih Bukhari, juz 6, hal. 389). Beliau juga meriwayatkan hadits itu dari Abdullah bin Umar r.a. dengan lafazh: “Urusan (pemerintahan khilafah) ini senantiasa berada di tangan Quraisy selama masih tersisa dari mereka dua orang.” (Idem, juz 6, hal. 389). Imam Ibnu Hajar Al-‘Asqalani tentang sanad hadits itu berkata: “Para perawinya (rijâl hadits) tergolong dalam para perawi yang shahih, tetapi dalam sanad ini ada keterputusan (inqithâ’).” (Fâth Al-Bârî, juz 16, hal. 231). Dan hadits Ibnu Umar ini juga dikeluarkan oleh Imam Muslim dalam Kitab Al-Imârah dengan lafazh: “Urusan (pemerintahan khilafah) ini senantiasa berada di tangan Quraisy selama masih tersisa dua orang di antara manusia.” (Shahih Muslim, juz 12, hal. 201). Imam Muslim meriwayatkan hadits serupa dari Abu Hurairah r.a. dengan lafazh: “Manusia mengikuti Quraisy dalam perkara (pemerintahan) ini. Yang muslim mengikuti kaum muslimin dari kalangan mereka. Yang kafir mengikuti kaum kafir dari kalangan mereka.” (Shahih Muslim, Juz 12, hal. 200).



kefahaman hadis


Syarat keturunan (nasab) Quraisy telah mendapatkan perhatian besar dalam pengangkatan

Imam atau Khalifah dari jumhur para ulama dan dalam masalah ini terdapat perbedaan yang

besar di antara para ulama yang menganggapnya sebagai syarat in’iqad (keharusan) dalam

mengakadkan khalifah —yang berpendapat bahwa selain orang Quraisy tidak boleh menjadi

khalifah— dengan kalangan yang memasukkannya sebagai syarat afdlaliyyah (keutamaan)

semata. Bahkan para mufakkirin kontemporeri semacam Syaikh Abdul Wahhab Khalaf dalam

kitab As-Siyâsah As-Syar’iyyah hal 28 dan Dr. Al-Khurbuthli dalam kitab Al-Islam wal Khilafah

hal. 59, mereka menolak keshahihan hadits tersebut dan menganggapnya tidak jelas asal

usulnya dalam syara’ berdasarkan ketiadaan nash yang shahih yang menunjukkannya.Madzhab

Ahlu Sunnah, seluruh Syi’ah, sebagian kelompok Mu’tazilah, dan sebagian besar kelompok

Murji’ah berpendapat bahwa keturunan Quraisy merupakan syarat in’iqaad khilafah (Imam

Ibnu Hazm, Al-Fashl fil Milal wan Nihal, juz 4, hal. 89; Abul Hasan Al-Asy’ari, Maqalât Al-

Islamiyyîn, juz 2, hal. 134; Muqaddimah Ibnu Khaldun, juz 2, hal. 522-524; dan Al-

Qalqassyandi, Mâtsirul Inâfah fi Ma’âlimil Khilafah, juz 1, hal. 38). Imam Malik berkata:

“Imamah atau kepemimpinan tidak boleh ada kecuali pada Quraisy.” ( Ibnu Arabi, Ahkâmul

Qur’an, juz 4, hal. 1709). Imam Ahmad berkata: “Tidak ada khalifah dari selain Quraisy.

[/i]” (Abu Ya’la al Farrâ’[/b], Al-Ahkam As-Sulthâniyah, hal 20). Mereka berargumentasi

dengan dalil hadits “Para Imam dari Quraisy” dan ijma’ shahabat, sebab Abu Bakar r.a. telah

berdalil dengan sabda Rasulullah Saw: “Para imam dari Quraisy” ketika beradu argumentasi

dengan kaum Anshar dalam perselisihan pendapat tentang masalah imamah. Argumentasi itu

disaksikan oleh para shahabat dan mereka menerimanya sehingga menjadi dalil yang pasti yang

memberikan pengertian persyaratan Quraisy dalam khalifah (lihat Abul Hasan Al-Asy’ari,

Maqalât Al-Islamiyyîn, juz 1, hal. 41; Ibul Arabi, Al-‘Awâshim minal Qawâshim, hal 43; Al-

Mawardi, Al-Ahkâm As-Sulthâniyyah, hal. 5-6; dan Al-Aijî, Al-Mawâqif, juz 8, hal. 350; dan

Abdul Qahir Al-Baghdadi, Al Farqu bainal Firaq, hal. 15).Sedangkan al Khawarij, jumhur

kalangan Mu’tazilah, sebagian Murji’ah, Qadli Abu Bakar Al-Bâqilâni, sebagian kelompok Ghulat

al Imâmiyyah, Ibnu Khaldun, Imam Ibnul Hajar Al-‘Asqalani, dan para ulama kontemporer

berpendapat bahwa nasab Quraisy tergolong syarat afdlaliyyah bukan termasuk syarat in’iqad

(lihat Al-Amidi, Al-Fashl fil Milal wal Ahwâ wan Nihal, juz 4, hal. 89 dan Ghâyatul Maram fi Ilmil

Kalam, hal 383; Ibnu Hajar, Fâth Al-Bârî, juz 16, hal. 237; Muqaddimah Ibnu Khaldun, juz 2, hal.

524; Syaikh Abdul Wahhab Khalaf dalam kitab As-Siyâsah As-Syar’iyyah hal. 27; Dr. Abdul

Hamid Mutawalli, Mabâdi Nizham al Hukm fil Islam, hal. 613; dan Dr. Al Khurbuthli, Al-Islam wal Khilafah, hal. 35).