WANITA DIHINA PADA ZAMAN SEBELUM KEDATANGAN ISLAM.. Pada masa jahiliyah, jauh sebelum kedatangan Islam, kaum pempuan pada berbagai peradaban di dunia tidak lebih dianggap sebagai komoditi, alat pemuas nafsu lelaki yang buas, wanita boleh diperjualbelikan seperti binatang ternakan. WANITA PADA ZAMAN PERADABAN YUNANI DAN ROM Menurut Prof. Will Durant, "Di Peradaban Rom, hanya kaum lelaki saja yang memiliki hak-hak di depan undang-undang pada masa-masa awal negara Republik. Kaum lelaki saja yang berhak membeli, atau menjual sesuatu, atau membuat perjanjian perniagaan. Bahkan mas kawin isterinya -pada masa-masa tersebut- menjadi miliknya peribadi si suami. Apabila isterinya dituduh melakukan suatu perbuatan kejahatan, si suami sendiri yang berhak menghakiminya. Si Suami berhak menjatuhkan hukuman bagi isterinya, mulai dari mencaci maki, mengutuk isteri sampai menghukum mati bagi tindakan perlakuan curang atau tindakan mencuri yang dilakukan isterinya. Terhadap penjagaan anak-anaknya, kaum lelaki memiliki kekuasaan mutlak untuk menjaga anaknya, atau membunuh anaknya, atau menjual anak-anaknya sebagai hamba. Proses kelahiran menjadi suatu perkara yang mendebarkan dalam masyarakat pada zaman di Rom. Jika bayi yang dilahirkan dalam keadaan cacat atau perempuan, sang ayah diperbolehkan oleh adat bangsa Rom untuk membunuhnya." Bahkan para ahli falsafah Yunani tidak memberikan perhatian yang besar terhadap kaum perempuan. Aristotles mengatakan, ".... dengan demikian kita dapat menyimpulkan menurut hukum alam, harus ada unsur yang secara alamiah memerintah dan harus ada unsur yang secara alamiah diperintah.. Kekuasaan orang-orang yang merdeka terhadap para hamba adalah salah satu bentuk hukum alam; demikian pula kekuasaan kaum lelaki ke atas kaum perempuan... Para hamba sama sekali tidak mampu memberikan pertimbangan, sedangkan kaum perempuan memang mampu, tetapi dalam bentuk yang tidak pasti." Orang-orang bangsa Yunani meletakkan kaum perempuan pada kasta ketiga (kasta yang paling bawah) dalam masyarakat. Apabila seorang perempuan melahirkan anak yang cacat, perempuan tersebut biasanya akan dihukum mati. Masyarakat Sparta, yang dikenal sebagai kelompok masyarakat elit bangsa Yunani, melakukan hukuman mati bagi seorang perempuan yang tidak lagi mampu mengasuh anak. Orang-orang Sparta juga biasa mengambil kaum perempuan dari suaminya yang sah untuk dihamili oleh lelaki-lelaki asing yang "Pemberani dan Perkasa" dari masyarakat lain. Orang-orang Yunani pada umumnya menganggap kaum perempuan sebagai makhluk yang tidak ada nilai, yang tidak akan dikasihi oleh para dewa. Ungkapan kasar Hippolytus terhadap kaum perempuan, pada tragedi Euripides menggambarkan bagaimana pandangan masyarakat Yunani pada waktu itu, "Wahai Zeus, apakah engkau kemasukan syaitan ketika menimpakan kemalangan kepada kami dengan mendatangkan kaum perempuan di tengah-tengah kaum lelaki? Apabila engkau benar-benar hendak menyebarluaskan ras manusia, mengapa pula engkau menciptakan kaum perempuan? Alangkah baiknya jika kaum lelaki dapat membeli sendiri benih anak laki-laki mereka, mempersembahkan wang emas, besi, atau gangsa di kuil-kuilmu, dan kaum lelaki dapat hidup bebas tanpa harus meninggalkan para isteri di rumah-rumah." WANITA PADA ZAMAN PERADABAN YAHUDI Kaum Yahudi ortodoks yang mempelajari ajaran klasik Yahudi akan mendapati, bahwa ada di antara ajaran dan aturan Yahudi yang dinilai menindas kaum perempuan. Talmud, sebuah kitab yang berisi aturan-aturan dalam kehidupan peribadi dan peribadatan menyatakan, "Mustahil ada sebuah dunia yang tanpa keberadaan kaum lelaki dan perempuan. Namun demikian, berbahagialah orang-orang yang mempunyai anak laki-laki, dan celakalah orang-orang yang mempunyai anak perempuan." Keunggulan anak-anak lelaki lebih jauh ditunjukkan dalam berbagai adat kebiasaan mereka. Pada saat kelahiran anak lelaki, si orang tua mengundang para tetamu untuk menghadiri upacara “Kiddush”, sebuah acara makan bersama setelah upacara Sabbath, ini merupakan upacara kegembiraan menyambut ahli baru dalam keluarga. Upacara ini langsung tidak ada pada saat kelahiran anak perempuan!! Dalam bidang pendidikan bangsa Yahudi, anak-anak perempuan dianggap tidak layak mendapatkan ilmu pengetahuan yang lebih tinggi daripada pengetahuan berkisar tentang kewajiban-kewajiban yang ditetapkan kitab suci Yahudi bagi kaum perempuan. Ketika seorang anak laki-laki Yahudi mencapai “akil baligh”, sebuah ritual bertajuk “her mitzvah” (anak laki-laki wahyu Tuhan) diadakan untuk merayakan datangnya alam dewasa anak-anak lelaki Yahudi tersebut. Selanjutnya anak laki-laki itu dianggap sebagai seorang laki-laki dewasa yang diperhitungkan dalam mewujudkan suatu “kuorum” (minyan), iaitu jumlah minimal yang dipersyaratkan agar dapat melakukan peribadatan tertentu atau persembahan umum di “sinagog”, dimana harus ada sepuluh lelaki dewasa yang merdeka. Sementara itu, anak-anak perempuan tidak diperhitungkan dalam pembentukan suatu “minyan”. Tidak ada perayaan-perayaan semacam itu bagi anak perempuan. Berbagai kezaliman dan penindasan terhadap perempuan Yahudi juga ditemukan pada aturan-aturan yang berkaitan dengan perceraian. Seorang perempuan bangsa Yahudi sama sekali tidak mempunyai hak untuk meminta cerai. Sekalipun suaminya menghilangkan diri tanpa dapat dikesan, tanpa bukti kematiann suaminya, si isteri tidak dapat kawin lagi sampai bila-bila. Hanya kaum lelaki saja yang mempunyai hak menceraikan isterinya. Banyak di antara kaum lelaki yang menyalahgunakan hak ini dengan jalan meninggalkan isterinya tetapi tidak mahu menceraikannya. Dengan demikian, suami telah berlaku zalim dengan menghukum sang isteri supaya mereka tidak dapat kahwin kembali. Le Bonn, seorang tokoh terkemuka Yahudi ortodoks, secara bersungguh-sungguh pernah berkata, "Atas berkatmu, wahai raja di raja Tuhan kami, Penguasa Alam Semesta, aku tidak terlahir sebagai seorang perempuan." Kezaliman yang nampak jelas terkandung dalam kitab suci dan adat kebiasaan agama Yahudi ini telah menimbulkan berbagai tekanan yang menghendaki terjadinya perubahan. Ideologi Yahudi yang liberal pada zaman akhir-akhir ini telah banyak menghasilkan perubahan dalam ajaran-ajaran Yahudi. Misalnya, kini diperkenalkan sebuah ritual “bam” untuk merayakan datangnya masa “akil baligh” seorang anak perempuan, yang disebut “bar mitzvah”. Dalam pendidikan bangsa Yahudi, meskipun ada aturan “zohar”, yang menetapkan bahwa Taurat hanya diajarkan khusus bagi anak laki-laki, namun pendidikan bagi anak-anak perempuan telah dijadikan sebagai perkara yang penting. Dalam hal perceraian, kini telah terjadi penambahan peraturan baru: sehingga pasangan suami isteri yang hendak bercerai harus menghadap ke Mahkamah terlebih dahulu untuk mendapatkan pengesahan perceraian, baru kemudian mendapatkan status perceraian secara agama Yahudi. WANITA PADA ZAMAN PERADABAN AGAMA HINDU Dalam agama Hindu, perempuan yang sempurna disebut “pativrata”, iaitu seorang isteri yang menyerahkan seluruh hidupnya hanya kepada suaminya. Seorang pativrata secara singkat dapat didefinisikan sebagai "perempuan yang sumpahnya (vista) hanya diberikan kepada suaminya (pati) sahaja." Selama masa hidupnya, seorang perempuan Hindu yang baik adalah perempuan yang menjadikan suaminya sebagai dewa bagi peribadi dirinya; karena, laki-laki yang ditakdirkan menjadi suami seorang perempuan dianggap jauh lebih mulia daripada laki-laki lain. Laki-laki tersebut merupakan inkarnasi (penjelmaan) dalam hukum tertinggi dalam kehidupan seseorang perempuan, sekaligus sebagai ketetapan dan sekumpulan hukum agama Hindu yang bagi isteri wajib patuhi. Setelah menjalani kehidupannya bersama suamiya tanpa ada cacat cela, seorang perempuan Hindu yang baik semestinya meninggal dunia terlebih dahulu dari suaminya. Apabila ajal isteri belum sampai lagi, iaitu seorang isteri tidak meninggal lebih dahulu daripada suami, maka si isteri mengakhiri hidupnya pada masa upacara pembakaran jenazah suaminya dengan cara membunuh diri. Ritual yang mengerikan ini disebut “satee”, yang sampai sekarang masih lagi dilakukan oleh orang-orang Hindu di India. Meskipun ada campurtangan pemerintah untuk menghapuskan amalan ritual agama Hindu ini, namun bagi penganut Hindu yang fanatik, para isteri yang melakukan ritual “satee” ini, akan dipuja dan disanjung tinggi, disembah selayaknya dewi-dewi yang telah memberikan contoh dan teladan yang sempurna sebagai isteri yang rela berkorban bersama-sama si suami (hidup mati bersama). Sebuah buku yang berisi aturan-aturan keagamaan Sanskrit kuno, berjudul “Draramasastra”, memuatkan satu bab tentang "kedudukan dan kewajiban agama kaum perempuan" atau “stridharmapaddhati”. Pengarang (atau lebih tepatnya penyusun) buku ini, Tryambaka, adalah seorang pandit (pendeta) ortodoks yang tinggal di Thanjavur, yang sekarang terletak di bahagian Selatan wilayah Tamil Nadu, India. Aturan tentang kaum perempuan dalam buku tersebut secara umum menempatkan kaum perempuan pada golongan warganegara kelas dua. Sebagai rontoh, seorang isteri tidak mempunyai hak ke atas harta kekayaan suaminya. Harta kekayaan yang dimiliki bersama oleh suami dan isteri hanya boleh dikeluarkan oleh sang suami; boleh dikeluarkan oleh tetapi mesti mendapat izin suaminya. Bahkan, berbagai macam harta benda yang menjadi hak milik perempuan, seperti hadiah dari suaminya atau dari keluarganya, pun hanya boleh dimanfaatkan oleh seorang perempuan bila telah mendapatkan izin dari suaminya (padahal harta benda tersebut milik si isteri). Ada tiga pesan yang dapat diambil daripada buku “Pandit Tryambaka” ini. Pertama,,seorang istri tidak perlu memperhatikan kehidupan peribadinya; kedua, seorang isteri bahkan wajib dengan kerelaannya untuk dijual kepada orang lain apabila suaminya menghendaki; Ketiga, kepatuhan kepada suaminya wajib diutamakan seperti berbanding dengan kewajiban-kewajiban lainnya, termasuk kewajiban-kewajiban agama hindu sekalipun. Pendek kata, aturan-aturan dalam buku itu hanya memuat satu perkara asas, iaitu “kewajiban tertinggi seorang perempuan Hindu adalah kewajiban-kewajiban kepada suaminya”. WANITA PADA ZAMAN ARAB JAHILIYYAH. Sebelum kedatangan Islam, di Jazirah Arab, orang-orang Arab biasa memperlakukan kaum perempuan secara hina. Mengubur bayi-bayi perempuan hidup-hidup setelah mereka dilahirkan merupakan suatu kebiasaan bagi masyarakat arab jahiliyyah. Kaum lelaki terutama para pembesar boleh memiliki sebanyak mungkin isteri sesuka hatinya, dan “isteri-isteri” mereka juga boleh diperlakukan sebagai hamba abdi. Isteri-isterinya yang ramai itu juga dapat diwariskan kepada anak lelakinya sebagaimana mewariskan harta kekayaan apabila sang ayahnya meninggal dunia. Di antara kebiasaan orang-orang Arab adalah ketika seorang lelaki meninggal, maka anak laki-lakinya yang tertua (anak lelaki sulung) atau keluarga dekatnya mempunyai hak untuk "mewarisi" jandanya (atau janda-jandanya) dan mengawini mereka bila dikehendaki (berkahwin ibu atau ibu-ibu tiri). Sebelum dan pada masa hidup Rasulullah Muhammad saw, wilayah Persi dikuasai orang-orang Sassan yang menerapkan aturan-aturan Zoroasterisme. Keyakinan tersebut menuntut kaum perempuan untuk tunduk dan patuh sepenuhnya kepada suaminya. Seorang isteri wajib bersumpah, "Saya tidak akan pernah berhenti -sepanjang hidup saya- untuk mematuhi suami saya." Apabila isteri tidak menepati sumpah tersebut maka dia akan diceraikan. Seseorang isteri sama sekali tidak memiliki hak berpendapat; dan suaminya dapat "meminjamkan" isterinya kepada orang lain untuk mendapatkan bayaran tertentu (dengan kata lain, si suami boleh melacurkan si isteri untuk mendapatkan wang, dan adat ini menjadi kebiasaan bagi masyarakat Parsi). Jika seorang isteri tidak dapat menghasilkan zuriat, maka isteri akan diceraikan, itu pun kalau si isteri tersebut bernasib baik; tetapi kebiasaannya sering terjadi perempuan yang mandul akan dihukum mati!! WANITA PADA ZAMAN PERTENGAHAN EROPAH Britain dan kebanyakan Negara-negara Eropa Tengah berusaha memulihkan diri dari pengaruh penjajahan bangsa Rom yang amat panjang, ketika kemudian datangnya agama Nasrani. Pada saat itu, orang-orang Eropah berada dalam keadaan terpecah belah, sehingga seriang berlaku peperangan di antara suatu bangsa dan di antara kerajaan untuk memperebutkan kekuasaan atas wilayah dan umat manusia. Dalam keadaan seperti itu, kaum perempuan mempunyai peranan yang kecil dan amat terbatas. Ketika cahaya Islam mulai bersinar di tengah zaman kegelapan dan penindasan terhadap kaum perempuan, orang-orang Perancis pada saat yang sama (tahun 586 M) tengah menunjukkan "kemurahan" dan "keberadabannya" dengan mengeluarkan sebuah resolusi. Resolusi yang dikeluarkan setelah melalui pertimbangan dan perdebatan yang sengait di antara pemikir-pemikir mereka itu menyatakan bahwa "perempuan dapat diklasifikasikan sebagai manusia, namun demikian ia diciptakan semata-rnata untuk melayani kaum laki-laki." (macam laa kaum perempuan sebelum Resolusi ini dikatakan sebagai bukan manusia- atau lebih tepat- haiwan!! – dan semata-mata melayan kaum lelaki) WANITA PADA PANDANGAN AGAMA KRISTIAN Perbincangan “wanita pada pandangan petengahan Eropah” dan “wanita pada pandangan agama Kristian” nampak seperti perbincangan yang serupa, karena istilah "agama Kristian" itu mencakup berbagai macam keyakinan dan rangkaian ritual ibadat yang berbeda-beda. Seseorang pengkaji pernah berkata, "Agama Kristian selalu beradaptasi kepada sesuatu yang boleh dipercayai." Fleksibiliti agama Kristian seperti ini menyukarkan perbahasan, karena setiap orang -khususnya penganut Kristian- mudah menyampaikan bantahan terhadap segala yang dikatakan tentang agama Kristian berdasarkan ketetapan atau aturan terbaru yang dikeluarkan Pope di Vertikan, Sinode Gereja Anglikan, atau Mazhab-mazhab Kristian yang lainnya. Ini sama sukarnya seperti seorang pelukis yang berusaha melukis sebuah bukit padang pasir yang terbentuknya berubah-rubah apabila ditiup angin. Begitulah karakteristik alamiah agama Kristian yang banyak mazhab-mazhab baru. Dan perlu diingatkan disini, kerana apa yang dianggap benar dalam salah satu mazhab kristian, misalnya Gereja Anglikan, belum tentu dibenarkan oleh mazhab yang lainnya, seperti Gereja Katolik Rom. Namun demikian, apabila kita meneliti kitab-kitab yang menjadi rujukan agama Kristian/Nasrani, iaitu Bible Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, ataupun karya-karya pendeta-pendeta agamawan kristian yang tersebar di mana-mana, kita akan mendapatkan bukti yang cukup banyak, bahwa kaum perempuan- selama berabad-abad-telah menerima perlakuan yang buruk dari pihak gereja. Menurut Encyclopedia Britannica, "Agama Nasrani tidak menghasilkan sebuah perubahan sosial yang revolusioner dalam hal kedudukan kaum perempuan." Kerana, "sejak awal, pihak gereja telah menempatkan kaum perempuan dalam posisi yang amat rendah. Posisi inilah yang menjadi landasan bagi praktik perceraian; posisi yang secara praktik menempatkan kaum perempuan sebagai hak milik kaum lelaki sepenuhnya." Hal ini sesuai dengan pemyataan dalam Kitab Perjanjian Lama, "yang memandang perkawinan sebagai suatu institusi yang bertujuan utama untuk membentuk sebuah bangunan keluarga, bukan untuk menciptakan kebahagiaan peribadi bagi pasangan masing-masing." Pandangan inilah yang "kuat berpengaruh dalam Agama Nasrani." Ketika "Kerajaan Tuhan" ditegakkan, perkawinan -yang dipahami sebagai sebuah bahagian dari tantanan yang kuno dan telah berlalu- tidak akan ada lagi. Ini berdasarkan kenyataan Bible sendiri yang ada saat ini, "... orang yang beruntung adalah mereka yang tidak kawin atau tidak bersedia dikawini; mereka laksana malaikat-malaikat yang ada di surga." (Markus 12:25). Demikian pula, pernyataan Paul tentang perkawinan dan kaitannya dengan kedatangan Kerajaan Tuhan, "... waktunya amat dekat. Sejak saat ini, mereka yang mempunyai isteri harus menjalani kehidupan sebagaimana jika mereka tidak memilikinya... karena dunia dalam bentuk seperti sekarang ini akan segera berlalu..." (1 Korintian 7:29-30). Orang-orang Kristian terdahulu berkeyakinan bahawa akhir masa akan segera datang. Oleh karena itu, perkawinan dianggap sebagai suatu perkara yang tidak selayaknya dilakukan, karena ia dianggap hanya mendatangkan berbagai persoalan yang tidak ada gunanya. Dinyatakan bahwa, "Aku ingin engkau terbebas dari berbagai persoalan." (1 Korintian 7:32). Mereka menganggap bahwa orang-orang bujang, para duda, atau para janda dinilai lebih baik jika tidak menikah. Membujang merupakan sebuah tuntutan agama Kristian, bukan sahaja bagi para pederi dan biarawan, tetapi juga menjadi kewajiban bagi para pendeta yang semakin ramai jumlahnya. Bible, sebuah kitab yang terbukti secara pasti merupakan hasil karya manusia dan hanya memuatkan sedikit potongan wahyu yang diturunkan Tuhan kepada para Rasul selama kurun waktu berabad-abad (termasuk ayat daripada Taurat, Zabur, dan Injil), berisi berbagai aturan tentang kedudukan kaum perempuan di masyarakat. Sebagai contoh: "Sebagaimana datum jemaah para santo, kaum perempuan harus tetap diam di dalam gereja. Mereka tidak boleh berbicara, melainkan harus bersikap patuh, sebagaimana yang ditetapkan oleh hukum." (1 Korintian 14:33-34). Keyakinan bahwa kaum perempuan adalah makhluk yang kurang berharga telah ditanamkan sejak lahir bagi peradaban kristian. "... Seorang perempuan yang hamil dan melahirkan seorang anak laki-laki, maka ia berada dalam keadaan tidak suci selama tujuh hari. Bila perempuan itu melahirkan seorang anak perempuan, maka ia berada dalam keadaan tidak suci selama dua minggu.." (Leviticus 12:1, 5) "Kemudian Tuhan Raja berkata kepada kaum perempuan, Apa yang telah engkau kerjakan?' Kaum perempuan menjawab, Iblis telah menyesatkan aku, dan aku pun makan." Maka kemudian kepada kaum perempuan, Ia berkata. "Aku akan menambahkan rasa sakit bagimu ketika melahirkan; dengan rasa sakit yang engkau rasakan ketika melahirkan anak. Keinginanmu adalah bagi suamimu, dan dia (suami) akan berkuasa atas dirimu." (Kejadian 3: 13, 16). Paulus berkata, "Pemimpin para perempuan adalah laki-laki . karena laki-laki . . . adalah bayangan dan keagungan Tuhan. Aku tidak membiarkan perempuan mengajar atau merampas kekuasaan dari kaum lelaki, melainkan mereka harus tetap diam." Berdasarkan gambaran Bible tentang Hawa –yaitu sebagai penggoda nafsu kaum lelaki–, maka para pakar teologi Kristian sepanjang sejarah selalu mengaitkan kaum perempuan dengan seksual, dan memandang mereka dengan penuh kecurigaan, rasa segan, dan bahkan rasa takut. Sepanjang sejarah agama Kristian dan Mazhab Gereja Katolik Roma, para pakar teologi, para moralis, dan penganjur kesopanan, selalu melancarkan kritikan yang keras kepada kaum perempuan, dan menilai mereka sebagai orang-orang yang rusak, lemah, penuh nafsu, dan "anak keturunan Hawa" yang jahat, yang harus dijauhi dan dihindari oleh kaum lelaki dengan cara apa pun. Penganjur feminisme pasca-Nasrani, Mary Daly, bersikap keras bahawa karana cerita-cerita yang terdapat dalam Kitab Kejadian ditulis oleh kaum lelaki, sedangkan konsep ketuhanan mereka bersifat androsentrik, maka ia tidak dapat diterapkan oleh kaum perempuan!! Yang “menariknya” adalah, bahwa pada surat keputusan tahun 1988, Paus Paulus ke-II menyatakan keyakinannya jika kaum ibu memiliki peranan yang lebih penting daripada kaum bapa dalam urusan pemeliharaan anak-anak. Tidak ada hubungan antara peranan prokreatif kaum dengan peran sosial sebagai bapa; sedangkan peranan sosial kaum perempuan (ibu) ditentukan oleh peran prokreatif mereka (padahal beratus-ratus tahun lamanya, puak-puak gereja dan masyarakat Kristian sendiri yang merendah-rendahkan dan menghina kaum wanita). WANITA PADA PANDANGAN MASYARAKAT BRITAIN Mari kita lihat apa pandangan Masyarakat Britain yang digembar-gemburkan sebagai “pembawa tamadun kepada dunia” ini terhadap wanita. Undang-undang Britain menetapkan bahwa dalam ikatan perkawinan, seorang perempuan akan kehilangan hak-hak yang dia miliki pada saat dia masih bujang. Seluruh harta kekayaannya berpindah kepada suaminya, sehingga dirinya sendiri dan hartanya berada dalam kekuasaan penuh suaminya. Seorang suami bahkan tidak perlu bertanggung jawab kepada isterinya. Sang isteri tidak dapat mengeluarkan harta miliknya, atau membuat perjanjian perniagaan atas nama dirinya, dan juga tidak dapat menuntut maupun dituntut hartanya. Secara praktiknya, wanita masyarakat Britain yang berkahwin bermaksud “saat kematian hak-hak seorang perempuan”. Sidang Perundangan atas sebuah kes yang terjadi pada tahun 1840 -yang dikutip oleh O'Faolain dan Marlines- memperlihatkan betapa tidak ada harganya seorang perempuan di kalangan masyarakat Britain. "Kesimpulan yang muncul dari kes ini adalah bahwa seorang suami -menurut hukum adat- dalam rangka mencegah isterinya melarikan diri dari dirinya, mempunyai hak untuk mengurung isterinya di rumahnya dan menghalangi kebebasannya, selama kurun waktu yang tidak terbatas… Tidak ada keraguan bahawa suami mempunyai kekuatan hukum dan kekuasaan ke atas isterinya, dan boleh menahan isterinya dengan kekerasan serta boleh memukul isterinya, tetapi tidak secara kejam dan berlebihan." Sampai dengan akhir tahun 1856 M, kaum perempuan di Britain tidak dibolehkan menyimpan pendapatannya, dan juga tidak mempunyai hak waris. Pada tahun itu, kaum perempuan menyampaikan bantahan kepada Parlemen -yang sebahagian besarnya terdiri dari kaum laki-laki- yang berisi tuntutan agar kaum perempuan diperbolehkan menyimpan pendapatannya dan mempunyai hak untuk mewarisi harta. Pada tahun 1857, kaum perempuan yang bercerai mendapatkan hak sebagaimana kaum perempuan yang bujang; sedangkan perempuan yang berkahwin harus menunggu sehingga tahun 1893 untuk mendapatkan hak yang sama!! Sepanjang abad kesembilan belas, kaum perempuan mulai menyadari terbatasnya hak-hak yang mereka miliki di tengah-tengah masyarakat. Menjelang akhir abad tersebut, gerakan-gerakan yang menghendaki perubahan semakin banyak berkembang, dan semakin marak pula gerakan kaum perempuan yang menuntut hak pilihanraya. Selama berabad-abad, hak suara dimonopoli oleh orang-orang yang memiliki kekayaan semata-mata, dan hanya pada pertengahan abad ke-19 keanggotaan parlimen Britain diperluas bagi kaum laki-laki yang berusia lebih dari 21 tahun. Kaum perempuan harus menunggu sehingga tahun 1928 untuk mendapatkan hak bersuara atau hak pilihanraya tersebut. Untuk mendapatkan upah yang setara dengan upah kerja kaum lelaki untuk pekerjaan yang sama perlu waktu yang lebih lama lagi, dan baru diperoleh pada tahun 1975!! Dengan demikian, jelas bahawa Eropah Barat umumnya, Britain khususnya, sangat terlambat dalam menjaga hak-hak bagi kaum perempuan (Kononnya mereka adalah bangsa yang membawa tamadun kepada dunia). Wanita baru mendapatkan hak-haknya setelah beratus-ratus tahun wanita ditindas, diperlakukan seperti haiwan peliharaan oleh masyarakat barat. Keadaan tersebut sangat jauh berbeza dengan landasan moral yang sangat adil terhadap kaum wanita sebagaimana telah disampaikan oleh Islam. WANITA PADA PANDANGAN ISLAM (Bersambunggggg)…..Segala Isu Semasa dijelaskan pada pandangan Islam berdasarkan sumber yang paling rajih...
No comments:
Post a Comment