KONVENSI DAN UNDANG-UNDANG INTERNASIONAL
Persaingan untuk menempati kedudukan negara pertama pada masa dahulu tidak menonjolkan aktivitas politik yang terkait dengan suatu undang-undang internasional, karena undang-undang itu tidak ada. Yang menonjol sejal awal sejarah adalah aktivitas-aktivitas militer dengan jalan perang, pertempuran, dan pengurangan tapal-tapal batas negara. Keadaannya tetap demikian hingga pertengahan abad ke-18 M tatkala terjadi perluasan undang-undang internasional, atau lebih tepatnya, tatkala terwujud tatanan internasional dalam bentuk undang-undang dan hukum.
Sejak saat itu, aktivitas-aktivitas politik menjadi aspek penting dalam hubungan internasional dan pemecahan masalah-masalah internasional. Aktivitas politik kemudian menggantikan posisi aktivitas militer dalam pemecahan masalah, penghentian dominasi negara pertama, dan persaingan untuk merebut kedudukannya. Sejak saat itu banyak terjadi arbitrase (tahkim) dengan menggunakan undang-undang internasional dalam hubungan internasional. Banyak pula aktivitas politik diambil sebagai alat untuk memecahkan masalah internasional, baik aktivitas politik murni, maupun yang disertai berbagai perang dan pertempuran. Hal itu nampak secara jelas setelah tahun 1919 M ketika dibentuk Liga Bangsa-Bangsa (LBB). Banyak terjadi arbitrase dengan undang-undang internasional dan konvensi internasional. Aktivitas politik yang dilakukan oleh negara-negara pada umumnya, dan khususnya oleh negara-negara yang bersaing untuk mendapat kedudukan negara pertama, serta negara pertama itu sendiri, banyak bersandar pada apa yang dinamakan konvensi internasional dan undang-undang internasional. Maka harus ada tinjauan singkat terhadap konvensi dan undang-undang internasional ini, untuk memahami fakta aktivitas politik dan tatacara pelaksanaan aktivitas politik secara internasional.
Mengenai konvensi internasional, ia sudah ada sejak lama mendahului adanya negara, wilayah keamiran, atau institusi. Konvensi internasional adalah sekumpulan prinsip yang lahir akibat adanya hubungan antar komunitas manusia dalam situasi perang dan damai. Sejumlah prinsip itu lalu memperoleh kedudukan yang mantap (established) bagi berbagai negara dan mereka lalu merasa dirinya harus terikat dengan sejumlah konvensi itu secara sukarela. Konvensi itu menjadi mirip dengan undang-undang. Keterikatan ini adalah keterikatan moral, bukan keterikatan fisik. Sejumlah komunitas manusia pun lantas mengikutinya secara sukarela. Mereka pun takut terhadap opini umum. Barangsiapa tidak mengikuti konvensi itu ia akan mendapat kecaman opini umum dan celaan atas perbuatannya itu. Yang dapat dianggap kategori ini --yaitu kategori konvensi internasional-- adalah kesepakatan orang Arab sebelum Islam mengenai larangan perang dalam bulan-bulan haram. Karena itu, kaum Quraisy mengecam Rasulullah SAW ketika pasukan sariyah Abdullah bin Jahsy membunuh Amr bin al-Hadhrami, menawan dua laki-laki Qurasiy, dan mengambil kafilah dagang. Kaum Quraisy mengecam hal itu dan menyerukan di segala tempat bahwa Muhammad dan para sahabatnya telah menghalalkan pembunuhan di bulan-bukan haram serta telah menumpahkan darah, mengambil harta, dan menawan tawanan di bulan-bulan haram itu. Jadi kaum Quraisy telah memanfaatkan opini umum untuk melakukan kecaman itu, karena tindakan pasukan tersebut menyalahi konvensi internasional.
Demikianlah semua komunitas manusia mempunyai berbagai prinsip yang telah diketahui satu sama lain yang mereka ikuti dalam kondisi perang dan damai. Di antaranya adalah pengiriman utusan (atau yang dinamakan dengan duta), masalah rampasan perang, dan sebagainya. Tapi konvensi itu ada yang bersifat umum yang diikuti oleh semua komunitas manusia, seperti pengiriman duta (utusan), dan ada pula yang bersifat khusus untuk komunitas tertentu. Konvensi ini lalu berkembang sesuai kebutuhan berbagai negara, wilayah keamiran, dan institusi. Dengan kata lain, konvensi itu berkembang sesuai kebutuhan komunitas-komunitas manusia dalam hubungan mereka satu sama lain sebagai komunitas. Maka konvensi internasional ini menjadi standar arbitrase antarmanusia atas dasar opini umum. Yang menyalahinya akan mendapat celaan. Negara-negara mengikutinya secara sukarela dan atas dasar pilihannya berdasarkan pengaruh moral, bukan berdasar pengaruh lainnya. Tidak ada satu kekuatan fisik pun yang menerapkannya. Berdasarkan konvensi inilah, berbagai komunitas manusia melakukan aktivitas-aktivitas politiknya.
Adapun apa yang dinamakan undang-undang internasional, ia lahir dan terwujud untuk menentang Daulah Islamiyah yang saat itu termanifestasikan dalam Daulah Utsmaniyah. Itu disebabkan karena Daulah Islamiyah --dalam sifatnya sebagai Daulah Islamiyah-- telah menyerang Eropa, mengumumkan jihad kepada kaum Kristen Eropa, menaklukkan negeri-negeri mereka satu demi satu hingga berhasil melumpuhkan apa yang dinamakan Yunani, Rumania, Albania, Yugoslavia, Hungaria, dan Austria hingga terhenti di pintu gerbang kota Wina. Daulah Utsmaniyah telah membuat ngeri semua orang Kristen Eropa dan terbentuklah satu pandangan umum di kalangan Kristen bahwa pasukan Islam itu tidak terkalahkan, dan bahwa kaum muslimin ketika berperang tidak peduli akan kematian karena aqidah mereka menyatakan mereka akan mendapat surga jika terbunuh, dan juga karena mereka menganut aqidah tentang qadar (taqdir) dan ajal.
Kaum Kristen telah menyaksikan keberanian kaum muslimin dan hebatnya serangan mereka sehingga mereka lari ketika berhadapan dengan kaum muslimin. Ini memudahkan kaum muslimin mengalahkan dan menundukkan berbagai negeri di bawah kekuasaan Islam. Kaum Kristen Eropa pada masa itu hidup dalam wilayah-wilayah keamiran dan tuan tanah (feodal). Wilayah Eropa merupakan negara-negara yang terpecah-pecah, di mana setiap negara terpecah lagi menjadi wilayah-wilayah keamiran, yang masing-masing dikuasai oleh seorang tuan tanah yang telah dibagi-bagi raja dalam kekuasaannya. Ini membuat raja tidak mampu memaksa wilayah-wilayah keamiran ini untuk berperang. Raja juga tak berkuasa pada segala apa yang dinamakan urusan luar negeri di hadapan para penyerangnya. Hal ini memudahkan kaum muslimin untuk menyerang dan menaklukkan mereka.
Keadaan Eropa tetap seperti itu hingga akhir abad pertengahan, yaitu hingga akhir abad ke-16 M. Pada abad ke-16 M yaitu pada abad pertengahan negara-negara Eropa berhimpun untuk membentuk satu keluarga Kristen yang mampu menghadang Daulah Islamiyah. Saat itu pihak gerejalah yang mendominasi Eropa dan agama Kristenlah yang menyatukan Eropa. Karena itu, negara-negara Eropa melakukan upaya-upaya untuk membentuk keluarga Kristen dari sekumpulan negara. Mereka pun menentukan bentuk hubungan di antara mereka.
Muncullah dari situ prinsip-prinsip yang mereka sepakati untuk mengatur hubungan sesama mereka. Itulah awal lahirnya apa yang kemudian dinamakan undang-undang internasional. Jadi asal-usul lahirnya undang-undang internasional adalah bahwa negara-negara Kristen di Eropa berhimbun berdasarkan ikatan Kristen untuk menghentikan Daulah Islamiyah. Inilah yang memunculkan apa yang dinamakan keluarga Kristen internasional dan mereka pun lalu menyepakati prinsip-prinsip tertentu di antara mereka. Di antaranya bahwa negara-negara itu mempunyai hak yang sama, mempunyai prinsip dan cita-cita yang sama, semua negara menyerahkan kekuasan spiritual tertinggi kepada Paus selaku pemimpin Katolik meski negara-negara itu berbeda-beda alirannya. Prinsip-prinsip ini merupakan cikal bakal undang-undang internasional.
Hanya saja perkumpulan negara-negara Kristen pada awalnya tidak mempunyai pengaruh, sebab prinsip-prinsip yang mereka sepakati tidak mampu menyatukan mereka. Ini disebabkan sistem feodalisme terus menjadi penghalang lahirnya kekuatan negara dan tidak memungkinkan negara untuk menjalankan hubungan luar negerinya. Dominasi gereja atas negara menjadikan negara sebagai salah satu pengikut gereja, serta mencabut kedaulatan dan independensi negara.
Karena itu terjadilah konflik dalam negara untuk mengalahkan pemimpin-pemimpin feodal (tuan tanah), dan konflik berakhir dengan kemenangan negara dan terhapusnya sistem feodal. Pada waktu yang sama terjadi pula konflik antara negara dan gereja yang menyebabkan hapusnya kekuasaan gereja dalam urusan-urusan dalam dan luar negeri yang dilakukan negara, setelah sebelumnya gereja mengendalikan urusan-urusan tersebut. Namun demikian negara yang ada tetaplah negara Kristen.
Secara garis besar, terdapat pengaturan hubungan antara negara dan gereja sedemikian rupa sehingga dapat memperkuat independensi negara. Hal ini membawa dampak lahirnya negara-negara kuat di Eropa. Tetapi meski demikian negara-negara itu tetap tidak mampu menghadapi Daulah Islamiyah. Keadaannya tetap seperti itu hingga pertengahan abad ke-17 M, yaitu hingga tahun 1648 M. Pada tahun ini negara-negara Kristen Eropa mengadakan sebuah konferensi, yaitu konferensi Westaphalia. Dalam konferensi ini ditetapkan prinsip-prinsip permanen untuk mengatur hubungan di antara negara-negara Kristen Eropa. Diatur pula keluarga negara-negara Kristen untuk menghadapi Daulah Islamiyah. Konferensi tersebut telah menetapkan prinsip-prinsip tradisional bagi apa yang dinamakan dengan Undang-Undang Internasional.
Tetapi peraturan itu tidak menjadi undang-undang internasional yang berlaku umum, melainkan hanya menjadi undang-undang internasional bagi negara-negara Kristen, bukan yang lain. Undang-undang itu melarang Daulah Islamiyah untuk masuk ke dalam Keluarga Internasional, atau menerapkan undang-undang internasional atas Daulah Islamiyah. Sejak saat itu terwujud apa yang dinamakan Komunitas Internasional. Komunitas ini tersusun dari semua negara Kristen Eropa, tanpa membedakan negara monarki atau negara republik; negara Katolik atau Protestan. Komunitas tersebut pada awalnya terbatas pada negara-negara Eropa Barat. Kemudian ke dalamnya bergabung semua negara Kristen Eropa, lalu mencakup negara-negara Kristen di luar Eropa. Namun komunitas itu tetap terlarang bagi Daulah Islamiyah sampai paruh kedua abad ke-19 M. Saat itulah Daulah Islamiyah berada dalam keadaan goncang dan diberi sebutan "orang sakit" (the sick man). Pada waktu itu Daulah Islamiyah meminta masuk ke dalam Keluarga Internasional tetapi ditolak. Daulah Islamiyah lalu mendesak dengan kuat, lalu diberi syarat-syarat yang keras. Di antaranya adalah tidak berhukum dengan Islam dalam hubungan internasional dan memasukkan sebagian undang-undang Eropa. Daulah Islamiyah menerima dan tunduk dengan syarat-syarat itu. Setelah Daulah Islamiyah menerima syarat-syarat untuk melepaskan diri sebagai Daulah Islamiyah dalam hubungan internasionalnya, barulah permintaan Daulah Islamiyah diterima. Daulah Islamiyah masuk ke dalam Keluarga Internasional pada tahun 1856 M. Kemudian setelah itu masuklah negara-negara non-Kristen ke dalam Keluarga Internasonal seperti Jepang.
Maka dari itu, konferensi Westaphalia yang diselenggarakan tahun 1648 M itu dianggap sebagai konferensi yang mengatur prinsip-prinsip tradisional bagi Undang-Undang Internasional. Berdasarkan prinsip-prinsip ini terwujudlah aktivitas-aktivitas politik secara istimewa, dan terwujud pula aktivitas-aktivitas politik internasional.
Di antara prinsip-prinsip yang menonjol adalah dua ide berikut : Pertama, ide keseimbangan internasional. Kedua, ide konferensi internasional. Ide keseimbangan internasional, adalah ide yang menetapkan bahwa jika salah satu negara mencoba melakukan ekspansi dengan mengorbankan negara lain, maka seluruh negara akan berkumpul untuk menghalangi terjadinya ekspansi itu dan menjaga keseimbangan internasional yang memadai untuk mencegah perang dan menyebarkan perdamaian. Sedang ide konferensi internasional, menyatakan bahwa konferensi akan terbentuk dari berbagai negara Eropa dan diadakan guna membahas problem-problem mereka dan berbagai urusan mereka dalam naungan kepentingan Eropa. Ide ini lalu berkembang menjadi konferensi negara-negara adidaya yang diselenggarakan untuk mempertimbangkan urusan-urusan dunia dalam rangka mewujudkan kepentingan negara-negara adidaya. Dua ide tersebut menjadi biang keladi dari berbagai penderitaan dunia, yaitu problem-problem yang dihadapi dunia untuk melepaskan diri dari kekuasaan negara-negara penjajah dan negara adidaya.
Kedua ide ini diimplementasikan pertama kalinya pada masa Napoleon pada awal abad ke-19. Ketika terjadi Revolusi Perancis dan tersebar ide yang berpangkal pada kebebasan dan persamaan, pengakuan hak-hak individu dan bangsa, dua ide tersebut mampu mengubah peta politik Eropa, melahirkan negarea-negara baru, dan menghapuskan negara-negara lama. Pada saat itu negara-negara Eropa berkelompok dengan dalih keseimbangan internasional. Negara-negara Eropa pun lalu mengeroyok Perancis. Setelah Napoleon dikalahkan, negera-negara Eropa berkumpul dalam Konferensi Wina tahun 1815. Mereka mempertimbangkan untuk mengembalikan keseimbangan dan menata berbagai urusan keluarga Kristen internasional. Maka dikembalikanlah kepemilikan Rusia dan Austria, didirikan kesatuan federasi antara Swedia dan Norwegia, Belgia digabungkan dengan Belanda untuk menjadi satu negara guna menghalangi ekspansi Perancis. Sementara itu Swiss diletakkan dalam posisi netral selamanya. Untuk menerapkan keputusan-keputusan ini negara-negara yang berserikat mengadakan konperensi persekutuan di antara mereka. Ini terwujud dalam pakta antara raja-raja Prusia, Rusia, dan Austria, dengan pesetujuan Raja Inggris, kemudian Perancis pun digabungkan ke dalamnya. Artinya ini adalah koalisi atau persekutuan negara-negara adidaya untuk menguasasi negara-negara lain.
Lalu pada tahun 1818 diadakan perjanjian Aix-la-Chapelle antara Rusia, Inggris, Prusia, Austria, dan Perancis yang menyepakati untuk melakukan intervensi bersenjata guna mencegah revolusi militer mana pun yang mengancam hasil-hasil yang dicapai dalam Konferensi Wina. Demikianlah, lima negara adidaya itu telah menjadikan dirinya sendiri sebagai institusi penjaga bagi keamanan dan tatanan dalam Komunitas Internasional, yaitu dalam keluarga Kristen Internasional. Kemudian kekuasaannya meluas sehingga mencakup sebagian negeri-negeri Islam setelah lemahnya Daulah Utsmaniyah. Negara-negara adidaya tersebut telah melakukan sejumlah intervensi dengan dalih menjaga perdamaian. Mereka telah mengintervensi Spanyol tahun 1827, Portugal tahun 1826, dan Mesir tahun 1840. Negara-negara adidaya tersebut juga mencoba melakukan intervensi ke AS. Mereka berupaya membantu Spanyol untuk menarik kembali jajahannya di AS. Tapi, AS yang telah menjadi sebuah negara yang kuat yang harus diperhitungkan, menghalangi usaha tersebut. Presiden AS saat itu James Monroe mengeluarkan doktrinnya yang terkenal dan dikenal dengan Doktrin Monroe tahun 1823. Doktrin Monroe itu menyatakan,”Sesungguhnya AS tidak akan mentolerir negara Eropa mana pun untuk mengintervensi urusan-urusan Benua Amerika dan untuk menduduki bagian manapun dari benua itu.” Maka negara-negara Eropa tersebut tidak jadi melakukan intervensi.
Itulah asal usul Undang-Undang Internasional. Dan itulah pula yang menimbulkan justifikasi-justifikasi untuk melakukan intervensi dan memberikan peluang kepada negara-negara adidaya untuk mendominasi negara-negara lain. Itulah pula yang menjadi sandaran aktivitas-aktivitas politik yang dilakukan oleh berbagai negara untuk memenuhi kepentingannya, atau untuk menyaingi negara pertama.
Akan tetapi, prinsip-prinsip internasional ini telah mengalami sedikit perubahan, meski perubahan itu tetap demi kepentingan negara-negara adidaya dalam rangka untuk mengatur ambisi-ambisi mereka. Atau dengan kata lain, untuk membagi-bagi keuntungan dunia di antara mereka sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan perang dan konflik bersenjata. Sesungguhnya abad ke-19 adalah abad penjajahan, maka negara-negara adidaya tersebut terdorong untuk terjun ke dunia dan menjajah negeri-negeri yang lemah. Dari penjajahan ini muncul konflik yang tidak sampai pada batas perang besar.
Tetapi, ketika Inggris, Perancis, dan Rusia dengan jelas melihat bahwa Jerman dengan kekuatannya yang besar telah mengancam mereka dan akan mengambil minyak negeri-negeri Islam di Irak, serta mengancam Inggris merngenai minyak Iran dan Jazirah Arab, ketiganya sepakat untuk menentang Jerman dan mengumumkan perang melawan Jerman. Daulah Utsmaniyah masuk dalam peperangan ini di pihak Jerman untuk melawan Sekutu. Kemenangan akhirnya ada di pihak Sekutu. Tetapi Rusia keluar dari persekutuan ini dan yang tetap tinggal adalah Inggris, Perancis, dan AS.
Adapun AS, ia lalu kembali menuju isolasinya sehingga kancah internasional hanya diiisi oleh Inggris dan Perancis. Dua negara ini telah mengatur masalah penjajahan di antara mereka berdua. Mereka mencegah adanya pesaing bersenjata dengan membentuk Liga Bangsa-Bangsa (LBB). Ini untuk mengatur urusan-urusan berbagai negara dan mencegah perang di antara mereka. Namun demikian, LBB yang lahir dalam iklim paradoks yang aneh itu akhirnya mengalami kegagalan. Sebab politik negara-negara adidaya tidak berubah. Ambisi masing-masing dalam konferensi damai adalah mewujudkan keseimbangan di antara kekuatan yang berbeda-beda, menjaga kepentingannya, dan membagi-bagi bekas kepemilikan Jerman dan Daulah Utsmaniyah. Jadi negara-negara penjajah itu tidak menerima gesekan apapun terhadap kedaulatan mereka dan terus menjaga jajahan-jajahannya, serta menambah jenis jajahan baru yang dinamai secara tipu-tipu dengan nama “negara-negara di bawah mandat”.
Di antara pengaruh kondisi ini adalah gagalnya LBB dalam upayanya untuk membuat harmoni internasional dan mengembalikan keamanan. LBB telah berupaya mengadakan kesepakatan-kesepakatan internasional untuk menjamin perdamaian, yakni menjamin tidak adanya pesaing terhadap negara-negara adidaya memperebutkan negara jajahan. Maka dibuatlah di bawah pengawasan LBB itu, Protokolat Jenewa tahun 1924. Tujuannya adalah untuk meredakan konflik dengan cara-cara damai dan memaksa melakukan arbitrase yang bersifat mengikat. Ditetapkanlah perjanjian Locarno tahun 1925. Kesepakatan ini memutuskan saling memberikan jaminan dan bantuan-bantuan bersama. Ditetapkan pula Piagam Briand-Kelogg tahun 1928 yang melarang mencari penyelesaian dengan perang, juga Piagam Jenewa tahun 1928 yang bersifat khusus mengenai arbitrase yang mengikat. Tetapi semua kesepakatan itu tidak mampu mencegah kegagalan LBB dalam misinya. Di hadapan telinga dan mata LBB, berkecamuk beberapa perang. Di antaranya Perang Cina-Jepang (1933), Perang Italia-Ethiopia (1936), invasi Jerman atas Austria (1938), invasi Jerman atas Chekoslovakia (1938), lalu invasi Jerman atas Polandia (1939), hingga meletusnya Perang Dunia II (1939).
Itulah perubahan yang terjadi pada hubungan internasional. Konferensi-konfrensi telah berubah menjadi sebuah badan internasional yang berdiri untuk menjaga keamanan internasional. Tapi perubahan ini tidak mengubah apa-apa. Negara-negara adidaya tetap saling berkompetisi untuk merebut harta rampasan perang hingga terjadinya Perang Dunia II. Setelah Perang Dunia II negara-negara adidaya melihat bahwa pembentukan sebuah badan internasional merupakan cara terbaik untuk mengatur hubungan antaranegara. Badan ini pada awalnya didirikan untuk negara-negara yang terlibat dalam perang. Kemudian negara-negara adidaya itu memperluasnya dan menjadikannya sebagai badan internasional yang memberi kesempatan kepada semua negara di dunia untuk bergabung ke dalamnya. Badan ini lalu menata hubungan internasional dengan piagam badan ini.
Dengan demikian hubungan internasional telah berubah. Semula bentuknya adalah konferensi negara-negara adidaya untuk menguasai dunia, membagi harta rampasan perang di antara mereka, dan mencegah munculnya sebuah negara adidaya yang lain. Kemudian ini berubah menjadi terbentuknya sebuah badan internasional untuk mengatur hubungan di antara mereka, menjamin dominasi negara-negara adidaya, lalu menjadi sebuah badan internasional yang mengatur dan mendominasi urusan-urusan berbagai negara di dunia.
Sesungguhnya posisi internasional setelah Konferensi Wina tahun 1815 termanifestasi dalam empat negara adidaya : Prusia, Rusia, Austria, dan Inggris. Tatkala Perancis berusaha menyaingi negara-negara tersebut dalam kedudukannya, mengubah peta dunia dan posisi internasional serta menjadi negara pertama, negara-negara adidaya lainnya pun mengeroyok Perancis dan menghancurkan ambisi-ambisinya, lalu berserikat dengan Perancis untuk menguasai dunia. Posisi internasional menjadi termanifestasi pada lima negara ini. Sedikit demi sedikit Inggris mulai menonjol dan menjadi negara pertama. Dan ketika Jerman mencoba menyaingi negara pertama dan menguasai minyak negeri-negeri Islam, maka Inggris, Perancis, dan Prusia pun bersepakat untuk melawan dan memerangi Jerman serta menghancurkan ambisi-ambisinya. Mereka pun lalu menjajah sendirian lebih banyak lagi dari bagian dunia ini. Inggris merupakan negara yang paling banyak jajahannya, sedang Perancis hanya sedikit. Inggris memberikan sebagian jajahannya kepada Perancis.
Posisi internasional kemudian terwujud pada Inggris dan Perancis, serta Italia. Tapi Inggris tetap menjadi negara pertama. Lalu terbentuklah Liga Bangsa-Bangsa (LBB). Tujuan sebenarnya dari pendirian LBB adalah mempertahankan posisi negara pertama dan mencegah negara-negara lain untuk menyainginya dan mencegah negara-negara lain untuk menjadi negara adidaya, meskipun LBB dibentuk dengan dalih menjaga perdamaian dunia. Ketika Jerman sekali lagi mencoba menyaingi negara pertama dan menjadi negara pertama, maka Inggris dan Perancis pada awalnya, lalu berikutnya Inggris, Perancis, Rusia, dan AS, mengobarkan Perang Dunia II terhadap Jerman hingga berhasil menghancurkan Jerman.
Tetapi hasil perang kali ini ternyata justru mengancam kedudukan Inggris. Dari perang itu keluarlah kekuatan yang dahsyat. Negara yang keluar sebagai pemenang adalah AS. Karena itu kekuatan internasional berpindah dari tangan Ingris ke tangan AS, dan AS pun menjadi negara pertama. Posisi internasional lalu termanifestasi dalam realitas berikut : AS adalah negara pertama, Uni Soviet merupakan negara yang menyaingi AS, kemudian Inggris dan Perancis merupakan negara pada level kedua, yaitu dua negara sekunder (nomor dua) dalam posisi internasional.
Namun kemudian dalam posisi internasional setelah Perang Dunia II ini muncul faktor baru, yaitu terbaginya dunia secara internasional menjadi dua blok. Ini meningkatkan suhu politik internasional dan memperumit posisi internasional. Posisi internasional ini dalam bentuknya yang kontemporer belum pernah ada sebelumnya. Memang benar posisi internasional sebelum Perang Dunia II tersusun dari kelompok-kelompok. Tetapi kelompok-kelompok itu bukan merupakan blok-blok. Sebelum Perang Dunia II posisi internasional terbagi menjadi front negara-negara demokratis dan front negara-negara Nazisme dan Fasisme. Kendati pun demikian pembagian tersebut bukanlah pembagian dalam bentuk blok-blok ideologis, sebab Nazisme dan Fasisme bukanlah ideologi dan tidak sampai pada level ideologi. Maka dari itu sebelum Perang Dunia II tidak terdapat blok-blok dalam arti ideologis. Adapun setelah Perang Dunia II dunia terbagi secara internasional menjadi dua blok : Blok Barat dan Blok Timur. AS dianggap sebagai negara pertama dalam Blok Barat, sedang Rusia (Uni Soviet) sebagai negara pertama di Blok Timur.
Meski dua blok berseteru atas dasar ideologi dan bersaing untuk meraih kepentingan-kepentingan yang saling berlawanan di antara keduanya, tapi kedua blok itu bergerak secara internasional. Sebab bukan ideologi satu-satunya yang yang menjadi basis pembagian menjadi dua blok, melainkan juga disertai kepentingan-kepentingan internasional. Namun kepentingan-kepentingan ini di Blok Timur berjalan sesuai ideologi komunisme dan sesuai tuntutan-tuntutan yang menjadi keharusan dalam penyebaran komunisme. Sedang di Blok Barat, kepentingan-kepentingan itu berjalan sesuai politik penyebaran ideologi dan sesuai dengan kepentingan nasional dan tanah air, berdasarkan ideologi kapitalisme yang menjadikan asas manfaat (an-naf’iyah, pragmatisme) sebagai tolok ukur untuk seluruh aktivitas dalam kehidupan.
Karena itu, Anda akan melihat di Blok Barat ada negara-negara yang tidak berideologi kapitalisme, tetapi kepentingan negara-negara itu terikat dengan kepentingan Blok Barat. Fakta seperti ini tidak ada dalam Blok Timur. Oleh karenanya, negara-negara Blok Timur semuanya negara komunis, dari Blok Timur itu sendiri. Dalam blok ini tidak ada negara yang non-komunis. Sebab basisnya adalah ideologi. Sementara Blok Barat mengalami fragmentasi. Maka dimungkinkan muncul celah-celah di Blok Barat. Dimungkinkan pula mengeluarkan negara-negara dari Blok Barat untuk masuk Blok Timur dan membentuk blok baru yang berasal dari Blok Barat di luar dua blok yang ada, yang akan berposisi sebagai kesatuan yang mempunyai pengaruh terhadap posisi internasional baik dalam keadaan damai maupun perang.
Mereka yang mencermati Blok Barat akan mendapati bahwa dalam blok tersebut ada fragmentasi internal sebagai akibat naiknya posisi AS pada kedudukan negara pertama. Sebelumnya kedudukan ini adalah milik Inggris, sementara saat itu AS masih berada dalam keadaan terisolasi dari posisi internasional. Fragmentasi ini adalah hal yang jelas, bukan tersembunyi. Inilah yang menunda terjadinya perang dunia.
Negara pertama dalam politik internasional tidaklah menempuh cara sebagai pemimpin blok (za’imah al-mu’askar), sebagaimana keadaan Inggris ketika ia menjadi negara pertama, melainkan akan menempuh cara sebagai komandan blok (qa’idah al-mu’askar). Komandan blok ini memaksakan kepemimpinannya atas prajuritnya secara paksa. Karena itu, negara-negara blok Barat yang level kekuatannya mendekati negara pertama seperti Inggris, lebih dengki dan membangkang daripada negara-negara yang lemah. Rahasia di balik fakta ini terpulang pada politik AS sendiri. Sebab setelah meraih kemenangan dalam Perang Dunia II, AS bertekad untuk mencabut kedaulatan dari semua negara, sebagaimana AS juga bertekad untuk memaksakan kedaulatannya atas dunia. AS juga bersikap arogan setelah dia merasakan kekuatan dan besarnya kekayaannya, sehingga AS melihat dirinya harus memimpin seluruh dunia dan bahwa berbagai bangsa dan negara harus meminta bantuan dan restunya. Maka dari itu, AS memerangi Eropa dengan aktivitas politik dan rencana keuangan kemudian setelah itu menyerang Eropa dengan membuat revolusi-revolusi militer di jajahan-jajahan Eropa, terutama Inggris yang sebelumnya merupakan negara pertama dan negara yang paling banyak jajahannya. Setelah Inggris, yang paling banyak jajahannya adalah Perancis dan Belanda. Alih-alih menyerang negara-negara jajahan, AS menyerang negara-negara penjajahnya itu sendiri dengan rencana Marshal (Marshall Plan) serta dengan bantuan dan utang. Hingga ketika AS sudah merasa mantap posisinya di negara-negara penjajah, AS mengarahkan kebijakannya kepada negara-negara jajahan dan menggabungkanhya ke dalam dominasinya sedikit demi sedikit sampai AS berhasil mengambil seluruh jajahan. Namun cara yang ditempuhnya berbeda dengan cara yang digunakan AS untuk menyerang negara-negara Eropa.
Dengan demikian, telah terjadi perselisihan di antara negara-negara Blok Barat. Perselisihan ini bukan hal baru, melainkan sudah lama. Perselisihan di Blok Barat ini mulai terjadi sebelum Perang Dunia II, tetapi itu bukan merupakan perselisihan dalam satu blok, tapi perselisihan dalam urusan ekonomi di antara dua negara, lalu berubah menjadi perselisihan politik dalam satu blok. Perselisihan ini terpulang pada problem-problem ekonomi yang ada, terutama kesepakatan-kesepakatan yang berkaitan dengan persoalan ekonomi antara Inggris dan AS. Kebutuhan Inggris akan dukungan AS terhadapnya menimbulkan perselisihan di antara dua negara itu, yang selanjutnya memicu perselisihan pula di antara negara-negara Blok Barat. Hal itu karena Inggris setelah mantap kedudukannya dalam posisi internasional sebagai negara pertama, Inggris disaingi oleh Perancis. Persaingan ini nampak nyata. Inggris berusaha untuk melemahkan Perancis dengan cara memperkuat Jerman di satu sisi. Sementara di sisi lain Inggris memprovokasi gerakan-gerakan patriotik dan nasionalis di negara-negara jajahan Perancis. Hal ini menimbulkan problem-problem bagi Perancis dan juga membuatnya sibuk untuk berupaya menghindarkan diri dari bahaya Jerman.
Namun di posisi intenasional pada saat itu tumbuh kekuatan Italia, dan nampak kekuatan Jerman telah mengancam posisi Inggris dan Perancis secara bersamaan. Muncul pula poros Roma-Berlin. Maka Inggris merasa harus membuat AS keluar dari isolasinya dan merangsang keserakahan AS terhadap minyak Timur Tengah. Terjadilah kesepakatan-kesepakatan seputar minyak.
Setelah AS mulai meneliti masalah minyak, perusahaan-perusahaan minyak AS mulai menyadari nilai minyak Timur Tengah. Bukan hanya nilai berupa keuntungan ekonomi semata, melainkan juga nilai untuk eksistensi AS itu sendiri. Maka dari itu perusahaan-perushaan AS mulai merebut sumur-sumur dan konsesi-konsesi minyak dari perusahaan-perusahaan Inggris dan mengungguli mereka. Lahirlah persaingan antara perusahaan Inggris dan AS. Dengan keluarnya perusahaan AS ke Timur Tengah, keluar pula AS dari isolasinya. Lalu meletuslah Perang Dunia II dan AS berpindah pada kedudukan negara nomor satu dalam imperialisme. Sementara Inggris, Perancis, dan Belanda jatuh kedudukannya.
Adapun Belanda, karena mengalami kelemahan akhirnya eksistensinya hilang. Sedang Inggris mengalami penurunan sebagian pengaruhnya di Timur Tengah dan di Laut Putih Tengah. Pengaruh Inggris juga melemah di sebagian negara-negara kecil. Ini semua menjadikan posisi Inggris secara internasional merosot menuju posisinya yang terendah. AS terus berusaha menghapuskan pengaruh Inggris di seluruh dunia. Sedang Perancis, setelah jajahan-jajahannya di Timur Jauh dan Afrika lepas, kondisinya menjadi lemah meskipun De Gaulle berupaya untuk membangkitkannya dan mengembalikan pengaruh Perancis di kancah internasional. Tapi itu semua tidak mampu mengembalikan Perancis ke kancah internasional sebagaimana sebelumnya, meski pun Perancis tetap dianggap sebagai negara adidaya.
Dari semua pejelasan di atas jelaslah bahwa terbagi-baginya dan terpecah-pecahnya Blok Barat setelah Perang Dunia II dan sepanjang Perang Dingin, telah melemahkan semua negara dalam blok itu, kecuali AS. Sebab AS telah melumpuhkan kekuatan negara-negara tersebut dengan cara mengambil jajahan-jajahannya, selain AS sendiri juga mempunyai kekuatan dan pengaruh. AS tetap menjadi negara pertama dan tetap kuat kedudukannya. Namun Inggris dalam beberapa waktu melakukan manuver-manuver politik dan aksi-aksi politik untuk mempengaruhi posisi sekutunya, yaitu AS, dan untuk menyainginya dalam posisi AS sebagai negara pertama. Namun kemudian Ingris hanya berupaya untuk menjaga kepentingan-kepentingannya tanpa berusaha mempengaruhi kedudukan sekutunya (AS) setelah Inggris tahu benar kadar kelemahannya dan mengalami penurunan kekuatan. Apalagi untuk menghadapi sebuah negara raksasa dengan kekuatan militer dan ekonominya seperti AS. Maka dari itu, Blok Barat sebagai satu kesatuan, sebenarnya terpecah-pecah dan saling berkompetisi satu sama lain. Ini menyebabkan terjadinya perselisihan, perbedaan pandangan di antara semua negaranya, perlombaan di antara mereka untuk meraih keuntungan, dan saling melakukan tipu daya satu sama lain (BERSAMBUNG).
Politikus Duniawi
-
Politikus Duniawi. ———————- Jangan kau percaya politikus duniawi Untuk
membela nasib walangmu. Setiap simpati dan keprihatian yang dia tunjukkan
Bukan seja...
5 years ago
No comments:
Post a Comment