POSISI INTERNASIONAL
Memahami posisi internasional (al-mauqif al-duali) berbeda dengan memahami politik setiap negara. Sebab memahami politik setiap negara yang berpengaruh ada kaitannya dengan pemahaman konsep dan metode yang menjadi asas politik negara, seperti yang kami jelaskan sebelumnya. Sedang posisi internasional –yaitu struktur hubungan-hubungan internasional yang berpengaruh, atau keadaan yang melingkupi negara pertama dan negara-negara yang bersaing dengannya-- tidak berkaitan dengan konsep dan metode politik, tapi berkaitan dengan hubungan internasional dan persaingan permanen antarnegara untuk meraih kedudukan negara pertama dan untuk mempengaruhi politik internasional. Oleh karena itu, posisi internasional harus dipahami dengan baik.
Tapi harus menjadi kejelasan, bahwa posisi internasional tidaklah tetap, melainkan berubah-ubah dan berganti sesuai situasi, kondisi, dan peristiwa dunia. Kendati demikiran, dimungkinkan untuk memberi gambaran jelas tentangnya, memberikan garis-garis besarnya, dan memberikan rincian keadaan-keadaannya. Namun semua itu hanya menunjukkan keadaan posisi internasional yang nampak saat dideskripsikan, sehingga deskripsi itu cocok dengan fakta yang ada. Ketika posisi internasional telah berubah, bukan berarti deskripsi yang diberikan itu tidak benar, melainkan hanya merupakan deskripsi sesuatu yang ada kemudian lenyap, sehingga deksripsi itu lalu menjadi salah satu bagian sejarah. Maka harus diberikan deskripsi atas fakta yang sedang berjalan, yaitu posisi internasional yang baru.
Atas dasar itu, deskripsi yang hendak kami paparkan dengan melukiskan gambaran posisi internasional, atau memberikan garis-garis besarnya, atau menyinggung rincian-rinciannya, hanyalah deskripsi tentang fakta yang telah terjadi sebelumnya, atau yang sedang terjadi sekarang, atau yang diprediksikan akan terjadi di masa datang. Meski demikian, penjelasan itu tidak dianggap sebagai sesuatu yang tetap. Karenanya seorang politisi harus mempunyai informasi-informasi terdahulu tentang posisi internasional dan politik intenasional, lalu mengaitkannya dengan apa yang dia saksikan, hingga dia memperoleh kejelasan mengenai segala sesuatunya dan dapat memberikan penilaian terhadapnya.
Memahami posisi internasional menuntut kaum muslimin untuk mengetahui kedudukan negara pertama (al-daulah al-ula) di dunia dan kedudukan negara-negara lain terhadap negara pertama itu dan politik internasional. Juga menuntut kaum muslimin untuk mengetahui kedudukan negara pengikut (al-daulah al-tabi’ah), negara satelit (al-daulah allati fi al-falak), dan negara independen (al-daulah al-mustaqillah).
Negara pengikut adalah negara yang terikat dengan negara lain dalam politik luar negerinya dan sebagian masalah dalam negerinya. Misalnya, Mesir terhadap AS, Kazakhstan (saat ini) terhadap Rusia. Adapun negara satelit adalah negara yang politik luar negerinya terikat dengan negara lain dalam ikatan kepentingan, bukan dalam ikatan sebagai pengikut. Misalnya Jepang terhadap AS; Australia terhadap AS dan Inggris; Kanada terhadap AS, Inggris, dan Perancis; dan Turki (saat ini) terhadap Inggris dan AS. Sedang negara independen, adalah negara yang mengelola politik dalam dan luar negerinya sesuai kehendaknya sendiri atas dasar kepentingannya sendiri. Misalnya Perancis, Cina, dan Rusia.
Ada beberapa kondisi yang tidak termasuk politik internasional, tapi hanya peristiwa-peristiwa yang muncul akibat keluarnya negara-negara penjajah dari negeri-negeri jajahannya. Keadaan seperti ini dan yang semisalnya tidak dibahas dalam politik internasional dan tidak pula perlu diberikan garis-garis besarnya. Kondisi ini cukup dikaji faktanya dan diberi penilaian. Misalnya, keadaan Irak setelah keluarnya Inggris dari Irak, terjadinya Revolusi 14 Juli 1958, dan dibatalkannya semua pakta dan komitmen. Irak lalu menjadi negara independen secara internasional, seperti halnya Perancis, Inggris, dan negara independen mana pun. Tapi karena penguasanya saat itu adalah agen AS, maka Irak secara faktual merupakan negara pengikut AS meski secara internasional merupakan negara independen. Tapi setelah Revolusi 17 Juli 1968 dan penguasanya adalah agen-agen Inggris, Irak menjadi negara pengikut Inggris.
Jadi, pada saat penguasa negara independen menjadi agen, atau kekuasaannnya dikendalikan oleh seorang agen, negara independen itu akan menjadi negara pengikut bagi negara tertentu yang diikuti oleh penguasa negara independen itu.
Demikianlah kondisi semua negara yang dulunya dijajah. Semuanya mengalami kondisi seperti ini. Negara-negara itu berpindah-pindah dari satu tangan ke tangan lain sesuai dengan pergantian penguasanya. Negara-negara semacam ini secara internasional adalah negara independen dalam penampilan lahiriahnya. Tapi dari segi realitas hakikinya, dia adalah negara pengikut. Hanya saja ini adalah kondisi khusus akibat kemerdekaan negara-negara terjajah dari penjajahan dan akibat upaya negara-negara penjajah yang ingin kembali ke negeri jajahannya, atau akibat upaya negara penjajah lain untuk menggantikan posisi negara penjajah lama yang keluar dari negeri jajahannya.
Yang pasti harus diketahui adalah kedudukan negara pertama (nomor satu) di dunia. Sebab kedudukan itu sangat strategis untuk memahami politik internasional dan posisi internasional. Dalam kondisi damai, negara pertama dalam posisi internasional dianggap pembuat kebijakan secara internasional. Selain itu, yang juga menjadi pembuat kebijakan setelah negara pertama adalah negara kedua dan negara mana pun yang mempunyai kemampuan mempengaruhi perpolitikan dunia.
Kemampuan mempengaruhi negara-negara lain hanya dimiliki oleh negara-negara yang mempunyai bobot untuk mempengaruhi negara pertama. Kekuatan pengaruh ini berbeda-beda tingkatannya sesuai dengan tingkat perbedaan masing-masing negara dalam hal kekuatannya sendiri dan kekuatannya secara internasional. Kadar kekuatan negara, dan sejauh mana bobot internasionalnya, bergantung pada kadar pengaruhnya terhadap negara pertama dan selanjutnya bergantung pada politik dunia dari segi internasional.
Contoh paling jelas mengenai upaya suatu negara untuk mempengaruhi negara pertama, dan selanjutnya politik dunia, adalah upaya Inggris belakangan ini (2004). Pengaruh Inggris dalam politik dunia secara internasional, bersumber dari sebagian pengaruhnya terhadap AS –sebagai negara pertama di dunia— juga dari pengaruhnya yang secara kontinyu masih ada terhadap negara-negara bekas jajahannya. Demikian pula Rusia, Perancis, dan Jerman. Setelah perang AS terhadap Irak, semua negara tersebut bersama-sama berusaha menciptakan semacam pengaruh terhadap negara pertama dan selanjutnya terhadap politik dunia secara internasional.
Adapun contoh negara yang tidak mampu mempengaruhi negara pertama, yang konsekuensinya juga tidak mampu mempengaruhi politik dunia, misalnya negara pengikut. Sebab negara pengikut tidak mempunyai pengaruh terhadap negara pertama, kecuali dalam kadar pemanfaatan oleh negara yang diikuti atas negara pengikutnya. Negara-negara satelit juga seperti itu, sebab kekuatannya bersumber dari negara adidaya yang diedari oleh negara satelit itu dalam orbitnya.
Negara-negara lain yang bukan negara pengikut dan bukan pula negara satelit, yaitu negara independen, seperti Swiss, Spanyol, Belanda, Italia, dan Swedia, mampu mempengaruhi politik dunia secara internasional, jika mereka mengamankan atau mengancam kepentingan negara pertama. Contohnya, Italia dan Spanyol yang mengamankan kepentingan strategis AS dengan jalan mendukung AS dalam pendudukannya di Irak tahun 2003.
Oleh karena itu, wajib atas negara mana pun yang hendak mempengaruhi politik dunia dan memanfaatkannya demi kepentingannya, agar menempuh salah satu dari dua jalan; yaitu mengancam kepentingan riil negara pertama dalam posisi internasionalnya secara sungguh-sungguh, atau mengamankan kepentingan-kepentingan negara pertama itu dengan jalan melakukan tawar-menawar untuk meraih kepentingannya.
Memberikan ancaman yang berpengaruh dan efektif, adalah jalan yang pasti akan produktif, yang merupakan jalan elegan bagi negara yang benar yang bertekad agar pengaruhnya terjamin dan suaranya didengar dalam posisi internasional. Sedang jalan kedua yang tujuannya mengamankan kepentingan negara adidaya, adalah jalan yang gelap, tidak aman dari ketergeliciran, yang kadang mengantarkan pada tujuan dan kadang menjerumuskan pada kehancuran. Menempuh jalan itu berarti memperjudikan institusi umat dan merupakan spekulasi orang yang bodoh akan nasib umat. Sebab tindakan negara mana pun untuk mengamankan kepentingan negara besar, tidak akan membuat negara besar itu segan melakukan tawar-menawar kepentingan dengan negara mana pun yang lebih rendah kedudukan atau potensinya.
AS pada tahun 2003 telah melakukan tawar-menawar dengan sekutu-sekutu tradisionalnya dari negara-negara Eropa Barat, setelah AS mencapnya sebagai "Eropa kuno". AS mulai menengok negara-negara Eropa Timur untuk menggantikan posisi negara-negara Eropa Barat sebagai sekutu AS dalam masalah Irak. AS juga memberi isyarat (sinyal) untuk menentang Inggris ketika Ingris mencoba membatalkan langkahnya untuk menyerang Irak tanpa merujuk kepada PBB guna mendapat pengesahannya. Menteri Luar Negeri AS Donald Rumsfeld berkata,"AS mampu pergi sendiri ke Irak tanpa keikutsertaan Inggris."
Untuk bisa mengancam kepentingan dan menciptakan pengaruh yang efektif, suatu negara haruslah memenuhi syarat mempunyai potensi-potensi untuk membela diri dan mempunyai sebab-sebab pengendalian yang sempurna di dalam negeri. Metode yang benar untuk itu adalah menempuh jalan yang semakin meningkat dan menanjak, yaitu negara itu wajib mempunyai sebuah ideologi dan menyerukannya ke seluruh dunia. Ini dimulai pada negara-negara di sekelilingnya hingga negara itu mampu melindungi dirinya sendiri dari serangan intervensi asing di dalam negeri. Negara itu tidak hanya menjaga tapal batasnya, tapi harus terus memperluas ideologi dan pengaruhnya hingga menyaingi negara pertama dalam posisi internasional.
Agar suatu negara mampu menyaingi negara pertama untuk merebut kedudukan nomor satunya, negara itu harus mengubah iklim politik agar menguntungkan pihaknya, dan menarik negara-negara lain secara politis agar berada di pihaknya dan mendukung pemikirannya. Itu seperti halnya Jerman sebelum Perang Dunia II. Jika sebuah negara telah melakukan itu dengan baik, posisi internasionalnya akan semakin kuat, hingga salah satu negara akan memperoleh kedudukan sebagai negara pertama. Pada umumnya hal itu tidak akan terwujud kecuali jika terjadi perang yang mengubah posisi internasional --baik perang dunia yang merata maupun perang lokal yang terbatas-- atau jika bahaya terjadinya perang terhadap negara pertama lebih besar, dan negara pertama tersebut dalam perang ini membutuhkan negara pesaing dalam bloknya.
Kedudukan negara pertama di dunia bukanlah hal yang baru. Itu sudah ada sejak lama. Dalam sejarah kuno, Mesir pernah menjadi negara pertama. Sementara Asyiria di Irak menyaingi Mesir untuk kedudukan ini. Dahulu negara Romawi pernah menjadi negara pertama dan negara Persia menyainginya untuk kedudukan ini. Daulah Islamiyah di masa Khulafa` Rasyidin hingga Perang Salib pernah menempati kedudukan negara pertama dan tidak ada satu pesaing pun untuk kedudukannya itu. Perancis pernah pula menjadi negara pertama sedang Inggris menyaingi kedudukannya. Daulah Utsmaniyah, sebagai negara Khilafah Islamiyah, pernah menjadi negara pertama hampir tiga abad lamanya, tanpa satu pesaing pun untuk kedudukannya hingga pertengahan abad ke-18 M. Sebelum Perang Dunia I, Jerman adalah negara pertama di dunia. Sedang Inggris dan Perancis menyaingi Jerman untuk kedudukannya itu. Setelah Perang Dunia I Inggris merupakan negara pertama sedang Perancis menyaingi kedudukannya. Menjelang Perang Dunia II Inggris menjadi negara pertama, sedang Jerman berusaha menyaingi kedudukannya dan hampir menjadi negara pertama. Perang Dunia II meledak dan AS terjun ke dalam perang tersebut. Perang berakhir dan AS menjadi menjadi negara pertama dalam merancang politik internasional dan posisi internasional sedemikian sehingga AS menjadi negara yang paling mampu untuk menjadikan politik internasional berada di pihaknya. AS terus mendominasi posisi internasional hingga tidak mungkin terwujud atau terjadi peristiwa-peristiwa politik kecuali atas kehendak AS. Meski demikian, saat itu Uni Soviet, Inggris, dan Perancis terus berusaha menyaingi AS dan ketiganya secara bersama-sama mempengaruhi politik dunia sampai tingkat tertentu sesuai kekuatan negaras-negara itu. Uni Soviet khususnya mempunyai pengaruh yang kuat, disusul Inggris dengan pengaruh yang lebih lemah.
Uni Soviet telah berhasil mendampingi AS sebagai mitra dan sekutu AS. Sedang Inggris surut ke belakang dan merosot sampai ke posisinya yang rendah hingga menempati posisinya sekarang ini. Penjelasannya, setelah Perang Dunia II, Inggris mulai bangkit dari pukulan akibat perang lalu mencoba menyaingi AS untuk merebut kedudukannya sebagai negara pertama. Inggris melakukan aktivitas-aktivitas politik untuk mempengaruhi AS. Inggris tidak ikut serta dalam Perang Korea kecuali secara simbolis saja. Inggris malah membocorkan informasi-informasi perang AS kepada Cina padahal Cinalah sebenarnya yang terjun dalam Perang Korea. Dengan cara-cara rahasia dan jahat Inggris berhasil mempengaruhi kedudukan negara pertama dalam Perang Korea sehingga mengguncangkan kedudukan AS sebagai negara pertama. Demikian pula dalam Konferensi Jenewa yang diselenggarakan untuk membahas masalah Indocina, Inggris memihak Blok Timur, sehingga keluarlah keputusan-keputusan yang menguntungkan Blok Timur. Inggris juga membocorkan informasi-informasi intelijen dan militer AS kepada Rusia, di antaranya informasi bocoran tentang pesawat Yoto milik Rusia mengenai penyebab kejatuhannya. Juga sikap McMilland dalam Konferensi Perancis yang memihak Kruschev dan menentang Eisenhower dan usaha untuk menghinakan Eisenhower sebagai Presiden AS. Ini menyebabkan konferensi itu gagal dan kedudukan AS menjadi lemah. Demikianlah Inggris melakukan berbagai aktivitas politik untuk memukul AS dalam rangka mempengaruhi kedudukan negara pertama. Tetapi AS dengan cerdas menyadari semua itu. Terjadilah kemudian pertemuan Kruschev dan Kennedy di Wina. Sejak saat itulah Inggris berubah dari posisi penyerang AS menjadi posisi pembela dirinya sendiri, karena Uni Soviet dan AS mulai berusaha bersama-sama untuk menghapuskan pengaruh Inggris atas dunia.
Dahulu Uni Soviet juga mengobarkan Perang Dingin dengan sepenuh kekuatan untuk menentang Blok Barat khususnya AS. Uni Soviet berusaha mengambil kendali inisiatif Blok Timur dan berusaha menyaingi AS dalam rangka merebut kedudukan AS sebagai negara pertama, agar Uni Soviet menjadi negara pertama di dunia. Uni Soviet berhasil dalam beberapa usahanya. Uni Soviet berhasil membawa AS keluar dari benteng pelindungnya --yaitu PBB-- dalam pemecahan masalah-masalah internasional dengan menyelenggarakan berbagai konferensi di luar PBB. Uni Soviet juga mendorong Inggris untuk menyaingi AS guna melemahkan kedudukan negara pertama dan memperlebar perpecahan untuk memperlemah kedudukan negara pertama, memperlebar keretakan Perancis dan AS, dan memberi banyak pengaruh terhadap aktivitas politik internasional. Selain itu, Uni Soviet juga mencapai kemajuan dalam Perang Bintang sehingga mendahului AS. Uni Soviet mencapai kemajuan dalam senjata nuklir, rudal antar benua, dan membangun berbagai pangkalan mikliternya di Kuba untuk mengancam AS. Uni Soviet juga membongkar banyak strategi politik AS di Kongo, Mesir, Aljazair, dan lain-lain. Meskipun sangat mempengaruhi AS, tapi semua itu tidak dapat menyaingi kedudukan AS sebagai negara pertama. Itu hanya kemenangan parsial pada sebagian masalah politik internasional. Tapi Uni Soviet tidak putus asa untuk menyerang AS dengan berbagai strategi Perang Dingin, hingga terjadilah pertemuan Kruschev dan Kennedy tahun 1961 di mana keduanya bertemu bulan Juni tahun itu di Wina, ibukota Austria. Keduanya sepakat untuk membagi dunia di antara keduanya.
Sejak saat itu jatuhlah pengaruh Inggris dan Perancis dalam kancah politik dunia. Hanya Uni Soviet dan AS saja yang kemudian mengatur politik dunia. Semua upaya Inggris agar ia mempunyai opini dalam politik tidak berhasil. Demikian pula Perancis, bahkan pada masa De Gaulle, tidak berhasil maju selangkah pun dalam menciptakan peluang membahas politik dunia. Keadaannya tetap seperti itu sampai tahun 1989 ketika Tembok Berlin roboh dan Uni Soviet bubar secara resmi dua tahun setelah itu dan Perang Dingin berakhir. Rusia mewarisi posisi Uni Soviet secara resmi pada awal dekade 90-an pada abad lalu, tetapi ia jatuh dari kedudukannya sebagai negara kedua dalam politik dunia. Muncullah kondisi internasional baru yang untuk pertama kalinya AS tampil tanpa sekutu internasional. Dunia memasuki suatu tahapan internasional yang belum pernah dikenal sebelumnya. Pada akhir masa Bush Sr AS merancang suatu tatanan politik internasional sendirian dan menyerukan isttilah Tata Dunia Baru (New World Order). Tetapi tata dunia ini tidak mencatat kesuksesan dan istilah itu tetap saja kabur, sebagaimana kondisi internasional juga tetap tidak jelas, hingga Clinton meraih tampuk kekuasaan tahun 1992. Clinton lalu mencanangkan tata internasional baru, yang tidak bersandar pada kebijakan individual AS, tapi bersandar pada keunggulannya atas negara lain. Pemerintahan Clinton mulai membangun dasar tata dunia baru ini yang salah satu dasarnya adalah menempuh politik kerjasama dengan kekuatan negara-negara adidaya lain. Hal ini nampak jelas dalam penyelesaian krisis Balkan di Boznia dan Herzegovina. Nampak jelas juga dalam pelucutan senjata nuklir di negara Ukraina dan Belarusia, berdasarkan kesepahaman dengan Rusia. Hal seperti itu juga terjadi dalam penandatanganan memorandum kesepahaman (MoU) antara AS dan negara-negara yang dulunya merupakan bagian Blok Timur. Dalam penandatanganan ini turut serta Inggris dan Jerman. Pada masa ini, berkat strategi kerjasama untuk memperluas NATO, AS berhasil pula menjalin kerjasama dengan negara-negara Eropa Barat yang masing-masingnya memperoleh manfaat dari perluasan negara-negara Uni Eropa. Peluasan dan perluasan ini berlangsung dengan mengorbankan Rusia dan pengaruhnya.
Masa ini secara khusus ditandai dengan meningkatnya kekuatan Jerman yang disebabkan lemahnya Uni Soviet, runtuhnya tembok Berlin, dan hilangnya dukungan dari Jerman Timur. Ini semua terjadi bersamaan dengan penyatuan Jerman Timur dan Jerman Barat secara cepat. Dengan demikian Jerman yang bersatu menjadi kekuatan ekonomi terbesar Eropa dan berubah menjadi satu kekuatan politik yang efektif dan berpengaruh yang hampir menyamai AS dan Eropa. Sampai-sampai diskusi masuknya Jerman menjadi anggota tetap Dewan Keamanan PBB menjadi bahan persoalan hangat di kalangan AS, Eropa, dan dunia.
Kondisi politik baru ini disertai kondisi ekonomi baru dalam arti adanya optimalisasi kebijakan pasar bebas secara besar-besaran. Ini nampak dalam strategi globalisasi yang dipaksakan atas dunia. Berbagai perusahaan melakukan merger, menjadi besar dan menonjol sebagai pemain ekonomi utama yang mendiktekan kebijakannya terhadap berbagai rejim pemerintahan. Perusahaan multi nasional (MNC, multi national corporation) lalu menjadi pembicaraan para ahli ekonomi. Terjadi pula perubahan kesepakatan GATT pada tahun 1995 menjadi WTO untuk melindungi kebijakan globalisasi dengan kedok undang-undang. Terjadi pula optimalisasi peran IMF dan Bank Dunia sehingga tiga serangkai ini --WTO, IMF dan Bank Dunia-- dimanfaatkan oleh negara-negara adidaya sebagai alat untuk melakukan campur tangan dan menekan kebijakan ekonomi berbagai negara. Menteri Luar Negeri AS (saat itu) Warren Christopher dan Direktur IMF Michael Cemdesus mengakui bahwa keduanya memanfaatkan IMF untuk menjatuhkan pemerintahan Suharto dengan jalan memaksakan kebijakan mata uang mengambang (floating rate) dan tidak akan memberi Suharto utang jika tidak mau menerima kebijakan itu. Suharto tunduk kepada tuntutan ini lalu mengambangkan mata uang dan akhirnya, dijatuhkan.
Demikian pula optimalisasi telah terjadi dalam peran G-7, yaitu tujuh negara industri, ditambah dengan Rusia. Kedelapan negara ini –yaitu AS, Jepang, Jerman, Inggris, Perancis, Italia, Kanada, dan Rusia— telah mendominasi kebijakan ekonomi dan moneter dunia. Kalau delapan negara ini kita tambah dengan Cina, yang mempunyai kekuatan ekonomi yang besar, kekuatan nuklir, populasi penduduk yang besar, keanggotaan tetap dalam Dewan Keamanan PBB, maka dapat kita katakan –dengan sedikit melebih-lebihkan— bahwa negara-negara adidaya di dunia saat ini adalah sembilan negara ini. Tetapi perbedaan kekuatan negara-negara ini membuat kita mengeluarkan dua negara dari kategori negara adidaya, yaitu Italia dan Kanada. Karena keduanya tidak mempunyai kekuatan politik atau geopolitik apa pun yang membuatnya siap untuk memainkan peran di level dunia. Dengan demikian, negara-negara yang berpengaruh terhadap politik dunia tinggal tujuh negara, yaitu AS, Inggris, Perancis, Jerman, Rusia, Cina, dan Jepang. Dengan adanya perbedaan pengaruh internasional di antara negara-negara tersebut, lima negara yang disebut pertama mempunyai untuk mempengaruhi berbagai kawasan di dunia, dengan keunggulan AS yang menonjol atas empat negara lainnya. Negara keenam (Cina) memusatkan ambisinya untuk mempengaruhi wilayah regional sekelilingnya. Sedang negara keenam (Jepang) berambisi mempengaruhi berbagai kawasan dunia, tetapi hanya pengaruh dalam bidang ekonomi.
Mantan Menteri Luar Negeri Perancis, Hubert Verdrin, dalam bukunya Taruhan-Taruhan Perancis di Era Globalisasi mengatakan,"Sesungguhnya keberadaan satu-satunya kekuatan ini (AS) yang mendominasi seluruh bidang ekonomi, teknologi, militer, moneter, bahasa, dan budaya, merupakan kondisi yang belum pernah ada sebelumnya dalam sejarah." Demikian deskripsi Verdrin. Kemudian Verdrin membuat peringkat khusus untuk negara-negara dari segi kekuatan dan pengaruhnya. Verdrin berkata,"Sesungguhnya AS menduduki peringkat nomor satu di dunia tanpa pesaing. Setelah itu pada peringkat kedua, adalah tujuh negara yang mempunyai pengaruh dunia, yaitu Perancis, Inggris, Jerman, Rusia, Cina, Jepang, dan India, asalkan mereka mau menetapkan untuk memperluas visinya yang selama ini masih bersifat regional." Verdrin berkata pula,"Sesungguhnya ada banyak tolok ukur untuk menyusun peringkat tersebut, di antaranya adalah pendapatan nasional, taraf kemajuan teknologi, senjata nuklir, lalu tingkat kuantitas dan kualitas persenjataan, keterikatan dengan organisasi dan lembaga internasional, seperti Dewan Keamanan PBB, Kelompok G-8, atau Uni Eropa, lalu penyebaran bahasa dan pengaruh budaya yang diwarisi dari generasi terdahulu."
Tetapi peringkat yang lebih mendalam dari pendapat Verdrin ini adalah, bahwa setelah AS -- negara raksasa yang tidak ada satu negara pun yang menyamainya pada awal abad ke-21 ini— peringkat berikutnya adalah tiga negara adidaya hakiki, yaitu Rusia, Inggris, dan Perancis. Persis setelah tiga negara ini, peringkat berikutnya adalah Jerman. Empat negara ini mempunyai visi internasional dalam berbagai bidang di dunia. Peringkat berikutnya adalah Cina, yang merupakan negara adidaya dalam batas-batas wilayah regionalnya. Kalau saja Cina tidak mempunyai visi internasional yang terbatas, niscaya Cina akan menyaingi empat negara sebelumnya. Sedangkan Jepang, menjadi negara adidaya ekonomi setelah AS. Jadi urutan peringkat negara-negara ini adalah sebagai berikut : AS, Rusia, Inggris, Perancis, Jerman, Cina, dan Jepang. Ketujuh negara inilah yang layak disebut negara adidaya. Sedangkan India, Kanada, dan Italia tidak layak disebut negara adidaya. Meski demikian tiga negara ini menduduki peringkat berikutnya setelah tujuh negara sebelumnya, yang keseluruhannya membentuk sepuluh negara utama di dunia.
Dengan berakhirnya abad ke-20 dan diawalinya milenium ke-3, pemerintahan Bush Jr mencoba mengubah dasar-dasar permainan politik internasional. Pemerintahan Bush Jr menghentikan strategi kerjasama yang telah ditempuh Clinton dan mulai memaksakan strateginya kepada kekuatan-kekuatan besar dengan paksaan. Pemerintahahn Bush Jr menarik diri dari berbagai perjanjian internasional seperti Protokol Kyoto, Mahkamah Kejahatan Internasional, Kesepakatan SALT untuk mengurangi proliferasi (perkembangan) senjata balistik, dan sebagainya. Ketegangan antara AS dan negara-negara adidaya lain semakin meningkat dengan terjadinya peristiwa 11 September 2001 dengan meledaknya WTC di New York dan Gedung Pentagon di Washington. Peristiwa ini memberikan satu dorongan kepada AS untuk menjadi kekuatan tunggal. AS menjadikan peledakan WTC itu sebagai justifikasi untuk memerangi apa yang disebutnya "terorisme" sehingga AS akhirnya menduduki Afghanistan dan Irak dengan dalih itu. Arogansi politik pemerintahan AS sangat menonjol sampai-sampai AS mengadopsi kebijakan,"Anda bersama kami atau melawan kami" (Either you are with us or you are with terrorists). Kebijakan ini menyulut reaksi kemarahan di kalangan Eropa dan pihak lainnya. Mereka menuduh kebijakan itu sebagai hal yang naif dan bodoh. Mereka menuntut AS untuk kembali kepada strategi perundingan dan kerjasama. Tapi AS menolak kembali pada prinsip perundingan dan kerjasama yang pernah dijalankan Clinton. Orang-orang yang disebut dengan neo-konservatif di bawah kepemimpinan Wapres Dick Cheney, Menhan Rumsfled, Wakil Menhan Wolfowitz, Richard Brill Ketua Dewan Politik Pertahanan, Douglas Fich, John Bolton, Condoleeza Rice, dan yang lain-lain, tetap saja mampu mempengaruhi kebijakan-kebijakan Bush. Kaum neo-konservatif itu mengerahkan segala kemampuan dan pengaruh mereka serta mengendalikan perusahaan-perusahaan yang mendukung mereka untuk melayani kebiakan-kebijakan ini.
Hal paling menonjol dalam kebijakan AS ini adalah tidak mempedulikan PBB dan legitimasinya dalam membuat kebijakan-kebijakan. Prioritas utamanya adalah kepentingan AS. Jika kepentingan AS ini bertentangan dengan legitimasi internasional, AS akan mengabaikan legitimasi ini. Jika tidak bertentangan, legitimasi internasional ini akan diambil. Jika AS berhasil meminta keluarnya resolusi dari Dewan Keamanan PBB, resolusi itulah yang akan dijalankan. Tapi jika tidak berhasil, AS akan mengabaikan dan acuh tak acuh dengan Dewan Keamanan PBB.
Eropa yang termanifestasi pada Inggris mencoba menghalangi pemerintah AS yang mengabaikan legitimasi internasional. Menlu AS Colin Powell pun berpihak pada upaya Inggris ini, demikian pula Bush pun cenderung pada langkah itu. Tetapi kelompok neo-konservatif mengagagalkan upaya ini dan AS tetap tidak mau tahu dengan strategi kerjasama. AS juga juga tak mau tahu untuk memberikan peran efektif bagi lembaga internasional.
Bagaimana pun juga keadaannya, pemerintahan Bush Jr tidak mampu menjatuhkan negara-negara adidaya seperti Inggris, Rusia, Perancis, dan Jerman dari permainan peran dalam kancah politik internasional. Sebaliknya strategi yang dijalankan oleh pemerintahan Bush Jr justru menguatkan posisi negara-negara tersebut dan tidak malah melemahkannya. Sebab strategi AS itu mendorong negara-negara adidaya itu untuk menyatukan barisannya guna membela diri di hadapan serangan AS yang keras atas mereka. Terbentuklah poros Perancis, Jerman, dan Rusia. Poros ini bersama Inggris saling bantu membantu secara rahasia. Negara-negara ini akhirnya mampu –dengan melakukan perlawanan dan langkah persuasif— memantapkan posisinya sebagai negara adidaya yang efekif sampai batas tertentu dalam politik internasional. (BERSAMBUNG)
Memahami posisi internasional (al-mauqif al-duali) berbeda dengan memahami politik setiap negara. Sebab memahami politik setiap negara yang berpengaruh ada kaitannya dengan pemahaman konsep dan metode yang menjadi asas politik negara, seperti yang kami jelaskan sebelumnya. Sedang posisi internasional –yaitu struktur hubungan-hubungan internasional yang berpengaruh, atau keadaan yang melingkupi negara pertama dan negara-negara yang bersaing dengannya-- tidak berkaitan dengan konsep dan metode politik, tapi berkaitan dengan hubungan internasional dan persaingan permanen antarnegara untuk meraih kedudukan negara pertama dan untuk mempengaruhi politik internasional. Oleh karena itu, posisi internasional harus dipahami dengan baik.
Tapi harus menjadi kejelasan, bahwa posisi internasional tidaklah tetap, melainkan berubah-ubah dan berganti sesuai situasi, kondisi, dan peristiwa dunia. Kendati demikiran, dimungkinkan untuk memberi gambaran jelas tentangnya, memberikan garis-garis besarnya, dan memberikan rincian keadaan-keadaannya. Namun semua itu hanya menunjukkan keadaan posisi internasional yang nampak saat dideskripsikan, sehingga deskripsi itu cocok dengan fakta yang ada. Ketika posisi internasional telah berubah, bukan berarti deskripsi yang diberikan itu tidak benar, melainkan hanya merupakan deskripsi sesuatu yang ada kemudian lenyap, sehingga deksripsi itu lalu menjadi salah satu bagian sejarah. Maka harus diberikan deskripsi atas fakta yang sedang berjalan, yaitu posisi internasional yang baru.
Atas dasar itu, deskripsi yang hendak kami paparkan dengan melukiskan gambaran posisi internasional, atau memberikan garis-garis besarnya, atau menyinggung rincian-rinciannya, hanyalah deskripsi tentang fakta yang telah terjadi sebelumnya, atau yang sedang terjadi sekarang, atau yang diprediksikan akan terjadi di masa datang. Meski demikian, penjelasan itu tidak dianggap sebagai sesuatu yang tetap. Karenanya seorang politisi harus mempunyai informasi-informasi terdahulu tentang posisi internasional dan politik intenasional, lalu mengaitkannya dengan apa yang dia saksikan, hingga dia memperoleh kejelasan mengenai segala sesuatunya dan dapat memberikan penilaian terhadapnya.
Memahami posisi internasional menuntut kaum muslimin untuk mengetahui kedudukan negara pertama (al-daulah al-ula) di dunia dan kedudukan negara-negara lain terhadap negara pertama itu dan politik internasional. Juga menuntut kaum muslimin untuk mengetahui kedudukan negara pengikut (al-daulah al-tabi’ah), negara satelit (al-daulah allati fi al-falak), dan negara independen (al-daulah al-mustaqillah).
Negara pengikut adalah negara yang terikat dengan negara lain dalam politik luar negerinya dan sebagian masalah dalam negerinya. Misalnya, Mesir terhadap AS, Kazakhstan (saat ini) terhadap Rusia. Adapun negara satelit adalah negara yang politik luar negerinya terikat dengan negara lain dalam ikatan kepentingan, bukan dalam ikatan sebagai pengikut. Misalnya Jepang terhadap AS; Australia terhadap AS dan Inggris; Kanada terhadap AS, Inggris, dan Perancis; dan Turki (saat ini) terhadap Inggris dan AS. Sedang negara independen, adalah negara yang mengelola politik dalam dan luar negerinya sesuai kehendaknya sendiri atas dasar kepentingannya sendiri. Misalnya Perancis, Cina, dan Rusia.
Ada beberapa kondisi yang tidak termasuk politik internasional, tapi hanya peristiwa-peristiwa yang muncul akibat keluarnya negara-negara penjajah dari negeri-negeri jajahannya. Keadaan seperti ini dan yang semisalnya tidak dibahas dalam politik internasional dan tidak pula perlu diberikan garis-garis besarnya. Kondisi ini cukup dikaji faktanya dan diberi penilaian. Misalnya, keadaan Irak setelah keluarnya Inggris dari Irak, terjadinya Revolusi 14 Juli 1958, dan dibatalkannya semua pakta dan komitmen. Irak lalu menjadi negara independen secara internasional, seperti halnya Perancis, Inggris, dan negara independen mana pun. Tapi karena penguasanya saat itu adalah agen AS, maka Irak secara faktual merupakan negara pengikut AS meski secara internasional merupakan negara independen. Tapi setelah Revolusi 17 Juli 1968 dan penguasanya adalah agen-agen Inggris, Irak menjadi negara pengikut Inggris.
Jadi, pada saat penguasa negara independen menjadi agen, atau kekuasaannnya dikendalikan oleh seorang agen, negara independen itu akan menjadi negara pengikut bagi negara tertentu yang diikuti oleh penguasa negara independen itu.
Demikianlah kondisi semua negara yang dulunya dijajah. Semuanya mengalami kondisi seperti ini. Negara-negara itu berpindah-pindah dari satu tangan ke tangan lain sesuai dengan pergantian penguasanya. Negara-negara semacam ini secara internasional adalah negara independen dalam penampilan lahiriahnya. Tapi dari segi realitas hakikinya, dia adalah negara pengikut. Hanya saja ini adalah kondisi khusus akibat kemerdekaan negara-negara terjajah dari penjajahan dan akibat upaya negara-negara penjajah yang ingin kembali ke negeri jajahannya, atau akibat upaya negara penjajah lain untuk menggantikan posisi negara penjajah lama yang keluar dari negeri jajahannya.
Yang pasti harus diketahui adalah kedudukan negara pertama (nomor satu) di dunia. Sebab kedudukan itu sangat strategis untuk memahami politik internasional dan posisi internasional. Dalam kondisi damai, negara pertama dalam posisi internasional dianggap pembuat kebijakan secara internasional. Selain itu, yang juga menjadi pembuat kebijakan setelah negara pertama adalah negara kedua dan negara mana pun yang mempunyai kemampuan mempengaruhi perpolitikan dunia.
Kemampuan mempengaruhi negara-negara lain hanya dimiliki oleh negara-negara yang mempunyai bobot untuk mempengaruhi negara pertama. Kekuatan pengaruh ini berbeda-beda tingkatannya sesuai dengan tingkat perbedaan masing-masing negara dalam hal kekuatannya sendiri dan kekuatannya secara internasional. Kadar kekuatan negara, dan sejauh mana bobot internasionalnya, bergantung pada kadar pengaruhnya terhadap negara pertama dan selanjutnya bergantung pada politik dunia dari segi internasional.
Contoh paling jelas mengenai upaya suatu negara untuk mempengaruhi negara pertama, dan selanjutnya politik dunia, adalah upaya Inggris belakangan ini (2004). Pengaruh Inggris dalam politik dunia secara internasional, bersumber dari sebagian pengaruhnya terhadap AS –sebagai negara pertama di dunia— juga dari pengaruhnya yang secara kontinyu masih ada terhadap negara-negara bekas jajahannya. Demikian pula Rusia, Perancis, dan Jerman. Setelah perang AS terhadap Irak, semua negara tersebut bersama-sama berusaha menciptakan semacam pengaruh terhadap negara pertama dan selanjutnya terhadap politik dunia secara internasional.
Adapun contoh negara yang tidak mampu mempengaruhi negara pertama, yang konsekuensinya juga tidak mampu mempengaruhi politik dunia, misalnya negara pengikut. Sebab negara pengikut tidak mempunyai pengaruh terhadap negara pertama, kecuali dalam kadar pemanfaatan oleh negara yang diikuti atas negara pengikutnya. Negara-negara satelit juga seperti itu, sebab kekuatannya bersumber dari negara adidaya yang diedari oleh negara satelit itu dalam orbitnya.
Negara-negara lain yang bukan negara pengikut dan bukan pula negara satelit, yaitu negara independen, seperti Swiss, Spanyol, Belanda, Italia, dan Swedia, mampu mempengaruhi politik dunia secara internasional, jika mereka mengamankan atau mengancam kepentingan negara pertama. Contohnya, Italia dan Spanyol yang mengamankan kepentingan strategis AS dengan jalan mendukung AS dalam pendudukannya di Irak tahun 2003.
Oleh karena itu, wajib atas negara mana pun yang hendak mempengaruhi politik dunia dan memanfaatkannya demi kepentingannya, agar menempuh salah satu dari dua jalan; yaitu mengancam kepentingan riil negara pertama dalam posisi internasionalnya secara sungguh-sungguh, atau mengamankan kepentingan-kepentingan negara pertama itu dengan jalan melakukan tawar-menawar untuk meraih kepentingannya.
Memberikan ancaman yang berpengaruh dan efektif, adalah jalan yang pasti akan produktif, yang merupakan jalan elegan bagi negara yang benar yang bertekad agar pengaruhnya terjamin dan suaranya didengar dalam posisi internasional. Sedang jalan kedua yang tujuannya mengamankan kepentingan negara adidaya, adalah jalan yang gelap, tidak aman dari ketergeliciran, yang kadang mengantarkan pada tujuan dan kadang menjerumuskan pada kehancuran. Menempuh jalan itu berarti memperjudikan institusi umat dan merupakan spekulasi orang yang bodoh akan nasib umat. Sebab tindakan negara mana pun untuk mengamankan kepentingan negara besar, tidak akan membuat negara besar itu segan melakukan tawar-menawar kepentingan dengan negara mana pun yang lebih rendah kedudukan atau potensinya.
AS pada tahun 2003 telah melakukan tawar-menawar dengan sekutu-sekutu tradisionalnya dari negara-negara Eropa Barat, setelah AS mencapnya sebagai "Eropa kuno". AS mulai menengok negara-negara Eropa Timur untuk menggantikan posisi negara-negara Eropa Barat sebagai sekutu AS dalam masalah Irak. AS juga memberi isyarat (sinyal) untuk menentang Inggris ketika Ingris mencoba membatalkan langkahnya untuk menyerang Irak tanpa merujuk kepada PBB guna mendapat pengesahannya. Menteri Luar Negeri AS Donald Rumsfeld berkata,"AS mampu pergi sendiri ke Irak tanpa keikutsertaan Inggris."
Untuk bisa mengancam kepentingan dan menciptakan pengaruh yang efektif, suatu negara haruslah memenuhi syarat mempunyai potensi-potensi untuk membela diri dan mempunyai sebab-sebab pengendalian yang sempurna di dalam negeri. Metode yang benar untuk itu adalah menempuh jalan yang semakin meningkat dan menanjak, yaitu negara itu wajib mempunyai sebuah ideologi dan menyerukannya ke seluruh dunia. Ini dimulai pada negara-negara di sekelilingnya hingga negara itu mampu melindungi dirinya sendiri dari serangan intervensi asing di dalam negeri. Negara itu tidak hanya menjaga tapal batasnya, tapi harus terus memperluas ideologi dan pengaruhnya hingga menyaingi negara pertama dalam posisi internasional.
Agar suatu negara mampu menyaingi negara pertama untuk merebut kedudukan nomor satunya, negara itu harus mengubah iklim politik agar menguntungkan pihaknya, dan menarik negara-negara lain secara politis agar berada di pihaknya dan mendukung pemikirannya. Itu seperti halnya Jerman sebelum Perang Dunia II. Jika sebuah negara telah melakukan itu dengan baik, posisi internasionalnya akan semakin kuat, hingga salah satu negara akan memperoleh kedudukan sebagai negara pertama. Pada umumnya hal itu tidak akan terwujud kecuali jika terjadi perang yang mengubah posisi internasional --baik perang dunia yang merata maupun perang lokal yang terbatas-- atau jika bahaya terjadinya perang terhadap negara pertama lebih besar, dan negara pertama tersebut dalam perang ini membutuhkan negara pesaing dalam bloknya.
Kedudukan negara pertama di dunia bukanlah hal yang baru. Itu sudah ada sejak lama. Dalam sejarah kuno, Mesir pernah menjadi negara pertama. Sementara Asyiria di Irak menyaingi Mesir untuk kedudukan ini. Dahulu negara Romawi pernah menjadi negara pertama dan negara Persia menyainginya untuk kedudukan ini. Daulah Islamiyah di masa Khulafa` Rasyidin hingga Perang Salib pernah menempati kedudukan negara pertama dan tidak ada satu pesaing pun untuk kedudukannya itu. Perancis pernah pula menjadi negara pertama sedang Inggris menyaingi kedudukannya. Daulah Utsmaniyah, sebagai negara Khilafah Islamiyah, pernah menjadi negara pertama hampir tiga abad lamanya, tanpa satu pesaing pun untuk kedudukannya hingga pertengahan abad ke-18 M. Sebelum Perang Dunia I, Jerman adalah negara pertama di dunia. Sedang Inggris dan Perancis menyaingi Jerman untuk kedudukannya itu. Setelah Perang Dunia I Inggris merupakan negara pertama sedang Perancis menyaingi kedudukannya. Menjelang Perang Dunia II Inggris menjadi negara pertama, sedang Jerman berusaha menyaingi kedudukannya dan hampir menjadi negara pertama. Perang Dunia II meledak dan AS terjun ke dalam perang tersebut. Perang berakhir dan AS menjadi menjadi negara pertama dalam merancang politik internasional dan posisi internasional sedemikian sehingga AS menjadi negara yang paling mampu untuk menjadikan politik internasional berada di pihaknya. AS terus mendominasi posisi internasional hingga tidak mungkin terwujud atau terjadi peristiwa-peristiwa politik kecuali atas kehendak AS. Meski demikian, saat itu Uni Soviet, Inggris, dan Perancis terus berusaha menyaingi AS dan ketiganya secara bersama-sama mempengaruhi politik dunia sampai tingkat tertentu sesuai kekuatan negaras-negara itu. Uni Soviet khususnya mempunyai pengaruh yang kuat, disusul Inggris dengan pengaruh yang lebih lemah.
Uni Soviet telah berhasil mendampingi AS sebagai mitra dan sekutu AS. Sedang Inggris surut ke belakang dan merosot sampai ke posisinya yang rendah hingga menempati posisinya sekarang ini. Penjelasannya, setelah Perang Dunia II, Inggris mulai bangkit dari pukulan akibat perang lalu mencoba menyaingi AS untuk merebut kedudukannya sebagai negara pertama. Inggris melakukan aktivitas-aktivitas politik untuk mempengaruhi AS. Inggris tidak ikut serta dalam Perang Korea kecuali secara simbolis saja. Inggris malah membocorkan informasi-informasi perang AS kepada Cina padahal Cinalah sebenarnya yang terjun dalam Perang Korea. Dengan cara-cara rahasia dan jahat Inggris berhasil mempengaruhi kedudukan negara pertama dalam Perang Korea sehingga mengguncangkan kedudukan AS sebagai negara pertama. Demikian pula dalam Konferensi Jenewa yang diselenggarakan untuk membahas masalah Indocina, Inggris memihak Blok Timur, sehingga keluarlah keputusan-keputusan yang menguntungkan Blok Timur. Inggris juga membocorkan informasi-informasi intelijen dan militer AS kepada Rusia, di antaranya informasi bocoran tentang pesawat Yoto milik Rusia mengenai penyebab kejatuhannya. Juga sikap McMilland dalam Konferensi Perancis yang memihak Kruschev dan menentang Eisenhower dan usaha untuk menghinakan Eisenhower sebagai Presiden AS. Ini menyebabkan konferensi itu gagal dan kedudukan AS menjadi lemah. Demikianlah Inggris melakukan berbagai aktivitas politik untuk memukul AS dalam rangka mempengaruhi kedudukan negara pertama. Tetapi AS dengan cerdas menyadari semua itu. Terjadilah kemudian pertemuan Kruschev dan Kennedy di Wina. Sejak saat itulah Inggris berubah dari posisi penyerang AS menjadi posisi pembela dirinya sendiri, karena Uni Soviet dan AS mulai berusaha bersama-sama untuk menghapuskan pengaruh Inggris atas dunia.
Dahulu Uni Soviet juga mengobarkan Perang Dingin dengan sepenuh kekuatan untuk menentang Blok Barat khususnya AS. Uni Soviet berusaha mengambil kendali inisiatif Blok Timur dan berusaha menyaingi AS dalam rangka merebut kedudukan AS sebagai negara pertama, agar Uni Soviet menjadi negara pertama di dunia. Uni Soviet berhasil dalam beberapa usahanya. Uni Soviet berhasil membawa AS keluar dari benteng pelindungnya --yaitu PBB-- dalam pemecahan masalah-masalah internasional dengan menyelenggarakan berbagai konferensi di luar PBB. Uni Soviet juga mendorong Inggris untuk menyaingi AS guna melemahkan kedudukan negara pertama dan memperlebar perpecahan untuk memperlemah kedudukan negara pertama, memperlebar keretakan Perancis dan AS, dan memberi banyak pengaruh terhadap aktivitas politik internasional. Selain itu, Uni Soviet juga mencapai kemajuan dalam Perang Bintang sehingga mendahului AS. Uni Soviet mencapai kemajuan dalam senjata nuklir, rudal antar benua, dan membangun berbagai pangkalan mikliternya di Kuba untuk mengancam AS. Uni Soviet juga membongkar banyak strategi politik AS di Kongo, Mesir, Aljazair, dan lain-lain. Meskipun sangat mempengaruhi AS, tapi semua itu tidak dapat menyaingi kedudukan AS sebagai negara pertama. Itu hanya kemenangan parsial pada sebagian masalah politik internasional. Tapi Uni Soviet tidak putus asa untuk menyerang AS dengan berbagai strategi Perang Dingin, hingga terjadilah pertemuan Kruschev dan Kennedy tahun 1961 di mana keduanya bertemu bulan Juni tahun itu di Wina, ibukota Austria. Keduanya sepakat untuk membagi dunia di antara keduanya.
Sejak saat itu jatuhlah pengaruh Inggris dan Perancis dalam kancah politik dunia. Hanya Uni Soviet dan AS saja yang kemudian mengatur politik dunia. Semua upaya Inggris agar ia mempunyai opini dalam politik tidak berhasil. Demikian pula Perancis, bahkan pada masa De Gaulle, tidak berhasil maju selangkah pun dalam menciptakan peluang membahas politik dunia. Keadaannya tetap seperti itu sampai tahun 1989 ketika Tembok Berlin roboh dan Uni Soviet bubar secara resmi dua tahun setelah itu dan Perang Dingin berakhir. Rusia mewarisi posisi Uni Soviet secara resmi pada awal dekade 90-an pada abad lalu, tetapi ia jatuh dari kedudukannya sebagai negara kedua dalam politik dunia. Muncullah kondisi internasional baru yang untuk pertama kalinya AS tampil tanpa sekutu internasional. Dunia memasuki suatu tahapan internasional yang belum pernah dikenal sebelumnya. Pada akhir masa Bush Sr AS merancang suatu tatanan politik internasional sendirian dan menyerukan isttilah Tata Dunia Baru (New World Order). Tetapi tata dunia ini tidak mencatat kesuksesan dan istilah itu tetap saja kabur, sebagaimana kondisi internasional juga tetap tidak jelas, hingga Clinton meraih tampuk kekuasaan tahun 1992. Clinton lalu mencanangkan tata internasional baru, yang tidak bersandar pada kebijakan individual AS, tapi bersandar pada keunggulannya atas negara lain. Pemerintahan Clinton mulai membangun dasar tata dunia baru ini yang salah satu dasarnya adalah menempuh politik kerjasama dengan kekuatan negara-negara adidaya lain. Hal ini nampak jelas dalam penyelesaian krisis Balkan di Boznia dan Herzegovina. Nampak jelas juga dalam pelucutan senjata nuklir di negara Ukraina dan Belarusia, berdasarkan kesepahaman dengan Rusia. Hal seperti itu juga terjadi dalam penandatanganan memorandum kesepahaman (MoU) antara AS dan negara-negara yang dulunya merupakan bagian Blok Timur. Dalam penandatanganan ini turut serta Inggris dan Jerman. Pada masa ini, berkat strategi kerjasama untuk memperluas NATO, AS berhasil pula menjalin kerjasama dengan negara-negara Eropa Barat yang masing-masingnya memperoleh manfaat dari perluasan negara-negara Uni Eropa. Peluasan dan perluasan ini berlangsung dengan mengorbankan Rusia dan pengaruhnya.
Masa ini secara khusus ditandai dengan meningkatnya kekuatan Jerman yang disebabkan lemahnya Uni Soviet, runtuhnya tembok Berlin, dan hilangnya dukungan dari Jerman Timur. Ini semua terjadi bersamaan dengan penyatuan Jerman Timur dan Jerman Barat secara cepat. Dengan demikian Jerman yang bersatu menjadi kekuatan ekonomi terbesar Eropa dan berubah menjadi satu kekuatan politik yang efektif dan berpengaruh yang hampir menyamai AS dan Eropa. Sampai-sampai diskusi masuknya Jerman menjadi anggota tetap Dewan Keamanan PBB menjadi bahan persoalan hangat di kalangan AS, Eropa, dan dunia.
Kondisi politik baru ini disertai kondisi ekonomi baru dalam arti adanya optimalisasi kebijakan pasar bebas secara besar-besaran. Ini nampak dalam strategi globalisasi yang dipaksakan atas dunia. Berbagai perusahaan melakukan merger, menjadi besar dan menonjol sebagai pemain ekonomi utama yang mendiktekan kebijakannya terhadap berbagai rejim pemerintahan. Perusahaan multi nasional (MNC, multi national corporation) lalu menjadi pembicaraan para ahli ekonomi. Terjadi pula perubahan kesepakatan GATT pada tahun 1995 menjadi WTO untuk melindungi kebijakan globalisasi dengan kedok undang-undang. Terjadi pula optimalisasi peran IMF dan Bank Dunia sehingga tiga serangkai ini --WTO, IMF dan Bank Dunia-- dimanfaatkan oleh negara-negara adidaya sebagai alat untuk melakukan campur tangan dan menekan kebijakan ekonomi berbagai negara. Menteri Luar Negeri AS (saat itu) Warren Christopher dan Direktur IMF Michael Cemdesus mengakui bahwa keduanya memanfaatkan IMF untuk menjatuhkan pemerintahan Suharto dengan jalan memaksakan kebijakan mata uang mengambang (floating rate) dan tidak akan memberi Suharto utang jika tidak mau menerima kebijakan itu. Suharto tunduk kepada tuntutan ini lalu mengambangkan mata uang dan akhirnya, dijatuhkan.
Demikian pula optimalisasi telah terjadi dalam peran G-7, yaitu tujuh negara industri, ditambah dengan Rusia. Kedelapan negara ini –yaitu AS, Jepang, Jerman, Inggris, Perancis, Italia, Kanada, dan Rusia— telah mendominasi kebijakan ekonomi dan moneter dunia. Kalau delapan negara ini kita tambah dengan Cina, yang mempunyai kekuatan ekonomi yang besar, kekuatan nuklir, populasi penduduk yang besar, keanggotaan tetap dalam Dewan Keamanan PBB, maka dapat kita katakan –dengan sedikit melebih-lebihkan— bahwa negara-negara adidaya di dunia saat ini adalah sembilan negara ini. Tetapi perbedaan kekuatan negara-negara ini membuat kita mengeluarkan dua negara dari kategori negara adidaya, yaitu Italia dan Kanada. Karena keduanya tidak mempunyai kekuatan politik atau geopolitik apa pun yang membuatnya siap untuk memainkan peran di level dunia. Dengan demikian, negara-negara yang berpengaruh terhadap politik dunia tinggal tujuh negara, yaitu AS, Inggris, Perancis, Jerman, Rusia, Cina, dan Jepang. Dengan adanya perbedaan pengaruh internasional di antara negara-negara tersebut, lima negara yang disebut pertama mempunyai untuk mempengaruhi berbagai kawasan di dunia, dengan keunggulan AS yang menonjol atas empat negara lainnya. Negara keenam (Cina) memusatkan ambisinya untuk mempengaruhi wilayah regional sekelilingnya. Sedang negara keenam (Jepang) berambisi mempengaruhi berbagai kawasan dunia, tetapi hanya pengaruh dalam bidang ekonomi.
Mantan Menteri Luar Negeri Perancis, Hubert Verdrin, dalam bukunya Taruhan-Taruhan Perancis di Era Globalisasi mengatakan,"Sesungguhnya keberadaan satu-satunya kekuatan ini (AS) yang mendominasi seluruh bidang ekonomi, teknologi, militer, moneter, bahasa, dan budaya, merupakan kondisi yang belum pernah ada sebelumnya dalam sejarah." Demikian deskripsi Verdrin. Kemudian Verdrin membuat peringkat khusus untuk negara-negara dari segi kekuatan dan pengaruhnya. Verdrin berkata,"Sesungguhnya AS menduduki peringkat nomor satu di dunia tanpa pesaing. Setelah itu pada peringkat kedua, adalah tujuh negara yang mempunyai pengaruh dunia, yaitu Perancis, Inggris, Jerman, Rusia, Cina, Jepang, dan India, asalkan mereka mau menetapkan untuk memperluas visinya yang selama ini masih bersifat regional." Verdrin berkata pula,"Sesungguhnya ada banyak tolok ukur untuk menyusun peringkat tersebut, di antaranya adalah pendapatan nasional, taraf kemajuan teknologi, senjata nuklir, lalu tingkat kuantitas dan kualitas persenjataan, keterikatan dengan organisasi dan lembaga internasional, seperti Dewan Keamanan PBB, Kelompok G-8, atau Uni Eropa, lalu penyebaran bahasa dan pengaruh budaya yang diwarisi dari generasi terdahulu."
Tetapi peringkat yang lebih mendalam dari pendapat Verdrin ini adalah, bahwa setelah AS -- negara raksasa yang tidak ada satu negara pun yang menyamainya pada awal abad ke-21 ini— peringkat berikutnya adalah tiga negara adidaya hakiki, yaitu Rusia, Inggris, dan Perancis. Persis setelah tiga negara ini, peringkat berikutnya adalah Jerman. Empat negara ini mempunyai visi internasional dalam berbagai bidang di dunia. Peringkat berikutnya adalah Cina, yang merupakan negara adidaya dalam batas-batas wilayah regionalnya. Kalau saja Cina tidak mempunyai visi internasional yang terbatas, niscaya Cina akan menyaingi empat negara sebelumnya. Sedangkan Jepang, menjadi negara adidaya ekonomi setelah AS. Jadi urutan peringkat negara-negara ini adalah sebagai berikut : AS, Rusia, Inggris, Perancis, Jerman, Cina, dan Jepang. Ketujuh negara inilah yang layak disebut negara adidaya. Sedangkan India, Kanada, dan Italia tidak layak disebut negara adidaya. Meski demikian tiga negara ini menduduki peringkat berikutnya setelah tujuh negara sebelumnya, yang keseluruhannya membentuk sepuluh negara utama di dunia.
Dengan berakhirnya abad ke-20 dan diawalinya milenium ke-3, pemerintahan Bush Jr mencoba mengubah dasar-dasar permainan politik internasional. Pemerintahan Bush Jr menghentikan strategi kerjasama yang telah ditempuh Clinton dan mulai memaksakan strateginya kepada kekuatan-kekuatan besar dengan paksaan. Pemerintahahn Bush Jr menarik diri dari berbagai perjanjian internasional seperti Protokol Kyoto, Mahkamah Kejahatan Internasional, Kesepakatan SALT untuk mengurangi proliferasi (perkembangan) senjata balistik, dan sebagainya. Ketegangan antara AS dan negara-negara adidaya lain semakin meningkat dengan terjadinya peristiwa 11 September 2001 dengan meledaknya WTC di New York dan Gedung Pentagon di Washington. Peristiwa ini memberikan satu dorongan kepada AS untuk menjadi kekuatan tunggal. AS menjadikan peledakan WTC itu sebagai justifikasi untuk memerangi apa yang disebutnya "terorisme" sehingga AS akhirnya menduduki Afghanistan dan Irak dengan dalih itu. Arogansi politik pemerintahan AS sangat menonjol sampai-sampai AS mengadopsi kebijakan,"Anda bersama kami atau melawan kami" (Either you are with us or you are with terrorists). Kebijakan ini menyulut reaksi kemarahan di kalangan Eropa dan pihak lainnya. Mereka menuduh kebijakan itu sebagai hal yang naif dan bodoh. Mereka menuntut AS untuk kembali kepada strategi perundingan dan kerjasama. Tapi AS menolak kembali pada prinsip perundingan dan kerjasama yang pernah dijalankan Clinton. Orang-orang yang disebut dengan neo-konservatif di bawah kepemimpinan Wapres Dick Cheney, Menhan Rumsfled, Wakil Menhan Wolfowitz, Richard Brill Ketua Dewan Politik Pertahanan, Douglas Fich, John Bolton, Condoleeza Rice, dan yang lain-lain, tetap saja mampu mempengaruhi kebijakan-kebijakan Bush. Kaum neo-konservatif itu mengerahkan segala kemampuan dan pengaruh mereka serta mengendalikan perusahaan-perusahaan yang mendukung mereka untuk melayani kebiakan-kebijakan ini.
Hal paling menonjol dalam kebijakan AS ini adalah tidak mempedulikan PBB dan legitimasinya dalam membuat kebijakan-kebijakan. Prioritas utamanya adalah kepentingan AS. Jika kepentingan AS ini bertentangan dengan legitimasi internasional, AS akan mengabaikan legitimasi ini. Jika tidak bertentangan, legitimasi internasional ini akan diambil. Jika AS berhasil meminta keluarnya resolusi dari Dewan Keamanan PBB, resolusi itulah yang akan dijalankan. Tapi jika tidak berhasil, AS akan mengabaikan dan acuh tak acuh dengan Dewan Keamanan PBB.
Eropa yang termanifestasi pada Inggris mencoba menghalangi pemerintah AS yang mengabaikan legitimasi internasional. Menlu AS Colin Powell pun berpihak pada upaya Inggris ini, demikian pula Bush pun cenderung pada langkah itu. Tetapi kelompok neo-konservatif mengagagalkan upaya ini dan AS tetap tidak mau tahu dengan strategi kerjasama. AS juga juga tak mau tahu untuk memberikan peran efektif bagi lembaga internasional.
Bagaimana pun juga keadaannya, pemerintahan Bush Jr tidak mampu menjatuhkan negara-negara adidaya seperti Inggris, Rusia, Perancis, dan Jerman dari permainan peran dalam kancah politik internasional. Sebaliknya strategi yang dijalankan oleh pemerintahan Bush Jr justru menguatkan posisi negara-negara tersebut dan tidak malah melemahkannya. Sebab strategi AS itu mendorong negara-negara adidaya itu untuk menyatukan barisannya guna membela diri di hadapan serangan AS yang keras atas mereka. Terbentuklah poros Perancis, Jerman, dan Rusia. Poros ini bersama Inggris saling bantu membantu secara rahasia. Negara-negara ini akhirnya mampu –dengan melakukan perlawanan dan langkah persuasif— memantapkan posisinya sebagai negara adidaya yang efekif sampai batas tertentu dalam politik internasional. (BERSAMBUNG)
No comments:
Post a Comment