my destiny

My photo
.>seterusnya akan tertegak kembali khilafah atas minhaj kenabian"

Sunday 9 May 2010

FAKTOR-FAKTOR PENDORONG PERSAINGAN ANTAR NEGARA

FAKTOR-FAKTOR PENDORONG PERSAINGAN ANTAR NEGARA

Konflik internasional sejak awal sejarah hinga Hari Kiamat nanti tidak keluar dari dari dua motif berikut : Pertama, cinta kepemimpinan dan kebanggaan. Kedua, dorongan di balik manfaat-manfaat material. Cinta kepemimpinan (hubb al-siyadah) bisa berupa cinta kepemimpinan terhadap umat dan bangsa seperti halnya Nazisme Jerman dan Fasisme Italia. Bisa jadi berupa cinta kepemimpinan
terhadap ideologi dan penyebaran ideologi sebagaimana halnya Daulah
Islamiyah selama hampir 1300 tahun. Demikian pula halnya negara komunis
selama 30 tahun sebelum keruntuhannya pada awal tahun 90-an abad yang
lalu, setelah 70 tahun sejak kelahirannya.
Adapun motif untuk membatasi pertumbuhan kekuatan negara lain, seperti halnya yang terjadi pada berbagai negara melawan Napoleon, Daulah Islamiyah,
atau Nazi Jerman, termasuk dalam motif cinta kepemimpinan, sebab hal
itu akan mencegah kepemimpinan pihak lain.

Dengan hancurnya Daulah Islamiyah dan Uni Soviet, motif yang mendominasi dunia secara keseluruhan adalah nafsu di balik keuntungan-keuntungan
material. Hal ini akan terus demikian hingga kembalinya Daulah
Islamiyah sebagai negara adidaya yang akan mempengaruhi persaingan
internasional dan pada saat yang sama akan mengembalikan motif cinta
kepemimpinan dan penyebaran ideologi.
Motif paling berbahaya dalam persaingan internasional adalah motif penjajahan (imperialisme) dalam segala bentuknya. Sebab penjajahan itulah yang
menyebabkan meletusnya perang-perang kecil dan juga dua perang dunia.
Motif penjajahan pula yang menyebabkan perang-perang di Teluk, Afrika,
Afghanistan dan Irak. Motif itu pula yang tak henti-hentinya
menyebabkan berbagai keresahan dan krisis dunia.
Persaingan, perselisihan, dan konflik yang ada saat ini, antara AS, Inggris, Perancis dan Rusia, baik yang terang-terangan maupun yang tersembunyi
seputar masalah Irak, Afghanistan, Timur Tengah, dan masalah-masalah
internasional lainnya, tiada lain adalah karena penjajahan dan karena
dominasi motif meraih manfaat material dan sumber-sumber daya alam.
Jadi sesungguhnya penjajahan itulah yang mendominasi persaingan
internasional dewasa ini, termasuk segala hal yang dikandungnya seperti
konflik untuk memperebutkan sumber-sumbar daya alam, pengaruh, dan
persaingan untuk menguasai pihak lain dalam segala bentuk dan jenisnya.
Pada hakikatnya, nafsu untuk meraih manfaat-manfaat material, khususnya kerakusan untuk menjajah, adalah faktor yang melahirkan persaingan
internasional di antara negara-negara adidaya. Hal itu pula yang secara
nyata mengobarkan berbagai perang lokal dan perang dunia. Untuk
menghindarkan diri dari perang-perang ini, dibuat-buatlah apa yang
dinamakan perdamaian dan keselamatan dunia serta dalih menjaga keamanan
dan perdamaian.
Dalih menjaga keamanan bukanlah dalih baru di dunia, melainkan dalih kuno yang sudah ada sejak abad ke-19. Sebab perjanjian yang dinamakan Perjanjian
Aix-la-Chapelle yang ditandatangani pada tahun 1818 oleh lima negara
adidaya pada saat itu, tiada lain terwujud dengan dalih menjaga
keamanan. Dengan perantaraan perjanjian atau persekutuan ini, kelima
negara adidaya itu telah menjadikan dirinya sendiri sebagai penjaga
keamanan dan ketertiban komunitas internasional. Mereka akan melakukan
campur tangan di negara-negara lain kapan saja diperlukan sesuai klaim
mereka bahwa ada ancaman terhadap perdamaian dan ketertiban
internasional.
Dalih ini, yaitu dalih menjaga perdamaian dan ketertiban komunitas internasional, selanjutnya dijadikan jalan bagi negara-negara besar untuk melakukan
intervensi, jalan untuk perang, menjadi slogan internasional, dan
dijadikan alat untuk melestarikan penjajahan dan menancapkan pengaruh.
Perdamaian ini dapat dijaga –menurut klaim mereka— dengan cara melakukan persekutuan di antara negara-negara adidaya atau dengan cara mengadakan berbagai
konferensi internasional. Setelah Perang unia I, perdamaian dijaga melalui
badan-badan internasional. Dalam perjanjian damai tahun 1919,
ditambahkan pasal untuk membentuk sebuah badan internasional guna
menjaga perdamaian, yaitu Liga Bangsa-Bangsa (LBB). Dan memang badan
ini harus didirikan untuk menjaga perdamaian. Tetapi
negara-negara yang mendirikannya telah menyimpang dari
komitmen-komitmenya dan menyalahi tujuan pendiriannya. Sebab semestinya
negara-negara adidaya ini mundur dari kepemimpinannya (jajahannya), dan
badan itu sendiri yang menangani penjagaan perdamaian dan mencegah
perang.
Namun negara-negara adidaya tidak mau mundur dari negara-negara jajahannya, tidak mau mengubah keadaannya, bahkan mereka lalu berambisi mewujudkan
keseimbangan antara kekuatan yang berbeda-beda dan memelihara
kepentingannya. Selain itu mereka bermaksud hendak membagi-bagi
rampasan perang bekas milik Jerman dan Daulah Islamiyah di antara
mereka. Inggris mendapatkan bagian terbesar. Hal itu menyebabkan rusaknya perdamaian yang seharusnya dijaga badan LBB, meletusnya banyak perang, dan kemudian berakhir dengan Perang Dunia II.
Setelah Perang Dunia II negara-negara adidaya itu berulang kali berupaya mendirikan sebuah badan internasional untuk menjaga perdamaian dan keamanan
internasional. Negara-negara adidaya, yaitu Inggris, AS, dan Uni Soviet
dan kemudian bergabung pula Perancis, melakukan pembahasan mengenai
keharusan membentuk dunia pasca perang dalam suatu model yang baru yang
dapat menjamin stabilitas perdamaian dan mencegah peperangan. Mereka
menambahkan pula tujuan lain yaitu kemudahan kerjasama ekonomi di
antara sistem yang bermacam-macam dan berbeda-beda serta memelihara
hak-hak asasi manusia (HAM). Sejak saat itu Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB) menjadi penjaga perdamaian dan kata “perdamaian" tetap menjadi
slogan internasional yang diulang-ulang oleh semua pihak dan dijadikan
dalih bagi negara-negara adidaya untuk menjaga perdamaian, mencegah
negara-negara lain dari pembebasan, dan mencegah pembebasan diri dari
penjajahan. Demikianlah ide “menjaga perdamaian” telah berkembang
hingga menjadi kokoh sebagaimana halnya saat ini.
Masalah penjagaan perdamaian pada badan internasional telah memunculkan mitos “perlucutan senjata.” LBB berupaya untuk melaksanakan isu perlucutan
senjata ini. Inggris menjadikan isu tersebut sebagai
sarana untuk melemahkan Perancis. Inggris mendorong Jerman untuk
menggiatkan persenjataan dalam rangka membentuk keseimbangan di Eropa
antara Jerman dan Perancis. Maka gagallah isu isu perlucutan senjata
dan meledaklah Perang Dunia II.
Ketika terbentuk PBB, lembaga ini juga menggunakan isu perlucutan senjata ini. Tetapi sampai sekarang tidak ada satu negara adidaya pun yang mampu
menipu negara lain seperti yang dilakukan Inggris terhadap Perancis
dalam LBB. Demikian pula PBB tidak mampu memberikan pengaruh. Maka dari
itu masyarakat hampir-hampir tidak menyadari keberadaan PBB. PBB pun
tetap saja menjadi nama yang tidak ada artinya.
Persaingan antara negara adidaya satu sama lain telah memunculkan apa yang dinamakan konferensi internasional dan pakta-pakta. Mengenai
konferensi, yang pertama diadakan mengenai ini adalah Konferensi Wina
yang diadakan tahun 1815. Kemudian sebelum Perang Dunia I diadakan
beberapa konferensi. Di antaranya Konferensi Berlin yang
diselenggarakan untuk menyepakati penghentian batas-batas Daulah
Islamiyah dan pembagian bekas-bekas miliknya. Setelah Perang Dunia I
juga diselenggarakan beberapa konferensi. Di antaranya Konferensi
Berlin, Jenewa, dan Paris. Namun setelah kesepakatan AS dan Uni Soviet
dan membentuk keduanya menjadi satu kekuatan, tidak lagi diadakan satu
konferensi satu pun. Kecuali pada tahun 1969 ketika para utusan
negara-negara adidaya, yaitu Perancis, Inggris, Uni Soviet, dan AS
mengadakan konferensi dalam kerangka akivitas PBB untuk membicarakan apa
yang dinamakan krisis Timur Tengah. Tapi konferensi yang
diselenggarakan oleh para presiden berbagai negara ini tidak dinamakan
konferensi, karena dilaksanakan dalam kerangka PBB.
Konferensi-konferensi telah diadakan setelah Perang Dunia II untuk membahas problem-problem yang ada di dua Blok, yakni Blok Timur dan Barat, sebab kedudukan Blok
Timur lemah dalam PBB. Oleh karena itu Uni Soviet mencoba mengambil
alih kendali inisiatif dari Blok Barat dan berupaya untuk menyaingi AS
dalam kedudukannya sebagai negara pertama. Uni Soviet mencoba
menyelesaikan masalah-masalah di luar PBB dan berhasil melakukannya
dalam Konferensi Berlin dengan memperluas celah perbedaan antara
Inggris-Perancis dengan AS. Uni Soviet juga berhasil mengambil
keputusan dengan mengadakan Konferensi Jenewa. Uni Soviet berhasil
dalam konferensi itu. Jadi penyelenggaraan konferensi-konferensi itu
telah melemahkan AS dan memperkuat Uni Soviet. Inggris juga mencoba
mengadakan berbagai konferensi dengan AS untuk memecahkan berbagai
masalah di luar PBB. Diadakanlah Konferensi Bermuda, tetapi Inggris
tidak berhasil. Setelah itu tidak diadakan lagi
konferensi apa pun di antara negara-negara Blok Barat dan hanya
terbatas pada pertemuan-pertemuan rutin antara AS dan Inggris. AS telah
menyadari bahwa penyelanggaraan konferensi di luar PBB akan melemahkan
posisinya dan mengakibatkan lemahnya kedudukan AS secara internasional.
Karena itu AS kemudian tidak menyetujui pelaksanaan konferensi di luar
PBB, terutama setelah terjadi detente. Yang disetujui AS adalah
persekutuan antara AS dan Uni Soviet setelah pertemuan Wina tahun 1961.
Adapun pakta-pakta (perjanjian), ia merupakan perkara yang sudah lama adanya. Pakta-pakta itu dilakukan oleh berbagai negara untuk memperkuat dirinya
di hadapan negara lain atau untuk mencegah dominasi satu negara atas
yang lain agar tidak merusak keseimbangan di antara mereka. Perjanjian
Aix-la-Chapelle yang diadakan tahun 1818 tiada lain adalah merupakan
suatu pakta. Pakta-pakta yang ada antara Inggris, Perancis, Austria,
dan Jerman merupakan pakta untuk memperkuat dan menjaga keseimbangan.
Kemudian pakta yang diadakan antara Perancis dan Inggris untuk melawan
Jerman pada Perang Duia I, adalah pakta untuk melawan sebuah negara
adidaya. NATO yang diadakan setelah Perang Dunia II untuk
melawan Uni Soviet, juga Pakta Warsawa yang diadakan setelah Perang
Dunia II untuk melawan Blok Barat, semuanya adalah pakta-pakta yang
diadakan untuk menentang kekuatan lain. Maka pakta-pakta ini mirip
degan konferensi-konferensi internasional yang menjadi salah satu sarana untuk
melawan kekuatan lain, atau untuk menjaga keseimbangan. Inilah
pakta-pakta yang dianggap merupakan salah satu alat konflik
internasional.
Ada pakta-pakta atau perjanjian-perjanjian yang dilakukan negara-negara adidaya dengan negara-negara kecil, atau yang dilakukan antar negara
kecil. Pakta-pakta ini tidaklah dianggap sebagai alat konflik
internasional secara langsung, melainkan hanya dianggap sebagai sarana
penjajahan, atau sarana untuk memperkuat negara adidaya yang merekayasa
perwujudannya. Pakta yang diadakan antara Irak dan Turki, kesepakatan
sebelum Perang Dunia II yang dinamakan Pakta Sa’adabad, diadakan oleh
Inggris dalam rangka memantapkan pengaruhnya di negeri-negeri tersebut
dan dalam rangka menguatkan bobot internasionalnya di hadapan
negara-negara adidaya lainnya seperti Perancis dan Uni Soviet. Perjanjian-perjanjian
yang diadakan Inggris dengan Irak, antara Inggris dan Mesir sebelum
Perang Dunia II adalah alat untuk mengokohkan penjajahan Inggris, bukan
untuk kepentingan perang. Pakta-pakta yang juga diadakan
Inggris setelah Perang Dunia II seperti Pakta Baghdad, atau yang
diadakan AS seperti ASEAN, atau yang dirancang AS agar Kuwait,
Pakistan, Mesir, Maroko, Argentina, Korea Selatan, Bahrain, Australia,
New Zealand, Philipina, Thailand, ditambah Israel tergabung dalam apa
yang dinamakan “sekutu strategis di luar NATO” tiada lain adalah sarana
penjajahan dan untuk meneguhkan pengaruh AS. Bukan pakta untuk
kepentingan perang. Demikian pula pakta-pakta semacam ini
tidak dapat dianggap alat konflik internasional yang langsung. Yang
menjadi alat konflik ientrnasional yang langsung hanyalah pakta-pakta
yang diadakan antara sebuah negara adidaya dengan sesamanya.
Seharusnya peran NATO berakhir begitu Uni Soviet dan Blok Timur runtuh. Tapi AS tetap mempertahankan NATO bahkan berusaha memperluas NATO. Dan AS
memang telah melakukan hal itu. AS telah menggabungkan banyak negara
Eropa Timur ke dalam NATO. AS berupaya pula menggabungkan
negara-negara-lain. Hal itu dilakukannya karena terjadi perubahan dalam
tujuan NATO. NATO bukan lagi diorientasikan untuk menghadapi Blok
Timur, melainkan telah diorientasikan untuk menentang
anggota-anggota Blok Barat itu sendiri. Sebab AS telah melihat gelagat
adanya upaya negara-negara Eropa yang ingin meloloskan diri dari
cengkeraman AS. Maka AS lalu mempertahankan NATO agar negara-negara
Eropa tetap berada di bawah cengkeramannya --karena AS adalah pihak
yang mendominasi NATO-- dan agar keamanan dan pertahanan Eropa tetap
terikat dengan AS.
Belakangan ini negara-negara yang bersekutu dengan AS pada Perang Teluk dan pendudukan Irak –yang disebut negara-negara koalisi— dapat dianggap sebagai contoh persekutuan yang dimaksudkan untuk memperkuat pengaruh AS di kawasan
Timur Tengah dan memperkokoh orientasi politik unilateral pemerintahan
AS. Pakta atau persekutuan itu adalah salah satu sarana penjajahan AS
yang baru.
Itulah dasar-dasar yang menjadi landasan politik internasional secara umum. Dasar-dasar itu merupakan landasan bagi politik setiap negara yang
berpengaruh terhadap politik internasional. Dengan dasar-dasar itu
aktivitas-aktivitas politik yang terjadi di dunia akan dapat dipahami,
akan dapat ditafsirkan secara tepat atau sesuai dengan faktanya, atau
setidaknya hampir tepat dan hampir sesuai dengan faktanya.
Aktivitas-aktivitas politik yang dilakukan oleh berbagai negara, baik
negara adidaya mapun negara kecil, tidak mungkin bisa dipahami kecuali
dengan memahami dasar-dasar tersebut, atau dengan apa yang tercabang
atau berkaitan dengan dasar-dasar tadi. Dengan demikian, akan dapat
diketahui aktivitas politik apa itu, kapan terjadinya, apa saja
faktor-faktor yang terlibat di dalamnya dan dihubungkan dengan
dasar-dasar tersebut. Pada saat itulah akan dapat dipahami apa yang
terjadi dan apa pula motif-motifnya sehingga dapat dipahami pula apa
akibat-akibatnya (BERSAMBUNG).

No comments: